tirto.id - Mohd Al Jufferi Jamari muntab. Pesilat asal Malaysia itu berteriak-teriak memaki juri yang ia nilai tidak adil. Kekecewaannya berlanjut di ruang pemanasan atlet. Ia menendang dinding eternit pembatas sampai jebol. Al Jufferi yang marah-marah sambil bertelanjang dada sesekali meneriakkan syahadat dan takbir.
Pesilat yang tampil di babak final kelas E (65-70 kilogram) melawan Komang Harik Adi Putra asal Indonesia ini memutuskan meninggalkan gelanggang alias walk out saat pertandingan hampir sampai ke pengujung. Al Jufferi yang meraih emas pada SEA Games 2017 dan berstatus juara bertahan kejuaraan dunia silat 2016, tak bisa lagi menahan kekecewaannya.
“Saya tidak ada masalah dengan pesilat Indonesia atau penyokong Indonesia. Yang saya kesal yaitu juri. Terutama juri 1 dan juri 3. Sebagai pesilat saya merasa tak dihormati,” ujarnya.
Keputusan Al Jufferi untuk tidak melanjutkan pertandingan membuat Komang Harik Adi Putra menjadi pemenang dan meraih emas. Hal ini menjadikan cabor pencak silat sebagai tambang emas bagi kontingen tuan rumah sampai hari ke-9 Asian Games 2018 .
Peristiwa ini menambah senarai panjang perseteruan Indonesia dengan Malaysia di lapangan olahraga.
Dalam perhelatan sepakbola Piala AFF yang digelar tiap dua tahun, pendukung kedua negara kerap bersitegang. Di lapangan kebudayaan pun Malaysia sering dianggap mengklaim hasil kebudayaan milik Indonesia. Kegaduhan menjadi tak berkesudahan.
Sejumlah kalangan mungkin mengurai akar perseteruan ini ke zaman “Ganyang Malaysia” yang dikobarkan Bung Karno pada warsa 1960-an. Namun, di luar kapan semuanya bermula, peristiwa mundurnya pesilat Malaysia dari pertandingan memperebutkan emas di Asian Games 2018 seolah-olah menegaskan lagi perseteruan itu.
Indonesia Marah dan Meninggalkan Gelanggang
Lema “walk out” dalam Collins English Dictionary (1979) diartikan sebagai “to leave without explanation, especially in anger” (pergi tanpa penjelasan, terutama dalam kondisi marah). Jika mengacu kepada definisi ini, yang mengandung kata “pergi” dan “marah”, maka walk out dalam pertandingan olahraga pasti dipicu kondisi yang membuat atlet mengambil keputusan untuk tidak melanjutkan pertandingan meskipun ia akan dinyatakan kalah.
Dalam sejarah keterlibatan Indonesia di sejumlah perhelatan olahraga, khususnya SEA games, walk out beberapa kali dilakukan dan kebetulan selalu melibatkan Malaysia di dalamnya: dari tempat penyelenggaraan, lawan tanding, sampai wasit pertandingan.
Jika Malaysia yang protes di Asian Games 2018 dalam cabor pencak silat, yang menang-kalahnya berdasarkan penilaian juri, Indonesia justru tiga kali walk out dalam olahraga permainan, yaitu sepak takraw, tenis meja, dan sepak bola.
Tahun lalu, masih hangat dalam ingatan para pemain sepak takraw putri Indonesia. Saat SEA Games digelar di Kuala Lumpur, mereka memutuskan meninggalkan lapangan karena tidak puas dengan kepemimpinan wasit asal Singapura, Muhammad Radi, saat mereka berhadapan dengan tim tuan rumah.
“Wasit sangat terlihat membela tuan rumah. Beberapa tekong kita di-fault,” ujar Abdul Gani, asisten pelatih tim Indonesia.
Menpora Imam Nahrawi yang hadir pada pertandingan tersebut, alih-alih meredakan kemarahan para pemain dan ofisial, justru ikut mengipasi situasi dengan menyatakan keberatan terhadap keputusan wasit dan menganggapnya sebagai sesuatu yang memihak.
“Lebih dari lima kali servis yang seharusnya menjadi poin bagi Indonesia justru dianggap fault dan menjadi keuntungan bagi lawan. Kondisi ini jelas sangat merugikan […] Seharusnya keputusan wasit harus diambil secara jujur dan tidak memihak. Seperti ada rekayasa untuk menghalangi langkah Indonesia. Apakah kemenangan harus diraih dengan cara seperti ini?” kata Menpora.
Pada SEA Games XV tahun 1989 yang kebetulan juga digelar di Malaysia, petenis meja Indonesia Rossy Dipoyanti Pratiwi Syechbubakar melakukan walk out karena ia merasa dirugikan oleh keputusan wasit asal Malaysia, Goh Kun Tee. Ini pertandingan yang aneh, sebab kala itu Rossy berhadapan dengan pemain Malaysia. Artinya, kecenderungan keberpihakan wasit sudah dapat diprediksi.
Dalam konteks sebagai pemain unggulan, aksi Rossy ini hampir mirip dengan yang dilakukan Mohd Al Jufferi Jamari pada Asian Games 2018. Pemain tenis meja asal Bandung tersebut mengikuti SEA Games dari 1987 sampai 2001 dan berhasil menyabet 13 medali emas. Pada SEA Games 1989, meski sempat walk out, ia berhasil mempersembahkan emas pada nomor yang lain, yaitu beregu dan double.
Walk Out sejak SEA Games Pertama
Aksi walk out malah telah dilakukan Indonesia pada penyelenggaraan SEA Games yang pertama kali yakni tahun 1977 di Kuala Lumpur.
Pesta olahraga ini sebetulnya telah digelar sejak 1959 dengan nama SEAP (Southeast Asian Peninsular) Games atau Pesta Olahraga Semenanjung Asia Tenggara yang hanya diikuti Thailand, Myanmar, Malaysia, Laos, Vietnam, dan Kamboja. Singapura masuk belakangan, dan pada 1977, saat Indonesia dan Filipina bergabung, pesta olahraga ini kemudian berganti menjadi SEA Games.
Seperti aksi walk out Indonesia yang terjadi pada 2017 dan 1989, pada SEA Games 1977 ini pun pertandingan lagi-lagi tengah dihelat di Kuala Lumpur. Ini seperti rangkaian kebetulan yang menggoda untuk dibaca sebagai kebenaran bahwa Indonesia memang tidak pernah akur dengan Malaysia.
Timnas Indonesia sebetulnya tampil cukup trengginas dengan berhasil menjadi juara grup A setelah mengalahkan tuan rumah Malaysia 1-2, menghajar Brunei Darussalam 4-0, dan menahan Filipina 1-1. Di babak semifinal, Indonesia berhadapan dengan Thailand yang menjadi runner-up grup B.
Pertandingan yang dipimpin wasit asal Malaysia, Othman Omar, tersebut harus terhenti pada menit ke-60 saat skor imbang 1-1, karena sejumlah pemain dari kedua kesebelasan berkelahi. Para pemain Indonesia yang merasa kerap dirugikan keputusan wasit tersulut emosinya sehingga terlibat baku hantam. Pertandingan itu akhirnya terhenti.
Komite disiplin kemudian memutuskan bahwa kesebelasan Indonesia bersalah karena menyulut perkelahian, dan Thailand berhak tampil di babak final. Sebagai bentuk protes, Indonesia menolak bermain untuk memperebutkan medali perunggu melawan Myanmar.
Aksi walk out Mohd Al Jufferi Jamari, sekali lagi, menambah daftar perseteruan Indonesia dan Malaysia di gelanggang olahraga saat keduanya sama-sama menjadi tuan rumah. Aksi ini tentu saja tak elok karena hanya akan bermuara kepada dua hal: curang bagi yang diuntungkan atau tidak bisa menerima kekalahan bagi yang dirugikan.
Editor: Ivan Aulia Ahsan