tirto.id - Umat Islam tidak boleh menuntut pemerintah untuk membuatkan Undang-Undang (UU) yang melarang non-muslim menjadi pemimpin di Indonesia.
Hal itu disampaikan ahli agama Islam dari Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Yunahar Ilyas dalam sidang kesebelas kasus penodaan agama dengan terdakwa Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), Selasa (21/2/2017).
"Itu melanggar ketentuan karena Indonesia bukan negara yang secara langsung berlandaskan hukum Al-Quran maupun hadits," kata Yunahar di Auditorium Kementerian Pertanian, Jakarta.
Lebih lanjut, ia menyatakan bahwa memilih pemimpin tanpa berdasarkan etnis maupun agama adalah hak dan kewajiban bagi umat Islam.
"Hak itu seperti kriteria seorang pemimpin yang akan dipilih sedangkan kewajibannya adalah memilih pemimpin itu sendiri. Misalnya soal kriteria apakah itu satu kampung, satu etnis maupun satu agama itu sepenuhnya urusan seseorang," ucap Yunahar dikutip dari Antara.
Meski demikian, dia menegaskan, hal itu juga berlaku pada pemilih yang memilih pemimpin berdasarkan agama dan keyakinannya. Hal tersebut juga tidak melanggar konstitusi, memecah belah negara dan bangsa.
Dalam keterangan sebelumnya, ia juga mengatakan bahwa kalimat dalam pidato Ahok di Kepulauan Seribu, yang berbunyi “dibohongi pakai Al-Maidah ayat 51" menguatkan tuduhan penodaan agama untuk Gubernur DKI Jakarta tersebut.
Pasalnya, menurut Yunahar, kalimat itu bermakna bahwa Surat Al-Maidah Ayat 51 menjadi alat untuk kebohongan.
"Kalau dibohongi pakai [surat] Al-Maidah 51 berarti [surat] Al-Maidah 51 itu sebagai alat untuk berbohong. [padahal] Al-Quran itu kitab benar. Yang memberatkan dari kalimat itu adalah adanya kata-kata dibohongi," kata Yunahar.
Yunahar juga mengatakan bahwa pihak yang memiliki otoritas resmi paling kuat untuk menafsirkan maksud Surat Al-Maidah ayat 51 adalah para ulama Islam.
"Dalam menafsirkan, orang-orang harus punya ilmu-ilmu yang disyarakatkan untuk bisa memahami Al-Quran dan itu adalah para ulama karena mereka termasuk dalam orang yang meneruskan misi Nabi," kata Yunahar.
Sebelumnya, ahli agama Islam dari Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Miftachul Akhyar yang juga memberikan keterangan dalam sidang lanjutan menuding Ahok ceroboh saat mengutip Surat Almaidah Ayat 51 di pidatonya sehingga menimbulkan polemik yang seharusnya tidak perlu terjadi di masyarakat.
"Jika Ahok tidak menyinggung Surat Al Maidah 51, situasi ibu kota akan kondusif. Seharusnya beliau tidak berbicara demikian, saya rasa ceroboh," ujar Miftachul.
Di persidangan kali ini, Jaksa Penuntut Umum (JPU) juga memanggil ahli pidana dari Universitas Islam Indonesia (UII) Mudzakkir.
Atas kasus itu, Ahok dikenakan dakwaan alternatif yakni Pasal 156a dengan ancaman 5 tahun penjara dan Pasal 156 KUHP dengan ancaman 4 tahun penjara.
Menurut Pasal 156 KUHP, barang siapa di muka umum menyatakan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap suatu atau beberapa golongan rakyat Indonesia diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
Perkataan golongan dalam pasal ini dan pasal berikutnya berarti tiap-tiap bagian dari rakyat Indonesia yang berbeda dengan suatu atau beberapa bagian lainnya karena ras, negeri asal, agama, tempat asal, keturunan, kebangsaan atau kedudukan menurut hukum tata negara.
Sementara menurut Pasal 156a KUHP, pidana penjara selama-lamanya lima tahun dikenakan kepada siapa saja yang dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia.
Penulis: Alexander Haryanto
Editor: Alexander Haryanto