Menuju konten utama

Upaya Uber dan Didi Menyerobot Gojek

Meski terkenal dengan predikat gemar membakar uang dari para investornya, para start-up ride-hailing selalu menjadi sorotan. Masa depan menjanjikan menjadi pegangan dari para investor tersebut untuk bersabar meski kompetisi semakin ketat. Uber dan Didi Chuxing adalah dua perusahaan terdepan dalam kompetisi itu. Perang mereka yang disinyalir telah "berakhir" di Cina kini berpindah ke pasar yang tidak kalah menarik, Asia Tenggara Indonesia menjadi sorotan utamanya.

Upaya Uber dan Didi Menyerobot Gojek
Seorang warga mencari transportasi dengan aplikasi online di Jakarta, Kamis (17/3). ANTARA FOTO/M Agung Rajasa.

tirto.id - Pada Selasa (20/9/2016) bisa dikatakan sebuah titik tolak dari babak baru pertarungan antara start-up ride-hailing di pasar Asia Tenggara yang diprediksi akan semakin sengit. Pada hari tersebut, dalam rilis resminya, Grab mengumumkan bahwa mereka telah berhasil menghimpun pendanaan sebesar $750 juta.

Pendanaan tersebut melebihi perkiraan yang sebelumnya telah disebutkan, yakni sebesar $600 juta. Perusahaan raksasa asal Jepang Softbank memimpin putaran investasi tersebut, sementara rival Uber, Didi Chuxing, sebelumnya telah dilaporkan oleh Bloomberg juga ikut terlibat sebagai salah satu investor dalam putaran itu.

Dengan modal sebesar itu, Grab mengatakan bahwa posisi modalnya telah naik menjadi lebih dari $1 miliar. Sebuah angka yang cukup untuk membawa Grab pada posisi untuk bersaing ketat dengan para kompetitor mereka di kawasan Asia Tenggara, dalam hal ini, Uber dan Go-Jek.

Jelas dari skenario tersebut tampak bila pertarungan Didi dengan Uber belum selesai. Terlepas dari kesepakatan dalam hal pertukaran investasi dan eksekutif di antara kedua perusahaan tersebut, nyatanya langkah Didi untuk ikut terjun dalam pendanaan Grab bisa jadi merupakan salah satu upaya untuk menjegal pasar Uber di kawasan Asia Tenggara yang legit.

Seperti yang telah diketahui sebelumnya, pasca persaingan dengan Didi di Cina yang membuat babak belur secara finansial, Uber diketahui memindahkan fokusnya kepada pasar potensial lainnya yang tengah berkembang pesat, yakni Asia Tenggara.

Di sisi lain, beberapa minggu sebelum Grab resmi mengumumkan pendanaan baru tersebut, Go-Jek, rival utamanya di Tanah Air, juga telah mengumumkan pendanaan baru yang mereka dapatkan, yakni sebesar $550 juta.

Go-Jek mendapatkan suntikan dana itu dari sejumlah investor, yakni KKR, Warburg Pincus, Farallon Capital dan Capital Group Private Markets. Mereka bergabung dengan Sequoia India, Northstar Group, DST Global, NSI Ventures, Rakuten Ventures dan Formation Group yang telah lebih dahulu menanamkan investasinya.

Melalui pendanaan itu pula, Go-Jek yang selama ini masih berkutik dengan pasar Indonesia "mengisyaratkan" akan ikut bermain di pasar Asia Tenggara, bersaing dengan Uber dan Grab yang telah lebih dahulu menancapkan cakarnya di sejumlah negara di Asia Tenggara.

Indonesia, Pasar "Emas" yang Diperebutkan

Tidak dapat dipungkiri, Asia Tenggara merupakan pasar yang sangat menarik bagi para start-up ride hailing.

Pada bulan Mei lalu, berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Google bekerja sama dengan perusahaan investasi asal Singapura, Temasek, kawasan Asia Tenggara memiliki potensi ekonomi internet senilai $200 miliar (Rp2.652 triliun) – tumbuh dari market size sebesar $31 miliar pada 2015 – yang dapat dieksplorasi oleh para entrepreneur dan investor di bidang teknologi.

Namun, di kawasan tersebut, boleh dikatakan Indonesia adalah jawaranya dalam urusan potensi pasar. Selain jumlah penduduknya merupakan yang terbesar di kawasan Asia Tenggara, Indonesia memiliki 88,1 juta pengguna internet aktif. Selain itu, sebanyak 36 persen dari populasinya memiliki smartphone, sebut Andre Soelistyo, Chief Financial Officer Go-Jek.

Google dan Temasek juga memprediksi Indonesia akan memegang peranan signifikan dengan penguasaan sekitar 52 persen pasar e-commerce di Asia Tenggara dengan nilai $46 miliar.

Khusus untuk pasar online ride, pangsa pasar Asia Tenggara diperkirakan akan tumbuh sebesar lima kali lipat pada tahun 2025 mencapai hingga $13,1 miliar, dari $2,5 miliar pada 2015, dengan jumlah pengendara aktif setiap bulannya mencapai 28,7 juta pengendara, atau tumbuh empat kali lipat dari tahun 2015.

Lantas di mana posisi Indonesia? Bisa ditebak, dengan populasi sedemikian besar, Google dan Temasek memprediksi Indonesia akan berkembang menjadi pasar paling besar pula di kawasan Asia Tenggara, mencapai $5,6 miliar pada tahun 2025, dengan tingkat Compound Annual Growth Rate (CAGR) sebesar 22 persen.

Tingkat pertumbuhan itu hanya kalah dari Filipina dan Vietnam yang memiliki CAGR masing-masing sebesar 23 dan 24 persen. Kedua negara itu pun diprediksi "hanya" akan memiliki pangsa pasar sebesar masing-masing $1,7 miliar dan $1,3 miliar.

Grab bahkan memprediksi angka yang jauh lebih besar lagi untuk Indonesia yakni sebesar US$15 miliar, atau tiga kali lipat lebih besar daripada yang diprediksikan oleh Google dan Temasek. Anthony Tan mengatakan dalam keterangan resminya bahwa Grab, "sangat bersemangat, terutama melihat peluang pertumbuhan di Indonesia."

Maka tidak heran jika kemudian Grab mengatakan bahwa mereka akan sangat fokus dalam menggarap pasar "emas" ini.

"Grab akan menggunakan $1 miliar tersebut untuk terus memperluas layanan transportasi di Asia Tenggara, rumah bagi 620 juta orang, dan populasi kelas menengah dan pengguna smartphone yang terus meningkat, khususnya di Indonesia," kata perusahaan tersebut dalam keterangan resminya.

Grab, Uber dan Go-Jek di Indonesia

Grab sendiri mengakui jika Indonesia, terutama di daerah Jakarta dan sekitarnya, telah menjadi pasar terbesarnya, di mana GrabCar dan GrabBike telah tumbuh lebih dari 250 kali lipat sejak pertengahan tahun 2015. Selama paruh pertama 2016 saja, GrabBike sudah tumbuh 300 persen, dan di saat yang bersamaan mampu mengurangi subsidinya – hal yang sangat dikejar oleh para start-up ride hailing – pada setiap hantaran yang berhasil diselesaikan sebesar 50 persen.

Grab yang terafiliasi dengan Didi tersebut jelas akan mengeluarkan segenap upayanya untuk mengamankan porsi yang besar pada pasar Indonesia.

Di sisi lain, seperti dikutip dari TechCrunch, Uber sendiri sebelumnya telah mengatakan bahwa pasar Asia Tenggara telah membawa keuntungan bagi perusahaan tersebut, yakni di Singapore dan Filipina. Namun, mengingat besarnya potensi yang ada di Indonesia, tentunya start-up paling bernilai di dunia tersebut tentunya tidak ingin kehilangan kue di Indonesia.

Uber memang tidak berkata banyak terkait hal ini, namun salah satu upayanya yang paling tampak adalah hadirnya layanan Uber Motor di Tanah Air pada April tahun ini dengan tarif yang lebih murah (Rp1.000/kilometer) jika dibandingkan dengan Grab maupun Go-Jek yang telah menyediakan layanan serupa.

Tidak berhenti di situ, pada bulan Maret, Uber meluncurkan pula layanan UberPool untuk mendongkrak lebih banyak jumlah penumpang di Indonesia. Sebagai catatan, UberPool adalah layanan di mana pemesanan layanan dapat berbagi tempat dalam satu kendaraan dengan pemesan lain yang ada dalam satu rute dengan sang pemesan layanan.

Meskipun tidak secara spesifik menyebutkan lokasinya, Uber dikabarkan juga menerjunkan 150 teknisinya dari Cina, di mana mereka menjual unit bisnisnya kepada Didi, ke wilayah Asia Tenggara. Menurut Bloomberg, hal itu dilakukan sebab Uber ingin fokus untuk mengembangkan fitur baru seperti pemetaan seiring dengan upayanya untuk meningkatkan pelayanan di sejumlah wilayah termasuk Singapura, Thailand, dan Indonesia.

Sementara itu, meski mengindikasikan intensinya untuk berekspansi lebih luas di kawasan Asia Tenggara, tetapi perolehan dana investasi Grab tampaknya membuat Go-Jek untuk kembali fokus pada pasar Indonesia, setidaknya dalam beberapa waktu ke depan.

Dengan sedemikian ketatnya persaingan di Tanah Air, tuan rumah Go-Jek pun jelas tidak mau tertinggal. Baru-baru ini, start-up tersebut membuat keputusan yang menyorot protes dari para pengemudi motornya, yakni menurunkan tarifnya menjadi Rp2.000/kilometer dengan minimal jarak tempuh dua kilometer. Sebuah langkah yang jelas ditujukan untuk mengantisipasi perang tarif antar ketiga start-up tersebut.

Akan menjadi menarik untuk melihat bagaimana perang antara ketiga start-up tersebut ke depan di Indonesia, di mana Grab yang bisa dibilang merupakan representasi Didi, melawan Uber ditambah pemain lokal ketiga yang kuat, Go-Jek.

Jika di Cina, Didi bisa menggulingkan dominasi Uber, apakah di Indonesia, Go-Jek dapat muncul sebagai pemimpin? Atau Grab yang meraja di Asia Tenggara dan mendapat dukungan dari Didi yang melaju tak terhenti?

Baca juga artikel terkait TEKNOLOGI atau tulisan lainnya dari Ign. L. Adhi Bhaskara

tirto.id - Teknologi
Reporter: Ign. L. Adhi Bhaskara
Penulis: Ign. L. Adhi Bhaskara
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti