tirto.id - Presiden Joko Widodo memutuskan untuk membebaskan narapida perkara terorisme berusia 81 tahun, Abu Bakar Baasyir, dengan alasan kemanusiaan.
Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Anggara menyatakan, jika hal itu benar dilandasi oleh kemanusiaan, pertimbangan serupa seharusnya dipakai untuk membatalkan hukuman mati bagi sejumlah terpidana dengan masa tunggu eksekusi yang terlalu lama.
Dia berpendapat sebenarnya mekanisme pembebasan Baasyir masih dipertanyakan. Sebab, belum jelas Baasyir bebas dengan mekanisme pembebasan bersyarat, grasi atau amnesti dan abolisi.
Namun, kuasa hukum Baasyir sudah menyatakan pembebasan Baasyir murni tanpa syarat demi kemanusiaan.
“Jika benar memang pembebasan murni ABB [Baasyir] dilakukan atas dasar kemanusiaan, maka ICJR menunggu langkah kemanusiaan lainnya dari Presiden Joko Widodo,” kata Anggara di siaran resminya pada Minggu (20/1/2019).
Menurut dia, dengan alasan serupa, Jokowi seharusnya bisa mendorong pengubahaan pemidanaan bagi 51 terpidana hukuman mati dengan masa tunggu eksekusi sudah di atas 10 tahun.
ICJR mencatat, berdasarkan data Ditjen Pemasyarakatan, sampai Oktober 2018 terdapat 219 terpidana mati yang menunggu eksekusi. Dari data itu, ICJR menyimpulkan terdapat 51 terpidana mati dengan masa tunggu eksekusi melampaui 10 tahun, terhitung sampai 1 Desember 2018.
“Bahkan 21 orang telah masuk ke dalam daftar tunggu pidana mati lebih dari 15 tahun,” kata Anggara.
Dia menegaskan, jika menghormati nilai kemanusiaan, Jokowi seharusnya juga mengubah pidana mati 51 orang tersebut menjadi hukuman penjara seumur hidup atau 20 tahun bui.
“Karena memasukkan seseorang di daftar tunggu pidana mati terlalu lama, dengan ketidakpastian, merupakan bentuk penyiksaan dan perlakuan tidak manusiawi dari negara,” ujar Anggara.
Dia menjelaskan Tim Perumus RKUHP bentukan pemerintahan Jokowi sudah mengusulkan hukuman mati dijatuhkan sebagai alternatif terakhir. Dengan mekanisme yang direkomendasikan pemerintah, kata Anggara, pidana mati bisa diubah melalui keputusan presiden jika selama 10 tahun si terpidana menunjukkan sikap dan perbuatan terpuji serta alasan meringankan lainnya.
“[Berdasar rekomendasi di RKUHP] Pidana mati juga secara otomatis diubah oleh keputusan presiden, jika 10 tahun sejak grasi ditolak tidak dilakukan eksekusi,” kata dia.
Tak hanya itu, Anggara mendesak Jokowi memperhatikan aspek kemanusiaan dalam menimbang untuk menerima atau menolak permohonan grasi dari terpidana mati kasus narkoba. Aspek kemanusiaan, kata dia, layak dipertimbangkan untuk terpidana mati dari kalangan perempuan yang kerap menjadi korban akibat penipuan maupun relasi kuasa di sindikat pengedar narkoba.
Dia menyayangkan sikap Jokowi yang sebelumnya menyatakan akan menolak semua permohonan grasi dari terpidana mati narkoba. Apabila mempertimbangkan faktor kemanusiaan, Anggara menilai penolakan permohonan grasi dari terpidana mati kasus narkoba tidak bisa dilakukan secara pukul rata.
Editor: Addi M Idhom