Menuju konten utama

Upaya Dongkrak Ekspor ala Mendag Bisa Ganggu Kebutuhan Domestik

Pemerintah harus hati-hati dalam eksekusi rencana dongkrak ekspor yang menghapus syarat wajib laporan surveyor untuk produk yang tercantum dalam daftar larangan terbatas.

Upaya Dongkrak Ekspor ala Mendag Bisa Ganggu Kebutuhan Domestik
Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita menyampaikan kuliah umum Kebijakan Perdagangan dalam Menghadapi Pasar Global di Era Revolusi Industri 4.0 di Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), Bandung, Jawa Barat, Jumat (14/9/2018).ANTARA FOTO/M Agung Rajasa

tirto.id - Pemerintah tengah mempersiapkan sederet kebijakan untuk memangkas hambatan ekspor sejumlah komoditas. Salah satunya adalah penghapusan syarat wajib laporan surveyor (LS) untuk produk yang tercantum dalam daftar larangan terbatas (laratas).

Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita menyampaikan, kebijakan yang bakal ditopang oleh peraturan di kementeriannya itu menyasar produk sumber daya alam yang jadi penyumbang besar bagi ekspor Indonesia.

"Semua yang bisa kami sederhanakan, disederhanakan. Misalnya mineral, batu bara dan sawit," ujarnya usai rapat di Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Kamis (25/1/2019) malam.

Selama ini, mandatori LS memang banyak dikeluhkan oleh eksportir karena menambah beban biaya dan menghambat ekspor. Keluhan muncul karena ekspotir masih harus mengurus dokumen serupa di negara tujuan pengiriman komoditas.

Lantaran itu, kata Enggartiasto, pemerintah akan mengkaji produk ekspor apa saja yang mengalami dobel LS.

“Jadi buat apa diperiksa-periksa. Kan, ada duplikasinya. [Masak] di sana diperiksa, di sini diperiksa," ucapnya.

Ketua Komite Tetap Ekspor Kamar Dagang Indonesia (Kadin), Handito Juwono berkata pemerintah harus berhati-hati dalam mengeksekusi rencana tersebut.

Sebab, kata Handito, jika kebijakan itu diambil dengan gegabah, dikhawatirkan kebutuhan untuk pasar domestik akan terganggu.

Apalagi sejumlah komoditas dalam daftar larangan terbatas banyak dibutuhkan untuk bahan baku industri manufaktur--yang 70 persennya berbasis sumber daya alam.

“Jangan di satu sisi memperlancar ekspor, tapi justru menghambat yang lain. Ini membuat barang impor semakin deras ke dalam negeri,” kata Handito.

Meski demikian, Handito mendukung langkah pemerintah untuk menggenjot kinerja ekspor yang belakangan merosot dan tak mampu menyandingi lonjakan impor.

Namun, kata Handito, yang menjadi catatan, kebijakan serupa juga harus diterapkan pada ekspor produk manufaktur karena memiliki nilai tambah lebih besar.

Caranya, kata dia, bisa dengan menyederhanakan syarat bagi eksportir manufaktur untuk mendapatkan surat keterangan asal (SKA) hingga kehadiran hub promosi ekspor.

“Dengan begitu kapasitas ekspor manufaktur bisa perlahan-lahan menggantikan ekspor barang mentah,” kata Handito.

Ekonom dari Institute for Development of Economies and Finance (Indef) Nailul Huda menyampaikan, kebijakan menghapus LS pada beberapa komoditas ekspor memang salah satu strategi jangka pendek yang bisa dilakukan.

Nailul mengatakan, hasil kajian yang dilakukan Indef tahun lalu juga menyebut hal yang sama, yaitu beberapa peraturan yang selama ini mempersulit ekspor komoditas.

“Namun tentu saja kita juga harus melihat persediaan bagi industri dalam negeri sendiri, yang harusnya dipenuhi terlebih dahulu,” kata Nailul.

Karena itu, ia mewanti-wanti pemerintah untuk membuka diskusi dengan para pengusaha agar menghindari pertentangan yang berpotensi muncul. Sebab, produsen komoditas ekspor juga memerlukan kepastian dari pemerintah agar produknya terjun.

Jika permintaan dari luar negeri memang dapat menjamin pembelian serta menguntungkan bagi pengusaha, kata dia, maka proses ekspor perlu dipermudah. Sebaliknya, jika permintaan dari dalam negeri lebih dapat menjamin pembelian, maka harus fokus dahulu dalam negeri.

"Sepertinya memang industri pengguna komoditas [mentah] tersebut juga harus digenjot untuk menjamin kepastian pembelian,” kata Nailul.

Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan, Oke Nurwan mengakui bila pemerintah tidak dapat sembarangan melakukan penghapusan LS.

Namun, kata Oke, hal itu lantaran sejumlah kesepakatan dagang internasional yang mewajibkan penyertaan LS dari dalam negeri.

Dari total 14 produk lartas yang ada di bawah kewenangan Kemendag, terdapat tujuh komoditas yang wajib menggunakan LS.

“Misalnya intan kasar, timah, batu bara, CPO (Crude Palm Oil). Itu yang akan kami lihat. Intan, kan, ada ketentuan internasional. Nah, apa yang bisa kami permudah," kata Oke.

Sementara untuk produk yang ketentuan lartasnya berkaitan dengan suplai kebutuhan domestik, kata Oke, akan disiapkan payung hukumnya yang bisa mengakomodasi kebutuhan ekspor maupun konsumsi domestik.

"Kalau diamanatkan untuk di sini, untuk keperluan apa? Ya kami lihat penggantinya. Karena ini, kan, kepentingan [domestik]” kata Oke menambahkan.

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution mengatakan rencana pemerintah untuk mempermudah perizinan ekspor tersebut masih akan dibahas secara mendalam dan belum akan diputuskan dalam waktu sepekan ke depan.

Terkait target penerapan kebijakan tersebut, Darmin hanya menjawab singkat “tanya saja ke mendag, karena dia yang mengusulkan.”

Baca juga artikel terkait EKSPOR atau tulisan lainnya dari Hendra Friana

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Hendra Friana
Penulis: Hendra Friana
Editor: Abdul Aziz