tirto.id - Laki-laki itu berambut lurus, klimis tersisir ke belakang. Setelannya rapi: kemeja putih yang dibalut dasi kotak-kotak dan jas abu-abu, plus celana panjang lengkap dengan sepatu.
Setelah memberi sepatah dua patah kata pengantar mengenai topik yang akan dia angkat dalam pembicaraan hari itu, tubuhnya bangkit meraih spidol. Lalu, dia menggambar sebuah grafik.
Mula-mula, dia membuat bidang kartesian dengan waktu sebagai sumbu horizontal dan keimanan manusia terhadap Islam sebagai sumbu vertikal. Kemudian, dia menggariskan dua buah grafik. Yang pertama, sebuah garis lurus horizontal di angka satu, menggambarkan keimanan islam yang sempurna. Yang kedua menggambarkan keimanan manusia: semakin ke kanan, ia semakin meninggi, tapi tak pernah menyentuh grafik pertama. Keimanan manusia, menurutnya, tak pernah bisa sempurna.
"Tidak pernah mencapai angka satu. Satu itu kesempurnaan. Oleh karena itu, orang yang betul-betul sempurna imannya tahu dia toh masih mengharapkan gap (antara keimanannya dan keimanan sempurna dalam Islam) ini ditutup oleh maghfirah, ampunan daripada Allah SWT," ujarnya.
Laki-laki itu adalah Bang Imad. Runut dan terselip istilah-istilah sains dan teknologi—begitu kira-kira gambaran Bang Imad saat berceramah.
Anak Kiai Langkat Jadi Insinyur ITB
Nama lengkapnya Muhammad Imaduddin Abdulrahim. Ia lahir itu di Langkat pada 21 April 1931. Nama Abdulrahim merujuk pada nama ayahnya, Haji Abdulrahim, seorang ulama lulusan Universitas Al-Azhar, Mesir yang kemudian menjadi tokoh Masyumi. Sedangkan ibunda Imaduddin, Syaifiatul Akmal, merupakan cucu sekretaris Sultan Langkat Datuk Umar.
Kombinasi keluarga ulama dan suasana Langkat sebagai kota santri di pesisir timur Sumatera itu membuat Imaduddin kecil tumbuh dengan nilai-nilai keislaman yang kental.
"Sejak usia empat tahun, Imaduddin memeroleh pendidikan keras dari ayahnya, terutama dalam hal agama. Ibunya selalu mengingatkan Imaduddin ketika anak laki-laki semata wayangnya itu lupa atau belum sembahyang. Ibunya mengatakan bahwa namanya adalah Imaduddin yang berarti penegak agama," begitu kisah yang disebutkan dalam Bang 'Imad: Pemikiran dan Gerakan Dakwahnya (2002), sebuah buku yang didedikasikan kolega, murid, dan tokoh-tokoh untuk Imaduddin Abdulrahim.
Selepas SMA, Imaduddin mula-mula ingin belajar ilmu kedokteran. Namun, kunjungan Wakil Presiden Muhammad Hatta ke Bandungan Asahan mengubah niatnya. Ucapan Hatta soal listrik sabagai urat nadi kehidupan bangsa amat membekas dalam diri Imaduddin. Pada akhirnya, laki-laki yang sempat menjadi anggota laskar Hizbullah itu bercita-cita menjadi insinyur bidang listrik.
Pada 1953, Imaduddin resmi menjadi mahasiswa teknik elektro Fakultas Teknik dan Fakultas Ilmu Pasti dan Ilmu Alam Universitas Indonesia Bandung (pada 1959 menjadi Institut Teknologi Bandung [ITB]). Selain kuliah, Imaduddin juga aktif di Himpunan Mahasiswa Islam (HMI).
Ia sempat menjadi ketua penerimaan calon anggota baru HMI. Lalu, pada 1966, Imaduddin terpilih sebagai ketua Pimpinan Pusat Lembaga Dakwah Mahasiswa Islam (LDMI) HMI. Semasa inilah Imaduddin mulai banyak berinteraksi dengan Nurcholish Madjid, Ketua Umum Pengurus Besar (PB) HMI.
Toh, yang bisa dikenang dari laki-laki yang akrab dipanggil Bang Imad itu tidak sekadar jurus-jurus mengatasi cekaknya keuangan saat kuliah di ITB atau kegetolannya membuat forum-forum diskusi bersama HMI. Semaraknya kegiatan masjid kampus yang terbalut dalam visi gerakan dakwah kampus hari ini tidak bisa dilepaskan dari usaha-usaha yang dilakukan Bang Imad pada 1970-an.
Pada 1972, ITB selesai membangun Masjid Salman. Bang Imad terlibat dalam pembangunan masjid kampus pertama di Indonesia itu sebagai wakil ketua Tim Usaha Penyelesaian Masjid Salman ITB. Dua tahun sejak Masjid Salman berdiri, Bang Imad menggagas Latihan Mujahid Dakwah (LMD).
Dalam Fenomena Partai Keadilan: Transformasi 20 Tahun Gerakan Tarbiyah di Indonesia (2002), Ali Said Damanik menerangkan LMD mengajarkan totalitas pandangan keislaman yang tidak memisahkan antara yang sakral dan yang sekuler serta yang transendental dan yang temporal.
"Dengan pandangan yang holistik dan cenderung puritan, Imaduddin mengajak para mahasiswa yang dikadernya mewujudkan Islam secara nyata dalam kehidupan. Ajakan ini ternyata disambut luas dan bergema cukup kencang di kalangan mahasiswa Islam," sebut Ali Said.
Dalam kurun waktu yang bersamaan, Bang Imad juga mengembangkan bentuk kajian sistematis melalui kelompok-kelompok kecil yang disebut usrah (keluarga). Suatu usrah biasanya terdiri atas 5-20 orang. Ia dipimpin seorang ustad yang biasanya mahasiswa paling senior dalam kelompok itu.
Menurut Ali Said, istilah usrah dapat dikaitkan dengan program serupa yang digagas Ikhwanul Muslimin (IM) besutan Hasan Al-Banna di Mesir dan sistem kaderisasi yang dikembangkan Angkatan Belia Islam Malaysia (ABIM) besutan Anwar Ibrahim di Malaysia.
Menurut Ali Said, Bang Imad memang bersentuhan secara intensif denga pemikiran IM sepanjang 1970-an. Selain itu, Ali Said menemukan kemiripan pola gerakan dan pandangan yang dicetuskan Bang Imad dan Anwar Ibrahim.
Di Malaysia, ABIM menerjemahkan buku-buku tokoh gerakan islam, seperti Hassan Al-Banna dan Sayyid Qutb, ke dalam bahasa Melayu. Di Indonesia, peran penerjemahan buku-buku tersebut ke dalam bahasa Indonesia dipegang penerbit masjid Salman ITB.
Ali Said mencatat penerbit masjid Salman juga menerbitkan buku Panduan Usrah. Awalnya buku itu diluncurkan di Malaysia. Setelah diterbitkan di Indonesia, Panduan Usrah pun menjadi rujukan sistem kaderisasi di Masjid Salman dan berbagai masjid kampus lainnya.
"Kader-kader yang dibina melalui LMD dan usrah-usrah gaya Salman itu bukan hanya berasal dari ITB. Melainkan juga dari berbagai perguruan tinggi umum lain, seperti UI, IPB, UGM, dan lain-lain. Mereka ini lah yang kemudian menjadi dai-dai (penyeru dan pengajak) di kampus masing-masing," sebut Ali Said.
Melalui Masjid Salman pula, Bang Imad memopulerkan konsep bank Islam. Konsep bank tersebut dipelajarinya dari pemikiran Ahmad Najab, doktor ekonomi moneter asal Mesir. Para pegiat Masjid Salman meneruskan ide tersebut dengan mendirikan Koperasi Jasa Keahlian Teknosa pada 1980.
Teknosa memotori diskusi dengan tema ''Ekonomi Islam dan Lembaga Keuangan Islam'' pada 1983. Setelah pegiatnya berguru ke Malaysia, mereka membentuk baitul maal tamwil yang diresmikan pada 1984. Lembaga itu kemudian digabung dengan baitul maal (balai harta) menjadi baitul maal wa-tamwil (BMT).
Diburu Orde Baru, Dipecat ITB
"Orang yang mendirikan kuburan sebelum mati sama dengan Fir'aun."
Kalimat itu diucapkan Bang Imad dalam suatu ceramah di UGM, Yogyakarta pada 1978. Konteks kalimat tersebut dapat dipahami sebagai sindiran terhadap Soeharto yang saat itu tengah membangun kuburannya sendiri di Astana Giri Bangun, Solo.
Semasa itu, Bang Imad tengah dilanda kegusaran. Baginya, Pemilihan Umum (Pemilu) 1971, yang memenangkan Golkar dan menjadikan Soeharto presiden itu, penuh kecurangan. Ceramah-ceramah Bang Imad pun tak pelak berisi kritik-kritik terhadap Orde Baru. Yayasan Al-Azhar bahkan sempat tak mau lagi mengundangnya sebagai penceramah karena itu.
Puncaknya, pada 23 Mei 1978 malam, rumah Bang Imad disatroni aparat. Bang Imad ditangkap dan kemudian dijebloskan di penjara Rukayas, Jakarta Timur.
Empat belas bulan kemudian, Bang Imad dibebaskan atas jaminan Rektor ITB Doddy A. Tisnaamidjaja. Namun, negosiasi Tisna dengan Pangkopkamtib Sudomo menghasilkan keputusan bahwa Bang Imad mesti dikirim kuliah S3 di Iowa, AS, kampus di mana Bang Imad juga menempuh S2.
Akhirnya, Bang Imad pergi ke Amerika. Saat itu, dia dapat beasiswa dari Yayasan Raja Faisal, Arab Saudi. Sepulang dari Iowa pada 1986, Imad sudah dipecat dari ITB. Lagi-lagi, ini hasil tawar-menawar para elite. Kali ini antara Menko Kesra Alamsjah Ratoe Perwiranegara dan Benny Moerdani. Hasil tawar-menawar itu memutuskan Bang Imad boleh tetap berdakwah asal dipecat dari ITB.
Selain menjadi penceramah dan pengurus organisasi, salah satu penggagas Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) itu juga menulis buku. Pada 1995, Bang Imad meluncurkan Kebangkitan Umat: Membangun Wacana Islam.
Empat tahun kemudian, Bang Imad meluncurkan Kuliah Tauhid (1999). Buku ini merupakan kumpulan transkip ceramah rutin setiap subuh pada bulan Ramadan di Masjid Salman. Bisa dibilang ini merupakan magnum opus Bang Imad. Lalu, pada 2002, Bang Imad menerbitkan buku Islam Sistem Nilai Terpadu.
Bang Imad tetap konsisten di jalur dakwah dan pemikiran Islam hingga ia meninggal di Jakarta pada 2 Agustus 2008. Saat itu, usianya sudah 77.
====================
Sepanjang Ramadan hingga lebaran, redaksi menyuguhkan artikel-artikel yang mengetengahkan pemikiran para cendekiawan dan pembaharu Muslim zaman Orde Baru dari berbagai spektrum ideologi. Kami percaya bahwa gagasan mereka bukan hanya mewarnai wacana keislaman, tapi juga memberi kontribusi penting bagi peradaban Islam Indonesia. Artikel-artikel tersebut ditayangkan dalam rubrik "Al-Ilmu Nuurun" atau "ilmu adalah cahaya".
Editor: Ivan Aulia Ahsan