tirto.id - Tanggal 18 Maret 1943, Usman Janatin lahir di dusun kecil di Purbalingga, Jawa Tengah. Haji Muhammad Ali Hasan, sang ayah, tentunya tidak pernah mengira anak lelakinya itu kelak menutup mata pada usia yang masih sangat muda. Ya, itulah yang memang kemudian terjadi. Usman tewas di tiang gantungan negeri tetangga saat umurnya belum beranjak dari angka 25 tahun.
Kisah sedih sekaligus miris tersebut bermula dari tahun 1962. Usman yang baru saja lulus sekolah menengah atas langsung mendaftarkan diri ke TNI. Ia ingin menjadi marinir. Tanggal 1 Juni 1962, impian Usman menjadi kenyataan, ia diterima sebagai anggota Korps Komando Operasi (KKO), nama korps marinir TNI Angkatan Laut saat itu.
Tahun 1962 itu, Indonesia sedang terlibat konfrontasi dengan Federasi Malaya atau Persekutuan Tanah Melayu, sebutan untuk Malaysia sebelum negeri jiran itu resmi dideklarasikan pada 16 September 1963.
Sukarno selaku Presiden Republik Indonesia rupanya tidak senang melihat tingkah Federasi Malaya yang berambisi mencaplok Sabah, Sarawak, bahkan Brunei Darussalam, yang terletak di Pulau Borneo alias Kalimantan bagian utara, berdampingan dengan wilayah NKRI.
Menurut Sukarno, upaya pembentukan negara Malaysia dengan mengincar sebagian wilayah Kalimantan, adalah bentuk baru imperialisme yang berpotensi mengancam kedaulatan Indonesia. Federasi Malaya, bagi Sukarno, hanyalah negara boneka Inggris (Hellwig & Tagliacozzo, The Indonesia Reader: History, Culture, Politics, 2009:345).
Sang penyambung lidah rakyat Indonesia itu pun dengan lantang menyerukan gerakan Ganyang Malaysia. Dan nantinya, Usman bakal memainkan peran yang sangat penting.
Bikin Gempar di Negeri Singa
Seruan Ganyang Malaysia atas nama martabat bangsa yang dilantangkan Sukarno tak pelak membuat darah muda Usman Janatin bergolak. Meski belum lama diterima menjadi marinir di KKO, Usman sudah berani mengajukan diri sebagai sukarelawan untuk dilibatkan dalam operasi militer Komando Mandala Siaga.
Operasi militer itu dipimpin oleh Kepala Staf TNI Angkatan Udara Omar Dhani yang ditunjuk langsung Presiden Sukarno untuk menggantikan Soerjadi Soerjadarma (Salim Said, Dari Gestapu ke Reformasi, 2013). TNI saat itu membutuhkan 3 sukarelawan. Selain Usman Janatin, ada pula Harun Thohir dan Gani bin Arup.
Tanggal 8 Maret 1965, ketiga sukarelawan tersebut diberikan misi penting, yakni melakukan aksi sabotase di Singapura. Dari ketiganya, Usman Janatin yang dipilih sebagai komandan (Sri Sutjiatiningsih & Soejanto, Harun, 1982:28). Singapura saat itu menjadi bagian dari Federasi Malaysia dan merupakan salah satu titik terpenting yang harus dilumpuhkan.
Tugas Usman, Harun, dan Gani sebenarnya adalah memantik ricuh di Singapura dengan mengeksploitasikan perbedaan ras serta merusak instalasi-instalasi penting. Singapura yang dihuni oleh banyak orang keturunan Cina memang berpotensi tinggi menuai konflik jika dibenturkan dengan ras Melayu yang menjadi penduduk asli di sebagian besar wilayah Malaysia.
Berbekal 12,5 kilogram bahan peledak, ketiganya diperintahkan untuk meledakkan sebuah rumah tenaga listrik. Namun, yang dibom ternyata bukan target semula, melainkan gedung Hong Kong and Shanghai Bank atau MacDonald House di Orchard Road, Central Area, Singapura (Gretchen Liu, The Singapore Foreign Service, 2005:83).
Tanggal 10 Maret 1965 menjelang petang, bangunan di kawasan padat yang di dalamnya terdapat puluhan orang sipil itu berguncang hebat. Letusan besar yang berasal dari sebuah tas travel meluluhlantakkan gedung bank yang dibangun sejak 1949 tersebut. Saking hebatnya ledakan itu, semua mobil yang diparkir di halaman gedung turut hancur, juga gedung-gedung lain di sekitarnya.
Tercatat, 3 orang tewas dan tidak kurang dari 33 orang lainnya mengalami luka-luka, baik luka berat maupun ringan (The Fight Against Terror, 2004:19). Korban tewas adalah dua wanita pegawai Hong Kong and Shanghai Bank, Elizabeth Choo (36 tahun) dan Juliet Goh (23 tahun), serta seorang sopir bernama Mohammed Yasin bin Kesit (45 tahun).
Sempat melarikan diri, Usman dan Harun tertangkap tiga hari setelah insiden tersebut terjadi, sementara Gani entah bagaimana caranya berhasil lolos. Usman dan Harun pun diajukan ke pengadilan dan divonis hukuman mati.
Garis Tipis Pahlawan Atau Teroris
Bulan-bulan terakhir di tahun 1965 itu, Indonesia sedang diterpa polemik usai terjadinya Gerakan 30 September. Hingga akhirnya, Presiden Sukarno harus merelakan posisinya diambil-alih oleh Soeharto yang sekaligus menandai bergantinya rezim kekuasaan di Indonesia.
Ketika Indonesia sedang sibuk mengurusi guncangan di dalam negeri, Usman Janatin dan Harun Thohir harus menghadapi pengadilan setelah 8 bulan ditahan. Pada 4 Oktober 1964, keduanya dihadapkan ke depan sidang Pengadilan Mahkamah Tinggi Singapura dengan dakwaan telah melanggar control area, melakukan pembunuhan, serta menempatkan alat peledak dan menyalakannya.
Di persidangan, baik Usman maupun Harun menolak dakwaan tersebut. Keduanya beralasan, aksi tersebut bukanlah kemauan mereka sendiri, melainkan suatu tindakan yang memang harus dilakukan karena dalam situasi perang. Usman dan Harun pun meminta kepada sidang agar mereka diperlakukan sebagai tawanan perang.
Tanggal 15 Oktober 1965, pemerintah Indonesia mengirimkan utusan ke Singapura untuk menyelamatkan nasib Usman dan Harun (Pahlawan Nasional Usman bin Haji Muhamad Ali alias Janatin, 1980:43). Namun, usaha tersebut gagal dan 5 hari berselang, keduanya dijatuhi vonis berat berupa hukuman mati.
Upaya demi upaya dilakukan agar Usman dan Harun bisa terhindar dari maut. Namun, hingga asa terakhir dengan mengajukan permohonan grasi kepada Presiden Singapura saat itu, Yusuf bin Ishak, tetap saja tidak membuahkan hasil. Bahkan, permintaan pemerintah Indonesia yang berharap Usman dan Harun bisa dipertemukan dengan keluarga sebelum hukuman mati dilaksanakan, juga tidak dikabulkan.
Dan akhirnya, hari eksekusi datang juga. Pada jam 06.00 pagi waktu Singapura, tanggal 17 Oktober 1968, tepat hari ini 50 tahun lalu, Usman dan Harun dihukum gantung di Penjara Changi. Siang harinya, jenazah keduanya dipulangkan ke tanah air dan dikebumikan di Taman Makam Pahlawan Kalibata pada hari itu juga.
Ratusan ribu rakyat Indonesia di Jakarta mengiringi pemakaman Usman dan Harun dengan rasa duka yang mendalam. Keduanya pun dianugerahi tanda kehormatan Bintang Sakti dan gelar Pahlawan Nasional oleh pemerintah. Bahkan, nama Usman-Harun diabadikan sebagai nama Kapal Perang Republik Indonesia yang diluncurkan pada Juni 2001.
Bagi sebagian rakyat Indonesia, Usman Janatin dan Harun Thohir barangkali dianggap sebagai pahlawan kusuma bangsa. Namun, label teroris tetap saja sangat sulit untuk diingkari atas aksi nir kemanusiaan yang telah mereka lakukan, sekalipun atas nama perang.
==========
Artikel ini pertama kali ditayangkan pada 18 Maret 2017 dengan judul "Marinir Indonesia Digantung di Singapura". Kami melakukan penyuntingan ulang dan menerbitkannya kembali untuk rubrik "Mozaik".
Editor: Ivan Aulia Ahsan