tirto.id - Trio Fauqi Virdaus, pemuda berusia 22 tahun asal Buaran, Jakarta Timur, meninggal dunia pada Kamis (5/5) lalu. Trio meninggal setelah sehari sebelumnya menjalani program vaksinasi Covid-19 dari pemerintah di Gelora Bung Karno, dengan memperoleh suntikan vaksin AstraZeneca yang pertama. Sebagaimana diwartakan Antara, beberapa jam usai Trio memperoleh suntikan vaksin itu, ia mengeluh pusing, demam, dan linu, yang berlanjut dengan sakit kepala luar biasa hingga menyebabkannya pingsan. Padahal, tatkala Trio menerima vaksin, kondisinya baik-baik saja.
Nahas, meskipun pihak keluarga sempat membawa Trio ke rumah sakit karena kondisi yang dialaminya, nyawa Trio tak tertolong.
Usai melakukan audit permulaan atas kejadian ini, Hindra Irawan Satari, Ketua Komisi Nasional (Komnas) Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI), menyatakan belum ada cukup bukti yang dapat mengaitkan peristiwa meninggalnya Trio dengan vaksin yang diterimanya. KIPI kini tengah berupaya melakukan investigasi menyeluruh, termasuk dengan melakukan autopsi terhadap jenazah Trio. Namun, meskipun proses investigasi ini belum berakhir, sejak Minggu (16/5) kemarin, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) memutuskan menghentikan sementara pendistribusian dan penggunaan vaksin AstraZeneca, khususnya pada kumpulan produksi (batch) CTMAV547 yang berjumlah 448.480 dosis dari total 67.465.600 dosis AstraZeneca di Indonesia. Batch CTMAV547 tersebut didistribusikan Kemenkes ke Jakarta dan Sulawesi.
Juru Bicara Kementerian Kesehatan Siti Nadia Tarmizi menyatakan keputusan pemerintah menghentikan distibusi dan penggunaan vaksin AstraZeneca batch CTMAV547 dilakukan guna "memastikan keamanan vaksin" dengan melakukan pengujian toksisitas dan sterilitas melalui bantuan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) yang hendak dilakukan.
Secara umum, kasus meninggalnya Trio di Indonesia yang dikaitkan dengan vaksin AstraZeneca memperkuat sentimen buruk pada vaksin yang diproduksi gabungan perusahaan asal Inggris-Swedia dan tim peneliti Oxford University ini. Di India, pemerintah Narenda Modi menyatakan ada 26 kasus pembekuan darah terkait pemberian vaksin ini. Lalu, di Inggris, hingga 14 April lalu, 168 kasus pembekuan darah dengan 32 di antaranya berakibat kematian diyakini terkait dengan pemberian vaksin AstraZeneca.
Kasus-kasus buruk yang menimpa penerima vaksin AstraZeneca tentu sangat memprihatinkan. Sayangnya, di tengah dunia yang sangat membutuhkan vaksin untuk menanggulangi wabah SARS-CoV-2, nasib malang tak hanya menimpa AstraZeneca. Vaksin Covid-19 buatan Johnson & Johnson pun mengalaminya.
Seturut dengan tindakan Pemerintah Indonesia yang menghentikan penggunaan vaksin AstraZeneca (batch CTMAV547), Pemerintah Amerika Serikat menghentikan penggunaan vaksin Johnson & Johnson semenjak awal Mei. Mengutip laporan Sara Miller untuk NBC News, dari 8,7 juta jiwa warga AS yang menerima suntikan Johnson & Johnson, 28 di antaranya mengalami kasus pembekuan darah, dan satu di antaranya meninggal. Di Eropa, dari setiap 100.000 jiwa penerima vaksin Johnson & Johnson, satu di antaranya terkena gangguan kesehatan berupa pembekuan darah.
Sialnya, hingga hari ini otoritas kesehatan beserta tim ilmuwan di seluruh dunia belum tahu pasti mengapa kasus-kasus pembekuan darah (dengan beberapa di antaranya berakibat fatal) terjadi pada beberapa orang penerima vaksin AstraZeneca dan Johnson & Johnson. Namun, sebagaimana dilaporkan Beth Mole (jurnalis yang menggenggam gelar doktor di bidang mikrobiologi) untuk Ars Technica, terdapat satu bahan baku serupa yang terdapat pada vaksin AstraZeneca dan Johnson & Johnson yang mungkin menjadi sebab pembekuan darah: adenovirus.
Adenovirus, Mahluk Apa Itu?
Pada 1953, seorang ilmuwan dari National Institute of Health (NIH) Amerika Serikat bernama Wallace Rowe meneliti virus misterius yang menyebabkan "flu biasa". Untuk penelitian ini, Rowe dan koleganya membiakkan adenoid (sejenis tonsil, kelenjar gondok di belakang rongga hidung manusia) yang ditempatkan dalam cell culture (proses di mana sel tumbuh dalam kondisi terkendali di luar lingkungan alaminya) untuk penelitian ini.
Ia pun menemukan fakta bahwa adenoid yang dibiakkan membulat dan menggumpal. Namun, virus misterius yang membikin adenoid berbentuk demikian tidak menghasilkan infeksi litik yang sangat berbeda dengan bagaimana virus-virus yang telah diketahui zaman itu bekerja. Infeksi litik adalah proses masuknya virus ke sel inang, membuat salinan dirinya, dan menyebabkan sel inang pecah.
Sayangnya, hingga setahun berlalu, kerja Rowe tidak menghasilkan kesimpulan apapun. Beruntung, seorang peneliti bernama Maurice Hilleman muncul. Ia tengah ditugaskan Pentagon untuk melakukan investigasi terhadap asal-muasal penyakit pernapasan akut (acute respiratory disease/ARD) yang tengah menjangkiti banyak prajurit Angkatan Darat AS. Kala itu, Hilleman berhasil mengamankan spesimen influenza dari tubuh para prajurit yang kelak diyakini sebagai biang wabah ARD. Namun, setelah diteliti lebih lanjut, spesimen itu ternyata bukan influenza, melainkan virus misterius yang jauh lebih menular.
Akhirnya, sebagaimana dituturkan Harold S. Ginsberg dalam bab "Discovery and Classification of Adenoviruses" pada buku berjudul Adenoviruses: Basic Biology to Gene Therapy (1999), Rowe dan Hilleman mengadakan pertemuan dan membahas temuan-temuan mereka. Mereka akhirnya menyimpulkan bahwa manusia kedatangan virus baru: adenovirus.
Adenovirus adalah virus tanpa selubung virus alias nonenveloped virus. Selubung virus berfungsi untuk melindungi materi genetik dalam siklus hidup virus saat melakukan perjalanan di antara sel inang. Sebagaimana dipaparkan Ginsberg, adenovirus memiliki 49 varian berbeda yang dapat menjangkiti manusia hingga menyebabkan berbagai penyakit, seperti flu ringan, mata merah, hingga pneumonia. Umumnya, tatkala berusia belia atau berada di lingkungan tertentu seperti medan perang, manusia mudah terpapar virus ini.
Jenis adenovirus yang jamak menjangkiti manusia adalah adenovirus tipe 2 (Ad2) dan Adenovirus tipe 5 (ad5). Adenovirus mudah menjangkiti manusia karena virus ini memiliki struktur antigen yang mirip dengan antibodi makhluk hidup yang dihinggapinya, yang terbentuk atas reaksi bebas hexons (protein yang menjadi mantel utama adenovirus) terhadap inang yang dihinggapinya. Beruntung, meskipun mudah menular pada manusia, dalam keadaan sehat wal'afiat, tubuh manusia dapat menanggulangi virus ini.
Yang menarik, sebagaimana dituturkan Ginsberg dalam The Adenoviruses (1984), adenovirus merupakan virus yang memiliki "kemampuan sosial". Adenovirus, bersama virus-virus lain, mampu membentuk adeno-associated viruses (AAVs) yang saling gotong-royong pada suatu inang yang dihinggapi. Misalnya, papovivirus yang akan lebih ganas dan menyebar lebih cepat jika bekerjasama dengan adenovirus tatkala menjangkiti monyet. Karena hal itulah para peneliti menganggap bahwa adenovirus dapat dimanfaatkan manusia untuk melakukan terapi gen dan penciptaan vaksin. Selain itu struktur adenovirus mirip dengan antibodi inangnya yang menyebabkan tubuh manusia mudah bertahan terhadap adenovirus. Studi bahkan menyatakan 40 persen warga AS dan 90 persen warga Afrika memiliki antibodi adenovirus.
Hsin-An Chen, dalam studi berjudul "Adenovirus-Based Vaccines: Comparison of Vector from Three Species of Adenoviridae" (Journal of Virology, 2010), menyebut adenovirus digunakan sebagai vektor untuk melakukan terapi gen dan vaksin bagi manusia karena virus ini memiliki kemampuan nyeleneh, yakni transgene (kemampuan memasukkan gen ke dalam genom organisme lain) dan replication-defective (cacat replikasi, yang menyebabkan adenovirus terus-terusan mereplikasi diri). Walhasil, virus ini mudah dibuat dalam jumlah besar di laboratorium dan akhirnya mudah pula direkayasa.
Tatkala hendak dijadikan vektor, ilmuwan akan menempelkan potongan kunci kode genetik virus, bakteri, atau parasit yang hendak dilawan pada adenovirus. Dari titik ini, adenovirus disuntikkan ke manusia untuk langsung menyasar sel. Sel-sel manusia menerjemahkan kode genetik menjadi protein, mencapnya sebagai "benda asing", dan menggunakan "benda asing" tersebut untuk melatih sistem kekebalan tubuh. Ketika studi Chen terbit, adenovirus telah dimanfaatkan manusia untuk mengembangkan vaksin bagi human immunodeficiency virus type-1 (HIV-1), Plasmodium falciparum (malaria), dan Mycobacterium tuberculosis (tuberkulosis). Lalu, beberapa tahun kemudian, adenovirus tipe 26 (Ad26) dimanfaatkan ilmuwan sebagai bahan baku penciptaan vaksin Ebola dan Zika.
Selepas dunia dihantam SARS-CoV-2, Ad26 dijadikan bahan baku pembuatan vaksin Covid-19 oleh Johnson & Johnson (Ad26.COV2.S). Sementara itu, Vaksin buatan AstraZeneca memanfaatkan varian adenovirus yang umum menjangkiti simpanse bernama ChAdOx1 untuk membuat ChAdOx1 nCoV-19. Adenovirus ChAdOx1 ini, sebelum AstraZeneca menjadikannya bahan baku vaksin Covid-19, telah dimanfaatkan ilmuwan untuk menciptakan vaksin MERS (ChAdOx1 MERS).
Baik Ad26.COV2.S dan ChAdOx1 nCoV-19 mengandung spike protein, modul atau bagian khusus yang berfungsi melukai manusia dan terdapat pada SARS-CoV-2 . Namun, spike protein yang disuntikkan pada adenovirus tersebut telah dilumpuhkan terlebih dahulu. Dan tatkala masuk ke tubuh manusia, spike protein ini berguna untuk melatih sel imun manusia bagaimana menghadapi SARS-CoV-2--jika suatu saat manusia tertular.
Merujuk studi berjudul "Interim Results of a Phase 1–2a Trial of Ad26.COV2.S Covid-19 Vaccine" (New England Journal of Medicine 2021) dan "Safety and Immunogenicity of the ChAdOx1 nCoV-19 Vaccine Against SARS-CoV-2: A Preliminary Report of a Phase 1/2, Single-blind, Randomised Controlled Trial" (The Lancet Vol. 396 2020), spike protein SARS-CoV-2 dan adenovirus yang disuntikkan ke dalam tubuh manusia ketika vaksin ini diuji tidak menghasilkan gejala parah apapun, alias tidak berbahaya atau aman-aman saja digunakan.
(Catatan: vaksin mirip label "anti air" pada beragam perangkat elektronik yang ada di pasaran. "Anti air" bukan berarti perangkat Anda tidak akan atau tidak dapat terkena air, tetapi manakala perangkat Anda terkena/tersiram Air, perangkat milik Anda yang berlabel "Anti air" akan baik-baik saja--atau setidaknya tidak akan mengalami kerusakan parah. Vaksin juga demikian).
Sayangnya, kasus-kasus pembekuan darah hingga kematian yang dikaitkan dengan pemberian vaksin buatan AstraZeneca dan Johnson & Johnson berkata lain. Adenovirus yang dicampur SARS-CoV-2 menghasilkan efek negatif nan berbahaya--meskipun kasus gangguan kesehatan atau kematian masih dalam kuantitas yang kecil dibandingkan total penerima vaksin ini. Efek berbahaya ini mengingatkan kembali kasus yang terjadi pada 1999 silam di AS. Kala itu, sebagaimana termuat pada arsip The New York Timestertanggal 28 November 1999, seorang remaja berusia 18 tahun bernama Jesse Gelsinger meninggal dunia karena melakukan terapi gen memanfatkan adenoviru tipe 5 (AD5) untuk menyembuhkan gangguan metabolik hati (liver) yang diidapnya.
Sayangnya, hingga hari ini, ilmuwan belum mengetahui pasti mengapa adenovirus, yang sebetulnya lazim menjangkiti manusia, dapat menghasilkan efek berbahaya.
Editor: Windu Jusuf