Menuju konten utama

Mengapa Ada Dokter dan Ilmuwan yang Anti-Vaksin?

Jawabannya sederhana: "kehendak bebas", rasa takut, dan skeptisisme terhadap industri medis.

Mengapa Ada Dokter dan Ilmuwan yang Anti-Vaksin?
Ilustrasi Anti vaksin. FOTO/iStockphoto

tirto.id - "Manusia sangat pandai menciptakan virus baru melalui ketidaksengajaan, entah itu virus flu baru yang muncul atas kesembronoan manusia mengelola peternakan babi ataupun virus HIV yang hadir gara-gara ketidakwaspadaan kita terhadap simpanse," tulis Carl Zimmer, jurnalis The New York Times, dalam buku berjudul A Planet of Viruses (2011).

"Sayangnya, manusia bukanlah makhluk yang pintar membasmi virus," imbuhnya.

Dalam catatan sejarah peradaban manusia, hanya cacar (atau smallpox, yang disebabkan oleh virus Variola, bukan cacar air atau chickenpox yang disebabkan virus Varicella-zoster) yang berhasil dibasmi secara keseluruhan. Tentu, keberhasilan manusia membasmi cacar tak berlangsung dalam tempo singkat, tetapi dalam waktu ribuan tahun melalui proses "trial and error". Penyakit ini telah muncul ribuan tahun lalu, tepatnya pada 3.500 tahun silam, berdasarkan ditemukannya fakta bahwa tiga mumi Mesir di zaman Firaun memiliki bekas pustula (gelembung kulit yang berisi nanah) di kulit mereka.

Dari Mesir, cacar menyebar ke negara-negara Asia dan Afrika, dan entah bagaimana prosesnya, tiba pula di Athena pada 430 SM sampai-sampai pasukan Athena dan mayoritas penduduknya kala itu musnah. Tatkala pasukan tentara salib pulang ke Eropa usai bertempur di Timur Tengah, cacar menyebar ke seantero Eropa, termasuk di Islandia. Tepat pada 1241, di pulau yang hanya dihuni 70.000 penduduk itu, 12.000 jiwa di antaranya tewas gara-gara cacar.

"Sejak 1400 hingga 1800," tulis Zimmer, "cacar diperkirakan berhasil membunuh 500 juta jiwa penduduk Eropa setiap 100 tahun, termasuk Tsar Peter II, Ratu Mary II, dan Kaisar Joseph I."

Dari Eropa, Christopher Columbus dan armada Spanyol menyebarkan cacar ke Amerika, hingga menyebabkan 90 persen penduduk pribumi tewas tanpa perlu dibedil penjelajah cum penjajah itu.

Kesialan bangsa Eropa terhadap cacar, untungnya, tak dialami bangsa Cina. Sebab, kembali merujuk Zimmer, semenjak 900 Masehi para dokter di Cina paham bahwa tatkala seseorang terkena cacar hanya mengalami gejala biasa jika sebelumnya pernah bersentuhan dengan pustula penderita cacar. Dari penemuan tak disengaja ini, dokter-dokter di Cina memproduksi variolasi (variolation), semacam bubuk yang terbuat dari bekas pustula guna menciptakan imunitas terhadap cacar.

Berkat jasa para pedagang yang lalu-lalang di Jalur Sutra, variolasi menyebar ke banyak negeri di dunia. Sejak itulah desas-desus tentang cara-cara nyeleneh guna mengatasi cacar hadir muncul, termasuk kabar tentang tidak ditemukannya penderita cacar di kalangan pemerah sapi.

Pada 1700, dokter asal Inggris bernama Edward Jenner menindaklanjuti kabar ini, hingga akhirnya ia paham bahwa pemerah sapi memiliki penyakit yang sejiwa dengan cacar (cowpox atau cacar sapi) rupanya kebal terhadap cacar air. Sebagaimana dokter-dokter Cina, Jenner akhirnya menciptakan obat anti-cacar dengan memanfaatkan pustula cacar sapi. Obat ini, mencukil nama latin untuk cowpox (Variola vaccinae), ia namai vaksin.

Dimulai oleh temuan Jenner, dan didukung "Ekspedisi Vaksin" yang dititahkan oleh Raja Carlos pada 1803 ke seluruh dunia, vaksin merevolusi dunia medis. Namun, tentu, meskipun vaksin terbukti bermanfaat, ada saja pihak-pihak yang tak suka dengannya.

Mereka yang Meragukan Vaksin

Di tengah dunia yang porak-poranda akibat wabah SARS-CoV-2, akhir 2020 lalu pensiunan ilmuwan asal Inggris bernama Michael Yeadon mengirimkan surat kepada regulator kesehatan Eropa, meminta mereka menghentikan ujicoba vaksin Covid-19.

Alasannya, sebagaimana dilaporkan Steve Stecklow untuk Reuters, Yeadon percaya bahwa vaksin yang tengah diujicobakan tersebut menyebabkan kemandulan pada perempuan. Otoritas kesehatan Eropa tak menggubris surat Yaedon. Malahan, tak lama usai surat tersebut diterima, European Medicines Agency menyetujui penggunaan salah satu vaksin yang tengah diujicoba, yakni vaksin bikinan Pfizer.

Yaedon tak melampirkan bukti nyata bahwa vaksin Covid-19 menyebabkan kemandulan. Namun, omong kosong Yaedon terlanjur menyebar di dunia maya. Menurut survei yang dilakukan Kaiser Family Foundation (KFF) pada Januari 2021 lalu, 13 persen warga Amerika Serikat yang belum divaksin mengaku mendengar omong kosong ini.

Kembali merujuk laporan Stecklow, tak lama usai surat Yeadon itu dikirim, muncul artikel berjudul "Pregnant Women: Beware of Covid Shots" di banyak situs di AS dan Eropa, utamanya yang dikelola kaum anti-vaksin.

Yaedon, melalui suratnya, berhasil menciptakan keraguan akan keamanan vaksin di tengah masyarakat dan mengompori kelompok anti-vaksin. Omong kosong itu dianggap kebenaran karena satu fakta: kenyataan bahwa Yaedon merupakan salah satu ilmuwan yang disegani. Tak hanya itu, ia juga pernah menduduki kursi Wakil Presiden Pfizer, salah satu perusahaan pembuat vaksin Covid-19.

Yaedon bukan satu-satunya ilmuwan atau orang berlatar belakang profesi medis yang menjadi tokoh anti-vaksin. Sebagaimana dilaporkan Nicholas Casey untuk The New York Times, ada pula kasus Teresa Forcades, biarawati Katolik Roma yang pernah menjadi dokter. Meski mengakui bahwa vaksin memiliki manfaat, Forcades mengatakan "vaksinasi suatu hari nanti dapat menimbulkan bahaya bagi masyarakat". Sikap yang timbul karena ia yakin bahwa perusahaan farmasi tidak dapat dipercaya. Tak hanya itu, sikap ini bermula tatkala Forcedes menjadi seorang dokter di sebuah rumah sakit di Buffalo, New York, AS, di mana ia menyaksikan perusahaan asuransi menolak membiayai pasiennya yang harus diamputasi.

Forcedes menganggap pengamalannya sebagai bukti nyata "kebrutalan (dunia bisnis kesehatan) yang lebih suka memadukan kepentingan ekonomi dan kebutuhan dasar manusia atas kesehatan." Tak tanggung-tanggung, Forcedes menulis manifesto setebal 45 halaman berjudul "The Crimes of Big Pharma". Lewat manifesto yang terbit pada 2006 itu, ia meminta masyarakat menjauhi perusahaan-perusahaan seperti Pfizer--dan tak lupa mengimbau khalayak menjauhi vaksinasi.

Bernice L. Hausman, dalam bukunya berjudul Anti/Vax: Reframing the Vaccination Controversy (2019), menyebut bahwa kemunculan orang-orang yang menentang vaksin tak bisa dianggap bersumber dari ketidakpahaman, pemikiran yang salah, atau kebodohan. Terlebih, orang-orang seperti Yaedon dan Forcedes, yang pernah berkontribusi nyata pada dunia kesehatan, tentu memiliki pengetahuan yang mumpuni soal vaksin.

Infografik Antivax

Infografik Antivax. tirto.id/Fuad

Menurut Hausman, yang telah melakukan riset selama delapan tahun untuk Anti/Vax: Reframing the Vaccination Controversy, sikap Yaedon dan Forcedes menentang vaksinasi adalah upaya mempertahankan free will (kehendak bebas) sebagai manusia modern. Alasan yang, merujuk kembali buku berjudul A Planet of Viruses (2011) yang ditulis Carl Zimmer, mirip dengan penolakan terhadap vaksin di zaman ketika Edward Jenner menemukan obat mujarab penyembuh cacar. Kala itu, kaum konservatif yang dipimpin para pemuka agama menyatakan bahwa "hanya Tuhan yang boleh menentukan mana yang sembuh dan mana yang tidak". Dengan kata lain: kehendak Tuhan.

Manusia modern kehilangan kehendak akibat vaksin karena negara mengharuskan rakyatnya divaksin. Di AS sendiri, semenjak awal 1980-an, Gedung Putih mewajibkan pemberian vaksin kepada anak-anak untuk menghindari penyakit difteri, tetanus, pertusis, campak, gondongan, rubella, polio, dan cacar. Per akhir dekade tersebut, terdapat 16 penyakit yang wajib dicegah rakyat AS melalui vaksin.

Bagi orang-orang seperti Yaedon dan Forcedes, perintah negara yang mewajibkan vaksinasi merupakan bentuk perampasan hak atas menentukan hidup.

Selain dianggap merampas free will, upaya negara mewajibkan vaksinasi akhirnya memunculkan alasan utama kedua dari para penentang vaksin. Mengutip artikel berjudul "I Thought All Anti-vaxxers were Idiots. Then I Married One" yang ditulis Adam Mongrain untuk Vox, alasan utama kedua itu adalah takut. Kembali merujuk karya akademik Hausman, negara melegitimasi penggunaan vaksin dengan cara-cara yang rentan diserang penentang vaksin, yakni dengan melegalkan vaksin melalui rasio manfaat dibandingkan dengan resikonya (risk/benefit ratio). Berdasarkan rasio ini, vaksin aman digunakan.

Pada zaman Covid-19, rasio yang sama dijadikan pijakan untuk mempertahankan penggunaan vaksin buatan AstraZeneca dan Johnson & Johnson. Pasalnya, dari 8,7 juta penerima vaksin Johnson & Johnson di AS, hanya muncul 28 kasus penerima vaksin yang mengalami gangguan penggumpalan darah.

Artinya, dengan hanya menggunakan risk/benefit ratio, vaksin sebetulnya tidak 100 persen aman. Terlebih, melalui penelitian yang dilakukan Food and Drug Administration (BPOM-nya Amerika Serikat) pada 1997 silam, disebutkan bahwa "anak-anak sangat mungkin mendapatkan/terpapar merkuri yang lebih tinggi dari ambang batas normal dalam tubuhnya karena terlalu banyak divaksin."

Dalam penelitian lanjutan, ditemukan seorang bayi yang kandungan merkuri dalam tubuhnya mencapai 187,5 miligram. Padahal, manusia pada umumnya hanya memiliki merkuri dalam rentang 10 hingga 35 miligram dalam tubuh.

Ketakutan terhadap vaksin lalu semakin menjadi-jadi di tengah masyarakat, terlebih ketika orang-orang digaungkan oleh orang-orang seperti Yaedon, Forcedes, atau Robert F. Kennedy Jr.

Tentu, dengan hanya berpijak pada risk/benefit ratio, ada 28 dari 8,7 jiwa atau 5-7 dari 1.000 orang yang mengalami nasib buruk gara-gara vaksin. Namun, sebagaimana ditulis Furaha Asani dalam "Don't Dismiss 'Anti-vax'" (New Scientist, Juni 2019), rasio ini dapat digunakan karena manusia memang belum mampu membuat obat yang 100 persen aman. Risk/benefit ratio digunakan dalam kerangka keterpaksaan dan keterdesakan.

Tentu, free will dan ketakutan bukan satu-satunya alasan mengapa ada orang yang menentang vaksin. Yang jelas, kebodohan bukan termasuk di antaranya.

Baca juga artikel terkait ANTI-VAKSIN atau tulisan lainnya dari Ahmad Zaenudin

tirto.id - Kesehatan
Penulis: Ahmad Zaenudin
Editor: Windu Jusuf