tirto.id - "Apa itu hidup?"
Erwin Schrödinger, fisikawan kelahiran 1887 di Wina, Austria, mengulang-ulang pertanyaan itu dalam dirinya. Berstatus penerima Nobel berkat 'Schrödinger Equation', suatu persamaan matematis yang menjelaskan bahwa 'sistem'--entah itu foton atau atom atau molekul--dapat berubah melalui ruang dan waktu sebagaimana gelombang, Schrödinger paham bahwa di tataran kuantum, atom dapat memiliki keadaan baik dan buruk, sukses dan gagal, bahkan hidup dan mati dalam waktu bersamaan. Hanya pengamatan manusia yang dapat menghancurkan keadaan unik ini, membuat atom hanya berkeadaan baik atau buruk, sukses atau gagal, hidup atau mati.
Meskipun temuan itu sangat memesona, Schrödinger, anak seorang ahli biologi ini, berpikir terlalu naif untuk menjelaskan apa itu hidup dalam tataran biologis lewat perilaku atom. Maka, berbekal pengetahuan tentang kromosom yang diperoleh dari Max Delbrück, peraih Nobel bidang kedokteran yang sama-sama kabur dari Nazi Jerman, Schrödinger menyebut bahwa kunci utama hidup adalah 'entropi', yakni alat ukur ketidakteraturan di tataran filosofis.
Bagi Schrödinger, sebagaimana termuat dalam bukunya berjudul What is Life? The Physical Aspect of the Living Cell (1967), hidup adalah bentuk perlawanan dari ketidakteraturan, perlawanan terhadap entropi, alias usaha-usaha mempertahankan keteraturan. Usaha ini juga diwariskan oleh oleh semua makhluk yang disebut hidup pada generasi berikutnya.
Pewarisan ini didukung oleh 'aperiodic crystal'. Andai semua hal yang disebut mati tersusun atas pola pengulangan yang identik dari kristal/molekul (biasa), kristal aperiodik berbeda. Ia membentuk segala makhluk yang disebut hidup dengan susunan kristal/molekul (aperiodik) yang tidak hanya sekadar berpola, tetapi bervariasi. Bak alfabet, variasi huruf yang dikandungnya dapat membentuk kata.
Pikiran Schrödinger yang terlalu rumit (bahkan dianggap fiksi kala itu) tentang hidup ditanggapi serius oleh Francis Crick, fisikawan Inggris kelahiran 1916. Crick bekerja sebagai peneliti di Cavendish Laboratory, University of Cambridge, Inggris usai mengabdi kepada Ratu Elizabeth II dengan bekerja di Admiralty Research Laboratory untuk menciptakan ranjau laut yang dapat menghancurkan kapal-kapal Nazi. Crick melakukan penelitian khusus demi membongkar misteri kehidupan sekaligus membuktikan pikiran Schrödinger.
Studi ini dibantu oleh para ilmuwan Cavendish terutama seorang ahli biologi bernama James Watson yang berhasil menembakkan sinar-x kepada molekul demi mengetahui komposisinya. Crick menemukan deoxyribonucleic acid (asam deoksiribonukleat) alias DNA, molekul khusus yang terbuat dari empat amino acid berbeda dalam dua untaian yang saling berpilin. Inilah rahasia utama pembeda hidup dan mati atau kristal aperiodik versi sebenarnya.
Usai penemuan tersebut, rahasia-rahasia dunia genetik silih berganti terbongkar, misalnya ribonucleic acid (RNA, asam ribonukleat), versi sederhana DNA.
Kemudian, pada akhir 1970-an, sebagaimana dipaparkan Carl Zimmer dalam A Planet of Viruses (edisi ke-3, 2021), ilmuwan juga berhasil mengurai genom--genetic material (materi genetik)--bakteri bernama MS2. Ini adalah keberhasilan yang menggiring ke pemahaman menyeluruh bagaimana RNA (dan DNA) bekerja mewariskan sifat-sifat dari induk pada keturunan.
Pemahaman ini juga menggiring keberhasilan memanipulasi messenger RNA (mRNA), molekul di balik vaksin SARS-CoV-2 buatan Pfizer dan Moderna.
Dari Variolasi hingga Messenger RNA
"Manusia sangat pandai menciptakan virus baru melalui ketidaksengajaan, entah itu virus flu yang muncul atas kesembronoan manusia mengelola peternakan babi atau virus HIV yang hadir gara-gara ketidakwaspadaan kita terhadap simpanse," tulis Zimmer, jurnalis The New York Times, juga dalam A Planet of Viruses (edisi pertama, 2011). Berkebalikan dari kepandaian yang tak layak dirayakan ini, "sayangnya, manusia bukanlah makhluk yang pintar membasmi virus."
Dalam sejarah peradaban, hanya cacar (smallpox, yang disebabkan oleh virus Variola, bukan cacar air atau chickenpox yang disebabkan virus Varicella-zoster) yang berhasil dibasmi total. Keberhasilan ini tak diperoleh dalam tempo singkat, tetapi dalam waktu ribuan tahun. Ini terjadi karena, pertama, cacar telah hadir sejak 3.500 tahun silam, dibuktikan dengan penemuan tiga mumi Mesir di zaman Firaun yang memiliki bekas pustula (gelembung kulit yang berisi nanah), dan menyebar ke seantero dunia sejak 430 SM. Kedua, dalam usaha membasmi cacar, 'trial and error' jadi satu-satunya pilihan yang tersedia.
Usaha pertama yang cukup membuahkan hasil terjadi karena ketidaksengajaan. Kala itu, sekitar 900 Masehi, para dokter di Cina tanpa sengaja mengetahui bahwa tatkala seseorang terkena cacar tetapi sebelumnya pernah bersentuhan dengan pustula penderita cacar, ia hanya akan mengalami gejala biasa; tidak mematikan. Atas temuan ini, para dokter tersebut lantas memproduksi variolasi (variolation), semacam bubuk atau losion yang terbuat dari bekas pustula.
Dari temuan Cina ini, didukung desas-desus tentang tidak ditemukannya penderita cacar di kalangan pemerah sapi, pada 1700 seorang dokter asal Inggris bernama Edward Jenner meramu obat anticacar yang bahannya memanfaatkan pustula cacar sapi (cowpox) dan berhasil. Obat ini ia namakan 'vaksin', mencukil nama Latin untuk cowpox yaitu Variola-vaccinae.
Tentu keberhasilan menemukan vaksin cacar menggembirakan. Masalahnya, sebagaimana dipaparkan Stanley A. Plotkin dalam studi berjudul "Vaccines: Past, Present, and Future" (Nature Medicine, April 2005), teknik mengobati penyakit dengan memanfaatkan penyakit yang lebih 'bersahabat' atau populer disebut teknik live-vaccine/vacciniavirus ini cukup berbahaya. Andai virus di balik cowpox (Variola-vaccinae) melakukan aksi mutasi genetik--yang sangat mungkin terjadi karena virus ini terbentuk dari RNA--misalnya, nyawa penerima vaksin dipertaruhkan. Terbukti, tercatat sekitar tiga persen penerima vaksin Jenner harus meregang nyawa gara-gara kontraksi tubuh manusia terhadap cowpox.
Terlebih, cacar bukan satu-satunya penyakit karena virus dan hampir tidak ada penyakit non-cacar yang memiliki padanan ringannya selayaknya cowpox dengan smallpox guna dimanfaatkan. Duplikasi nyaris tidak dimungkinkan.
Untunglah perkembangan pengetahuan memungkinkan penciptaan vaksin yang jauh lebih aman.
Usaha pertama pembuatan vaksin aman itu dilakukan oleh Louis Pasteur. Pada 1881 ketika meneliti chicken cholera, penyakit yang disebabkan oleh virus Pasteurella multocida, Pasteur menyimpulkan virus dapat dilemahkan kemampuan negatifnya. Kesimpulan ini didapat setelah ia memberikan gangguan panas, oksigen, serta bahan-bahan kimia lain terhadap P. multocida yang dikembangbiakkan dalam media terkontrol (disebut teknik culture). P. multocida tersebut tidak menghasilkan efek atau penyakit apapun.
Pasteur akhirnya berhasil menemukan vaksin antraks, disusul vaksin rabies pada 1885.
Tak lama usai Pasteur mencerahkan manusia dengan pemahaman bahwa virus dapat dilemahkan, ilmuwan-ilmuwan asal Amerika Serikat, terutama Daniel Salmon dan Theobald Smith, melangkah lebih jauh. Kala itu, berbekal teknologi yang kian berkembang, ilmuwan mengetahui bahwa dalam diri manusia, B cells (sel B), sel darah putih yang terdapat pada sistem kekebalan tubuh (limfosit) untuk mengenali dan menyerang patogen di permukaan bakteri atau virus tidak akan aktif/merespons seandainya T cells (sel T), sel serupa tetapi berperan untuk mengenali patogen di luar bagian tubuh yang terserang, tidak terstimulasi.
Karena manusia dan virus dalam tataran terdasarnya sama-sama makhluk yang disusun oleh DNA (atau RNA), pakem ini diterapkan pula pada virus. Ilmuwan merekayasa virus dengan melucuti kemampuan jahatnya guna menciptakan toxoid alias inactivated virus vaccine. Vaksin terbuat dari versi 'telanjang' atau versi 'mati' virus yang disuntikkan pada manusia guna menghasilkan kekebalan.
Melalui inactivated virus vaccine ini, vaksin untuk melawan tiroid, kolera, pes, influenza, hepatitis A, hingga tetanus berhasil ditemukan. Dan, ya, termasuk vaksin untuk melawan SARS-CoV-2 si penyebab Covid-19.
CoronaVac, vaksin Covid-19 buatan perusahaan Cina bernama Sinovac Biotech, memanfaatkan SARS-CoV-2 tidak aktif untuk menghasilkan imunitas pada orang-orang yang disuntikkannya. Studi berjudul "Progress and Concept for Covid-19 Vaccine Development" (Biotechol, 2020) yang ditulis Suh-Chin Wu, menjelaskan agak virus inactivated, bagian yang dihilangkan dalam diri SARS-CoV-2 adalah protein S, molekul yang berperan untuk menembus inang dan memulai infeksi. Tanpa protein S, SARS-CoV-2 tak dapat melukai inangnya.
CoronaVac tak sendirian. Vaksin Sinopharm (BBIBP-CorV) dan Bharat (Covaxin) pun menggunakan teknik inactivated virus.
Teknik ini dipilih karena, sebagaimana ditulis Palatnik deSousa dalam "What Would Jenner and Pasteur Have Done About Covid-19 Coronavirus? The Urges of a Vaccinologist" (Frontier in Immunology, Agustus 2020), terbukti tidak menghasilkan efek samping berupa penyakit baru, sesuatu yang tidak dimiliki vaksin ala Jenner alias vaksin berbasis live-vaccine. Kemudian, karena terbentuk dari virus utuh yang telah dilucuti unsur jahatnya, tubuh manusia dapat menggunakannya sebagai 'bahan ajar' untuk mengetahui seluk-beluk makhluk ini dan 'mempersenjatai diri' dengan 'alat-alat' yang tepat.
Di tengah kehadiran virus-virus baru di era modern ini, inactivated vaccine bukan satu-satunya andalan manusia. Didukung teknologi mutakhir di bidang genetik, Adenovirus-based vaccine (vaksin berbasis Adenovirus) dan messenger RNA-based vaccine (virus berbasis mRNA) juga mencuat ke permukaan. Ia menjadi basis AstraZeneca dan Johnson & Johnson (Adenovirus-based) serta Pfizer dan Moderna (mRNA-based) menciptakan vaksin untuk melawan SARS-CoV-2.
Dalam Adenovirus-based vaccine, sebagaimana terpatri padanamanya, vaksin dibuat dengan merekayasa Adenovirus yang, dituturkan Harold S. Ginsberg dalam buku The Adenoviruses (1984), merupakan virus tanpa selubung (nonenveloped virus). Selubung ini berfungsi sebagai pelindung materi genetik dalam siklus hidup virus saat melakukan perjalanan di antara sel inang.
Secara umum, Adenovirus terdiri dari 49 jenis berbeda yang dapat menyebabkan berbagai penyakit, seperti flu ringan, mata merah, hingga pneumonia. Jenis Adenovirus yang jamak menjangkiti manusia adalah Adenovirus tipe 2 (Ad2) dan Adenovirus tipe 5 (Ad5).
Adenovirus mudah menjangkiti manusia karena memiliki struktur antigen yang mirip dengan antibodi makhluk hidup yang dihinggapinya. Struktur itu sendiri terbentuk karena reaksi bebas hexons (protein yang menjadi mantel utama Adenovirus) terhadap inang. Beruntung, meskipun mudah menular, dalam keadaan sehat tubuh manusia dapat relatif menanggulangi virus ini.
Adenovirus merupakan virus yang memiliki 'kemampuan sosial'. Adenovirus, bersama virus-virus lain, mampu membentuk Adeno-associated viruses (AAVs) yang saling gotong royong membantu hidup masing-masing pada inang yang dihinggapi. Karena hal ini, termasuk juga kenyataan bahwa struktur Adenovirus mirip dengan antibodi inangnya (sebuah studi menyatakan bahwa 40 persen warga AS dan 90 persen warga Afrika memiliki antibodi Adenovirus), para peneliti menganggap bahwa Adenovirus merupakan virus yang juga dapat dimanfaatkan sebagai vektor guna melakukan terapi gen, juga penciptaan vaksin.
Hsin-An Chen dalam studi berjudul "Adenovirus-Based Vaccines: Comparison of Vector from Three Species of Adenoviridae" (Journal of Virology, 2010) menyebut alasan lain. Pemanfaatan Adenovirus sebagai vektor untuk terapi gen dan vaksin bagi manusia terjadi karena virus ini memiliki kemampuan 'nyeleneh', yakni transgene (dapat memasukkan gen ke dalam genom organisme lain) dan replication-defective (alias cacat replikasi, tetapi karena kecacatannya ini Adenovirus akan selalu dan terus-terusan mereplikasi diri) yang mudah dibuat dalam jumlah besar di laboratorium dan akhirnya mudah pula direkayasa.
Tatkala hendak dijadikan vektor, ilmuwan akan menempelkan potongan kunci kode genetik virus, bakteri, atau parasit yang hendak dilawan pada Adenovirus. Adenovirus lalu disuntikkan pada manusia untuk langsung menyasar sel. Sel-sel menerjemahkan kode genetik menjadi protein, mengecap sebagai 'benda asing', dan menggunakan 'benda asing' tersebut untuk melatih sistem kekebalan tubuh.
Hingga studi Chen terbit, Adenovirus telah dimanfaatkan manusia untuk mengembangkan vaksin bagi HIV-1, malaria, dan tuberkulosis. Lalu, beberapa tahun kemudian, Adenovirus tipe 26 (Ad26) dimanfaatkan ilmuwan sebagai bahan baku penciptaan vaksin Ebola dan Zika.
Selama pandemi, Ad26 dijadikan bahan baku pembuatan vaksin Covid-19 oleh Johnson & Johnson (Ad26.COV2.S). Adapun vaksin buatan AstraZeneca memanfaatkan varian Adenovirus yang umum menjangkiti simpanse bernama ChAdOx1 untuk membuat ChAdOx1 nCoV-19. Adenovirus ChAdOx1 ini sebelumnya telah dimanfaatkan untuk menciptakan vaksin MERS (ChAdOx1 MERS).
Baik Ad26.COV2.S dan ChAdOx1 nCoV-19 mengandung spike protein, modul, atau bagian khusus yang berfungsi melukai manusia, yang juga terdapat pada SARS-CoV-2 . Namun, spike protein yang disuntikkan pada Adenovirus telah dilumpuhkan terlebih dahulu. Tatkala masuk ke tubuh manusia, spike protein ini berguna untuk melatih sel imun manusia untuk dapat menghadapi SARS-CoV-2--jika suatu saat tertular.
Vaksin buatan Pfizer dan Moderna, yang disebut pula Comirnaty dan mRNA-1273, dibentuk menggunakan teknik paling tinggi yang saat ini dimiliki manusia. Teknik tingkat tinggi itu, sebagaimana dipaparkan Luca Roncati dalam "Nucleoside-modified Messenger RNA Covid-19 Vaccine Platform" (Journal of Medical Virology, 2021), dilakukan dengan membuat molekul RNA sintesis. Secara sederhana, RNA merupakan DNA versi mungil, turunan molekul amino acid yang berfungsi sebagai medium penyimpanan kode genetik yang memungkinkan makhluk hidup mewariskan sifat kepada keturunannya.
Secara biologis, RNA tersusun oleh empat protein, yakni spike, envelope, membrane, dan nucloecapsid yang bahu-membahu menyusun kode genetik selayaknya kode binari pada komputer. Andai '01100001' pada binari menghasilkan 'a' (kecil) di layar komputer, misalnya, maka kode 'CUU' memerintah organisme untuk menambah leusina (salah satu asam amino yang berperan dalam pembentukan otot) pada keturunannya.
Ilmuwan hari ini dapat menciptakan RNA secara sintesis berkat keberhasilan saintis pada 1970-an mengurai genom bakteri bernama MS2 pada 1970-an yang terbentuk dari RNA.
RNA yang sengaja diciptakan itu adalah messenger RNA (mRNA) yang telah lebih dahulu diprogram secara khusus. Pada vaksin buatan Pfizer dan Moderna, mRNA diprogram untuk memberikan instruksi pada sel B dan sel T bagaimana caranya melawan SARS-CoV-2, yakni dengan membentuk protein khusus, seperti Adenovirus-based, guna melawan spike protein milik virus.
Karena mRNA-based vaccine tidak memanfaatkan virus yang dilemahkan selayaknya vaksin-vaksin berbasis inactivated-virus dan juga tidak menggunakan tenaga Adenovirus, vaksin yang dibuat dengan cara ini diyakini paling aman. Sayangnya vaksin jenis ini terlambat masuk ke Indonesia.
Editor: Rio Apinino