tirto.id - Pada 14 Januari, pukul 10.39 WIB, terjadi ledakan di Starbucks Thamrin, Jakarta. Selang 19 menit kemudian, sejumlah polisi mulai baku tembak dengan pelaku di lokasi. Tak berselang lama, polisi berhasil melumpuhkan para teroris yang menyerang jantung ibukota itu. Apakah itu bukti kinerja baik Kepolisian Republik Indonesia?
Dalam sejumlah hasil penulusuran, disebutkan bahwa respons cepat itu tersebab kebetulan belaka: sejumlah polisi sedang berada di kawasan itu. Ajun Komisaris Besar Polisi (AKBP) Untung Sangaji, misalnya, baru saja selesai melaksanakan tugas rutin pengamanan jalur ring satu, mulai dari lingkaran Istana Negara hingga bundaran Hotel Indonesia. AKBP Sangaji merupakan salah satu tokoh sentral karena berhasil melumpuhkan 4 dari 7 teroris bom Thamrin.
Dalam banyak kasus, cepatnya penanganan disebabkan karena kebetulan ada polisi yang sedang dekat dengan tempat kejadian perkara. Bagaimana jika ada kejadian darurat, sementara polisi tak ada di sekitar tempat kejadian? Untuk menjawab ini, perlu ditelusuri tentang standar prosedur dalam merespons krisis.
Untuk respons terhadap sebuah kejadian, Kepolisian Republik Indonesia sesungguhnya punya layanan call center yang melayani pelaporan kejadian darurat. Program "Quick Response 112" diinisiasi sejak 2009. Masyarakat bisa mengaksesnya melalui sambungan telepon rumah, CDMA, dan GSM. Polda Metro Jaya dan Polda Jabar menjadi pilotproject untuk layanan tersebut.
Sayang, layanan ini tidak berkembang karena kekurangan tenaga. Saat itu, selama sehari "Quick Response 112" mendapat 100 telepon per hari, sedangkan staf yang melayani hanya tiga orang. Belum lagi, kinerja antar-lembaga kepolisian seperti Polda, Polres, dan Polsek yang belum terintegrasi dengan baik. Karena musabab itu, layanan ini semakin tak bisa diandalkan.
Pada 2012, seiring buruknya layanan pengaduan darurat, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta berencana membangun sistem layanan panggilan darurat terpadu. Sempat ada pembicaraan untuk menjalin kerja sama dengan tenaga ahli dari Kanada dan Malaysia. Layanan ini diharapkan tak semata menerima aduan tindak kriminal, tetapi juga terhubung dengan rumah sakit dan dinas kesehatan, pemadam kebakaran, serta Satpol PP. Namun, proyek ambisius ini tidak ada kelanjutannya.
Akhirnya, pada 2013, kepolisian meluncurkan layanan tanggap darurat, yakni call center 110. Warga bisa menelepon nomor 110 dari semua telepon, baik sambungan rumah maupun seluler, secara cuma-cuma. Layanan ini ditujukan untuk membantu masyarakat yang mengalami hal darurat terkait tindakan kejahatan, misalnya penemuan mayat, perkelahian, perampokan, penculikan, juga kecelakaan.
Ditangani sekurangnya seratus petugas, layanan ini meladeni laporan warga selama 24 jam tanpa libur, dalam tujuh hari sepekan. Cara kerjanya: seluruh pengaduan yang diterima call center akan direkam dan secara simultan diteruskan ke seluruh Polres, Polresta, Polda, Puskodalops Polri, serta piket Polisi Perairan dan Udara (khusus antisipasi dan penanggulangan perompakan) di seluruh Indonesia.
Ihwal rentang waktu ketanggapan atas situasi darurat, tidak didapat data yang menunjukkan waktu rata-rata petugas untuk sampai ke tempat perkara. Tapi, secara ideal, Kepala Badan Pemeliharaan Kemananan (Baharkam) Polri Komisaris Jenderal Polisi Oegroseno menyebut petugas akan tiba di lokasi dalam 5-10 menit setelah pelaporan.
Itu jelas target yang ambisius. Sekadar gambaran, para opsir Amerika Serikat, Australia, dan Inggris belum sanggup secara konsisten tiba sebelum menit ke-8. Wartawan New York Times, Adam Nossiter, menyebut peristiwa serangan teroris di Paris 13 November lalu sebagai kritik besar bagi polisi Perancis. Lewat analisis mendalam tentang respons polisi atas prahara tersebut, terungkap bahwa kepolisian Perancis tak cukup cepat tanggap.
Polisi pertama tiba di Bataclan Concert Hall setelah 15 menit. Saat itu, 90 orang sudah terkapar karena luka tembak. Polisi yang menyandang senjata standar itu melumpuhkan seorang penyerang. Setelah teror berlangsung selama setengah jam, barulah satuan anti-teror datang. New York Times melaporkan: secara keseluruhan, polisi butuh tiga jam untuk membereskan perkara itu.
Di Australia, kepolisian Perth juga menjadi sasaran kritik karena dianggap lamban dalam merespons aduan warga. Asisten Komisioner Polisi Perth, Gary Budge, pada 2012 silam menyampaikan kepada situs Australia ABC bahwa pihaknya mendapatkan sejuta telepon per tahun. Mulai dari ancaman bersenjata, pembunuhan, hingga perampokan.
Kepolisian Australia menetapkan standar kecepatan respons yang sebenarnya tak rendah, yakni 9 menit sejak pelaporan. Selaku alat negara, kepolisian Perth mendengarkan suara publik dan kemudian membikin target: mereka akan merespons dalam tempo yang lebih cepat, yaitu kurang dari 8 menit.
Pada 2013, jurnalis TV Amerika Charlie LeDuff, melakukan eksperimen terhadap respons polisi di kota Detroit. Lewat filmnya, Charlie LeDuff menunjukan bahwa di Detroit polisi butuh waktu 4 jam setelah pelaporan untuk tiba di tempat kejadian perkara. Dua tahun kemudian, sebuah LSM di New Orleans melakukan riset yang menunjukan bahwa polisi butuh 79 menit untuk menindaklanjuti aduan warga di kota itu. Padahal pada 2010, waktu yang diperlukan “hanya” 20 menit.
Kelambanan respons polisi di Inggris juga menjadi perhatian parlemen, khususnya faksi Partai Buruh. Rata-rata respons polisi Inggris pada 2011 dan 2013 adalah enam sampai sembilan menit sejak aduan dilakukan. Pada 2014 kecepatan itu turun jadi 8,4 menit, dan pada 2015 turun lagi menjadi 11,04 menit. Pihak Partai Buruh di parlemen Inggris menekankan bahwa perbaikan mesti segera dikerjakan, sebab krisis tak pernah menunggu.
Dengan gambaran dari beberapa negara itu, Kepolisian Indonesia tentu bisa belajar dan mengupayakan pelayanan publik yang lebih baik, khususnya dalam merespons teror dan aduan publik. Untuk mencapainya, ada empat komponen yang harus segera diwujudkan, yakni respons cepat oleh unit tanggap segera, nol keluhan dalam pelayanan lalu lintas, serta transparansi dalam rekrutmen dan hasil penyidikan.