tirto.id - Setelah Cina berupaya menguasai sektor perdagangan dan bisnis global dengan kembali menghidupkan Jalur Sutra dan gencar menanamkan investasi di luar negeri, pemerintah Xi Jinping kini mulai memperluas peran media untuk membentuk persepsi publik yang positif atas negeri panda tersebut.
Dalam tulisan berjudul “Beijing Builds Its Influence in the American Media” yang dimuat di Foreign Policy, Bethany Allen memaparkan bagaimana Cina memperkuat pengaruhnya di media Qiao Bao yang berbasis di California, Amerika Serikat.
Qiao Bao dimiliki perusahaan AS, Rhythm Media Group yang juga membawahi stasiun radio di Seattle dan Washington. Qiao Bao didirikan oleh Xie Yining yang pernah menjadi jurnalis di media Cina lalu pindah ke Amerika pada 1990. Salah satu kantor Rhytm juga berdiri di Cina.
Meski berbasis di Amerika, Qiao Bao lebih banyak menyajikan berita 'positif' terkait pemerintah Cina dan partai Komunis. Kongres ke-19 Partai Komunis pada Oktober lalu, media berbahasa Mandarin mengangkat kongres tersebut sebagai tajuk utama selama 11 hari berturut-turut. Foto Xi Jinping kerap hadir di halaman utama Qiao Bao.
Berbagai prestasi partai tak lupa diselipkan di bawah tajuk utama. Harian Amerika ini menyajikan berbagai isu yang ramah soal Cina kepada lebih dari 100.000 pembaca keturunan Cina di negara Amerika. Tujuannya: merangkul diaspora Cina di AS guna mendukung agenda politik Xi Jinping.
Menurut Bill Bishop, penulis Sinocism (sebuah buletin yang banyak dibaca oleh jurnalis dan pakar tentang Cina), langkah memperluas jangkauan media adalah agenda penting dari strategi jangka panjang Beijing, untuk menciptakan opini publik yang menguntungkan Partai Komunis dan pemerintah Cina.
Walhasil, Qiao Bao akan menghindari isu politik yang sensitif seperti kritik terhadap pemerintah Cina dan Partai Komunis. Hal ini lazim dilakukan media lokal Cina yang berada di bawah kontrol pemerintah seperti Xinhua. Terlebih lagi, Qiao Bao juga bermitra dengan media berbahasa Inggris Global Times yang dikuasai Partai Komunis Cina
Pemimpin redaksi Der Jeng menepis anggapan bahwa Qiao Bao pro-pemerintah Cina. Ia mengungkapkan bahwa konten dari media yang didirikan Xie Yining dan sudah berusia 28 tahun itu tetap mempertimbangkan sisi jurnalistik yang memegang teguh prinsip non-partisan.
Terlepas dari sanggahan itu, isu perluasan pengaruh Cina di media Amerika yang diangkat Bethany pada dasarnya bukanlah hal baru. Pada 2003, Komite Sentral Partai Komunis Cina dan Komisi Militer Pusatnya telah menyetujui tiga konsep "peperangan" yang dikenal sebagai San zhan untuk Tentara Pembebasan Rakyat (PLA).
Tiga konsep itu terdiri dari perang opini publik melalui media atau yulan Zhan, perang psikologis atau disebut xinli zhan dan perang hukum atau disebut falu zhan. Sejak itu, pemerintah Cina gencar menggunakan media demi menarik dukungan masyarakat guna mendukung program negara terutama saat Xi Jinping memimpin pada Maret 2013.
Begitu berkuasa, Xi Jinping, yang kerap disebut sebagai pemimpin Cina paling berpengaruh setelah Mao Zedong, CCTV (China Central Television) langsung membuka kantor di Amerika. Hal itu terjadi persis ketika sejumlah media AS gulung tikar.
Kantor CCTV pun hanya berjarak dua blok dari Gedung Putih. Berbagai perkembangan yang terjadi di Gedung Putih dapat dengan mudah di pantau oleh media Cina ini. Sebaliknya, media luar sangat sulit untuk masuk ke wilayah Cina akibat kontrol kuat dari pemerintah.
Menurut laporan laporan NPR, kehadiran CCTV America bahkan dapat menjangkau lebih banyak warga Amerika dibandingkan Al-Jazeera America, sampai-sampai media yang berbasis di Doha itu mengakuisisi Current TV untuk menjangkau lebih banyak warga Amerika.
Sama seperti Cina, Iran (lewat siaran berbahasa Inggris Press TV) dan Rusia (via Russia Today atau Sputnik) juga memiliki media arus utama yang mewakili kepentingan politik luar negeri negeri masing-masing dan secara umum kritis terhadap pemerintah AS. Namun jika ditelisik, ada perbedaan dalam menentukan audiens yang disasar.
Ekspansi Cina lebih dari itu. Dengan konsep yulan zhan, Xi Jinping betul-betul mengerahkan media-media Cina untuk membangun opini publik. Secara rapi Beijing membagi tugas untuk media-medianya. Mulai dari media lokal untuk menjaring dukungan warga di daratan Cina, versi Inggris untuk penduduk global, dan bagi para diaspora dengan menggunakan media seperti Qiao Bao.
Berita-berita yang kontra dengan Amerika terkadang ditulis dalam bahasa Mandarin. Seperti berita Qiao Bao soal “kemunafikan pembela hak asasi manusia di Barat” yang juga dikutip media lokal di Cina. Pemerintah Amerika pada dasarnya tak begitu peduli dengan berita dalam bahasa lokal. Tak heran, media ini mampu bertahan selama 28 tahun di AS.
Tak hanya mempengaruhi opini warganya, media Beijing juga sukses mengerahkan diaspora Cina di berbagai wilayah untuk secara vokal mendukung kebijakan Beijing. Di Australia, asosiasi mahasiswa dan cendekiawan Cina terus bergerak untuk melancarkan agenda politik Beijing.
Merriden Varrall, direktur di Lowy Institute, Australia, mengungkapkan Cina kian kuat dalam menjalankan soft power di bawah kendali Xi Jinping termasuk mengarahkan opini publik."Masih ada kesan bahwa meyakinkan persepsi orang lain adalah penting, tapi ada juga kesan bahwa Cina merasa harus mendikte persepsi tersebut, dan bahwa seluruh dunia bias memandang Cina," kata Varrall.
Xi tampaknya paham, bahwa salah satu kekuatan Cina ada pada warganya. Dukungan dan keyakinan warga terhadap pemerintah sangatlah penting. Tentu ia tak ingin semua agenda negara buyar karena adanya pro dan kontra dalam masyarakat. Sebab itu terkadang berujung pada konflik yang pada akhirnya hanya akan melemahkan negara.
"Semua media berita yang dijalankan oleh Partai [Komunis] harus mewakili kehendak partai, melindungi otoritas dan persatuan partai," kata Xi dalam sebuah pidato di hadapan pejabat media pada 2016 lalu.
Penulis: Yantina Debora
Editor: Windu Jusuf