tirto.id - Atas aksi besar yang berlangsung 24 September lalu, pemerintah menuding mahasiswa ditunggangi kepentingan politik tertentu. Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly menuduh aksi tersebut, yang menuntut pembatalan RKUHP, UU KPK, dan UU lainnya, ditunggangi pihak tertentu. “Saya berharap kepada para mahasiswa, kepada adik-adik, jangan terbawa oleh agenda-agenda politik yang enggak benar”. Menko Polhukam bahkan menuduh lebih jauh, “tujuan akhirnya adalah menggagalkan pelantikan presiden dan wakil presiden terpilih.”
Benarkah tudingan tersebut? Kekuatan politik mana yang menungganginya dan bagaimana itu terjadi?
Saya berpendapat bahwa tudingan itu keliru. Besarnya protes mahasiswa nyaris tidak mempunyai relasi sebab-akibat, dan korelasi apapun, dengan penunggangan oleh kekuatan politik partisan. Mahasiswa turun ke jalan lebih disebabkan oleh cedera janji pemerintah dan DPR. Keadaan itu kemudian diperburuk dengan absennya kekuatan oposisi yang memuluskan serangan balik mematikan terhadap jalannya Reformasi.
Itulah mengapa—sejak gerakan mahasiswa 1998—tiba-tiba mahasiswa sekarang mau dan mampu bergerak dalam jumlah besar menolak kebijakan-kebijakan pemerintahan Jokowi yang baru terpilih pada Pemilu lalu. Mereka menilai pemerintah tidak bisa dipercaya dalam menjalankan amanat Reformasi.
Terlepas tujuh desakan mahasiswa yang turun ke jalan atau 12 tuntutan yang disuarakan pelajar dan mahasiswa Indonesia di luar negeri, semua memperlihatkan bahwa mereka menolak pelemahan agenda pemberantasan korupsi melalui penunjukan pimpinan KPK bermasalah dan Revisi UU KPK. Mereka menggugat sikap negara atas pembakaran hutan oleh korporasi besar dan keberpihakan pada koruptor dengan memberi keringanan hukum melalui UU Pemasyarakatan.
Mereka bahkan menolak UU Sumber Daya Air, RUU Pertanahan, serta RUU Minerba yang keseluruhannya dinilai mengancam sumber daya alam. Para mahasiswa itu menyoroti pula menguatnya dwifungsi TNI dan Polri, mendesak pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, hingga menolak kriminalisasi aktivis dan serangan terhadap hak-hak asasi melalui pengesahan RKUHP.
Lintasan Sejarah Oposisi Mahasiswa
Sejarah oposisi mahasiswa memang kerap tampil dalam kompleksitas dinamika sosial-politik sehingga sulit dipisahkan dari upaya kekuatan politik partisan yang menunggangi atau menumpanginya.
Pada periode Demokrasi Terpimpin (1959-1966) gerakan mahasiswa diwarnai pertarungan politik aliran. Selain mempertajam perbedaan kaum mahasiswa saat menghadapi pemerintah yang dinilai berhaluan “kiri”, perpecahan faksi militer juga mendorong tentara untuk menumpangi gerakan mahasiswa hingga mengakhiri kekuasaan Sukarno. Berposko di markas Kostrad, banyak kelompok mahasiswa angkatan 1966 menuntut pembubaran Partai Komunis Indonesia (PKI).
Sementara di era Orde Baru, gerakan mahasiswa tampil dalam corak beragam. Pada 1970-an mahasiswa tampak dekat dengan kekuatan militer faksi Soemitro. Di akhir 1970-an gerakan mahasiswa Bandung pimpinan Heri Akhmadi berujung pemenjaraan para mahasiswa berbasis pasal-pasal penghinaan presiden. Pada periode berikutnya, era 1980-an, gerakan mahasiswa tak berumur panjang meski terus bermetamorfosis dalam beragam gerakan oposisi di awal 1990-an.
Gerakan mahasiswa yang fenomenal adalah eksponen 1998 karena memiliki mobilizational force yang efektif. Mereka didukung intelektual non-mahasiswa seperti Tjuk Sukiadi dkk di Surabaya, Ichlasul Amal dkk di Yogyakarta, Adi Andojo dkk di Universitas Trisakti, hingga Rektor ITB Lilik Hendrajaya yang rumahnya sempat ditembak lantaran ikut menyokong mahasiswa. Tentu saja juga sejumlah organisasi mahasiswa dan intelektual non-mahasiswa di Jakarta.
Puncaknya adalah mobilisasi ribuan mahasiswa yang menduduki Gedung DPR/MPR dengan tuntutan utama pemberantasan KKN oleh Soeharto dan kroni, penegakan supremasi hukum, penghapusan status Daerah Operasi Militer Aceh, Papua dan Timor Timur, dan penghapusan dwifungsi ABRI. Selain menuntut militer kembali ke barak, mereka juga mendesak pembubaran Golkar.
Efektivitas oposisi mahasiswa berjalan paralel dengan menguatnya kekuatan oposisi lain. Di organisasi-organisasi non-pemerintah muncul YLBHI dan Suara Ibu Peduli yang memprotes harga susu yang melangit serta memicu kesadaran politik warga yang meluas, serta tokoh-tokoh oposisi seperti Ali Sadikin lewat Petisi 50 dan Gus Dur lewat Forum Demokrasi. Yang menarik, kaum intelektual lembaga pemerintah bahkan meminta Soeharto mundur seperti dilakukan Petisi 19 LIPI yang diancam Menristek B.J. Habibie.
Sulit dipungkiri, terdapat elemen partai seperti Haryanto Taslam dan kawan-kawan (PDI) serta Dedy Hamdun (PPP) yang diculik karena berkampanye Mega-Bintang. Selain mereka yang tergabung di Solidaritas Amien Rais dan Mega (SIAGA), mahasiswa juga mengusung ketokohan alternatif melalui Deklarasi Ciganjur.
Karakter “oposisi kolektif” lintas aktor itulah yang untuk pertama kalinya menumbangkan pemerintahan tanpa kolaborasi dengan tentara seperti 1966.
Setelah 1998, kekuatan mahasiswa kerap beroposisi dengan pemerintahan sejak kepresidenan Habibie, Gus Dur, Megawati, hingga SBY. Tapi mereka nyaris selalu “bertemu” dengan kepentingan partisan akibat perbedaan-perbedaan posisi partai dan elite politik yang berseberangan dengan pemerintah.
Gerakan mahasiswa era B.J. Habibie terbelah saat menanggapi Sidang Istimewa MPR/DPR. Di era berikut, timbul faksi-faksi mahasiswa yang berafiliasi pada partai yang memakzulkan Gus Dur dengan menuduh kiai nyentrik ini terkait Bruneigate.
Gerakan mahasiswa era ini tanpa disadari menjadi pragmatis. Mereka berkolaborasi dengan kekuatan partai politik serta faksi militer yang beroposisi dengan pemerintah dan bersikap naif atas keberanian Gus Dur membongkar korupsi penguasa lama maupun mencopot pejabat yang terlibat kasus pelanggaran HAM.
Dengan latar faksionalisasi era sebelumnya, gerakan mahasiswa era Megawati tak banyak berkembang. Begitu pula dengan gerakan mahasiswa era Yudhoyono yang stagnan. Mereka kerap dituduh telah ditunggangi elite politik dan partai yang terus berkonflik hingga akhir pemerintahan ini.
Seluruh corak pada masa lalu itu memperlihatkan bahwa gerakan mahasiswa kerap berkorelasi dengan oposisi non-mahasiswa. Sebabnya beragam, mulai dari polarisasi dan kebutuhan beraliansi, represi atas keseluruhan oposisi, hingga perpecahan militer dan elite sipil. Dalam konteks ini, tuduhan bahwa gerakan mahasiswa ditunggangi kepentingan politik tak mudah disangkal.
Akibat Jokowi Cedera Janji
Berbeda dengan keseluruhan episode sebelumnya, gerakan mahasiswa kali ini tampil ke depan dan nyaris tanpa sekutu berbasis partai politik, apalagi militer. Mengapa?
Pertama, cedera janji pemerintahan dalam menuntaskan Reformasi. Kepemimpinan Jokowi yang mengumbar banyak janji semula membawa harapan bagi mereka. Namun belakangan mereka mulai tak sabar karena bukan hanya pemerintah gagal tetapi ikut aktif melakukan cedera janji. Alih-alih memperkuat KPK sepuluh kali lipat, Presiden bersama seluruh partai politik malah melemahkannya. Bukannya memperbaiki kondisi hak asasi manusia di Papua, kekerasan aparat justru kerap terjadi di sana tanpa satu pun pelakunya diadili.
Jokowi berjanji melindungi rakyat kecil, tapi sejumlah petani malah dikriminalisasi dan tanah mereka digusur atas nama pertumbuhan ekonomi. Buruh-buruh di berbagai pabrik pun bersuara atas ancaman eksploitasi dan pembatasan hak serikat kerja.
Kedua, sebab lain yang meningkatkan kekecewaan mahasiswa adalah hilangnya kekuatan oposisi penyeimbang. Semua partai politik yang semula beroposisi seperti Gerindra, PKS, dan Demokrat kini telah bersatu dengan partai-partai pendukung Jokowi. Oposan vokal macam Fahri Hamzah dan Fadli Zon pun membeo kebijakan pemerintah.
Mulai dari mengesahkan Revisi UU KPK yang melemahkan agenda pemberantasan korupsi, UU Minerba dan Pertanahan yang pro-pebisnis besar, UU Ketenagakerjaan yang eksploitatif, UU KUHP yang berbau kriminalisasi, hingga UU Pemasyarakatan yang pro-koruptor. Tak satu pun partai menolak berbagai UU tersebut.
Lanskap demikian membuat tuduhan mahasiswa ditunggangi kepentingan elite atau partai politik tertentu menjadi lemah. Di masa lalu, tuduhan ini bisa efektif karena dapat diarahkan pada mereka yang mengambil jalan berbeda dengan penguasa.
Tapi di masa sekarang, itu tak lebih sebagai cara menjauhkan mahasiswa dari potensi meraih dukungan masyarakat luas, yang antara lain ditunjukkan "adik-adik" mereka dari berbagai STM yang memobilisasi solidaritas kepada “kakak-kakak” mahasiswa saat direpresi.
Terkait pelajar yang bergabung dalam aksi, saya kira ini merupakan hal baru. Sejarah memang menghadirkan peran pemuda berusia 16-19 tahun sebagai kekuatan utama melawan pendudukan Jepang sebagaimana dibahas Ben Anderson dalam Revoloesi Pemoeda: Pendudukan Jepang dan Perlawanan di Jawa 1944-1946.
Berbeda dari pemuda zaman Jepang yang melakukan revolusi dengan merebut upeti-upeti orang tua mereka dari tangan penjajah, pemuda zaman sekarang, dalam usia sekolah, banyak yang telah mengalami revolusi pemikiran tentang hal-hal yang semula tabu, termasuk seputar seksualitas, gender, dan identitas.
Ini seperti hasil dari kerja lama sekelompok generasi muda. Mereka adalah generasi pascamilenial yang sangat berani, kadang tak sabaran, ekspresif, dan menolak intrusi negara dalam ruang privasi mereka. Itulah mengapa mereka menolak RKUHP.
Dengan karakter pemikiran generasi muda macam itu, tentu saja tuduhan bahwa aksi mahasiswa didomplengi pengusung khilafah menjadi lebih mirip lelucon—tak ubahnya stigmatisasi yang menuduh KPK ditunggangi Taliban.
Seandainya aksi mahasiswa ini muncul saat Pemilu 2014 dan 2019, tuduhan ini efektif karena diarahkan pada partai oposisi yang sebagian pendukungnya kerap terlibat kekerasan atas nama agama dan membawa tuntutan Islamisme politik. Tapi karena gerakan mahasiswa ini muncul setelah Pemilu 2019, tudingan itu menjadi lemah karena pembelahan sosial antara kubu Jokowi dan Prabowo berujung antiklimaks dengan rekonsiliasi dua bekas capres itu.
Pakar-pakar media sosial menjelaskan tuduhan ditunggangi khilafah atau turunkan Jokowi keliru karena yang bicara khilafah bukanlah mahasiswa. Para mahasiswa turun ke jalan dengan tuntutan yang berbeda: tuntaskan reformasi! Lebih penting lagi, aksi mahasiswa kali ini tidak membawa isu yang mengadu domba masyarakat berdasarkan identitas agama, suku, atau aliran politik, seperti ditunjukkan sejumlah elite yang bertarung saat pemilihan umum.
Gerakan mahasiswa kali ini jelas merupakan gerakan yang nonpartisan, bebas dari pengaruh kekuatan berbasis partai maupun elite politik, apalagi militer. Keliru besar jika pemerintah terus menuduh aksi mahasiswa ditunggangi kepentingan politik tertentu.
Tuduhan pemerintah bahwa para mahasiswa ditunggangi atau ditumpangi adalah reaksi dari mereka yang mengalami kekalahan moral. Mereka mencoba menyerang balik mahasiswa seakan-akan mereka lebih bermoral.
*) Isi artikel ini menjadi tanggung jawab penulis sepenuhnya.