tirto.id - Sejak 1959, SEA Games telah dilaksanakan sebanyak 29 kali. Pertama kali digelar dengan nama South East Asian Peninsula Games atau SEAP Games, baru enam negara yang pernah menjadi juara SEA Games: Thailand, Indonesia, Malaysia, Myanmar, Filipina, dan Vietnam.
Sejarah mencatat, Thailand sebagai negara yang terbanyak menjuarai SEA Games. Mereka menjadi jawara di pesta olahraga se-Asia Tenggara tersebut sebanyak 13 kali. Thailand tidak pernah tidak menjadi juara SEA Games saat ia menjadi tuan rumah. Enam kali Thailand menjadi penyelenggara SEA Games, enam kali pula Negeri Gajah Putih itu menjadi juara umum.
Capaian serupa juga diraih Indonesia dan Vietnam. Data seagoffice.org menyebutkan, Indonesia menjadi penyelenggara SEA Games sebanyak 4 kali. Sedangkan Vietnam baru 1 kali menjadi tuan rumah pesta olahraga yang pertama kali digelar. Hasilnya, kedua negara selalu sukses menyapu bersih posisi jawara di tanah air masing-masing.
Sementara Laos, Brunei Darussalam, dan Singapura berada di posisi sebaliknya. Sudah 4 kali Singapura menjadi tuan rumah SEA Games, tapi tidak pernah sekali pun gelar juara umum berhasil diraih Negeri Singa itu. Sedangkan Brunei Darussalam dan Laos masing-masing pernah menjadi tuan rumah SEA Games sebanyak sekali. Sayangnya, keduanya juga tidak menjadi juara umum di sana.
Capaian mengambang dialami Myanmar, Malaysia, dan Filipina. Sebelum 2017, Malaysia telah menjadi tuan rumah SEA Games sebanyak 5 kali, sedangkan Filipina sudah 3 kali. Sayangnya, hanya sekali saja kali dua negara yang berbatasan langsung dengan Indonesia itu mencicipi gelar juara umum. Myanmar sedikit lebih baik. Mereka mampu menjadi juara umum dua kali di tiga SEA Games yang diselenggarakan di negerinya.
Meskipun angka presentase tuan rumah menjadi juara umum bervariasi, tapi data yang sama menunjukkan semua negara tuan rumah, kecuali Malaysia pada 1977, tidak pernah mengalami penurunan peringkat perolehan medali.
Bahkan Myanmar pada 2013 mampu naik sebanyak lima peringkat dibanding SEA Games sebelumnya. Sedangkan Singapura naik empat peringkat dari periode SEA Games sebelumnya kala ia menjadi tuan rumah pada 2015.
Kuasa Tuan Rumah Tentukan Cabang Olahraga
Menjadi peserta sekaligus tuan rumah kompetisi olahraga memang memberikan keuntungan besar. Di Piala Dunia, misalnya, tuan rumah berhak bermain di babak utama tanpa melalui kualifikasi. Privilese yang bahkan lebih besar dari juara bertahan yang masih tetap harus ikut kualifikasi.
Walau membutuhkan biaya tak murah untuk mempersiapkan segala fasilitas dan keperluan, jika dikelola dan dipromosikan secara tepat, tuan rumah bakal dapat untung dari pembayaran tiket dan devisa para turis/penonton. Namun, ambisi menjadi juara di negeri sendiri, sering membuat tuan rumah memanfaatkan berbagai macam kewenangannya untuk meraup medali (emas) sebanyak-banyaknya.
Aung Ko Min, peneliti dari Victoria University of Wellington, mencatat keluhan banyak negara atas penyelenggaraan SEA Games 2013 di Nay Pyi Taw, Myanmar. Ada beberapa olahraga populer semacam bowling, tenis, voli pantai, senam, dan hoki lapangan tidak dipertandingkan. Selain itu, Myanmar juga mempertandingkan olahraga lokal seperti bola-bulutangkis (mirip seperti sepak takraw dengan bola yang berbentuk kok).
Surat kabar harian Thailand, The Nation, menyebutkan Myanmar tidak mengikutsertakan voli pantai karena “olahraga tersebut tidak sesuai dengan kebudayaan Myanmar”.
“Malaysia, Filipina, Singapura dan Thailand pun geram. Ketiga negara tersebut, secara terpisah, mengirim surat keberatan kepada Myanmar,” sebut Aung Ko Min dalam penelitiannya yang berjudul Sport as a tool of politics: A study on Myanmar's Southeast Asian Games 2013.
Tidak hanya Thailand, Singapura juga dirugikan karena kebijakan tersebut. Singapura kehilangan cabang andalannya, polo air. Sedangkan Indonesia kehilangan cabang tenis dan senam. Padahal di SEA Games 2011, Indonesia meraih 4 medali emas dari cabang tenis.
"Saya tentunya ingin semuanya ikut. Tetapi keterbatasan tuan rumah. Tentu membuat kami agak prihatin, banyak juga kita dirugikan dengan tidak ikutnya tenis misalnya, kita kehilangan peluang luar biasa,” ujar Rita Wibowo, yang kala itu menjadi Ketua Umum Komite Olimpiade Indonesia (KOI), kepada Antara.
Dari segi regulasi, tuan rumah memang boleh memasukkan delapan olahraga tradisional negerinya sendiri sebagai nomor yang dipertandingkan. Hal ini bertujuan agar tuan rumah dapat mempromosikan kekayaan budayanya. Tapi, pada 2013, Myanmar memainkan 17 olahraga lokal dan non-Olimpiade pada nomor yang menjadi keahlian atlet-atlet Myanmar -- pendeknya: yang hampir pasti dimenangkan oleh mereka.
Hasilnya, Myanmar bercokol di posisi kedua klasemen akhir dengan 86 emas, 62 perak, dan 85 perunggu. Padahal di lima SEA Games sebelumnya, Myanmar tidak pernah beranjak dari posisi ke-7. Pada SEA Games 2011 yang diselenggarakan di Palembang dan Jakarta, Myanmar hanya meraih 16 emas, 27 perak, dan 37 perunggu.
Kala Yahudi Dilarang Bertanding
Salah satu ajang olahraga yang paling diingat karena pembatasan hingga diskriminasi atlet adalah Olimpiade Berlin 1936.
Ajang tersebut dilaksanakan tiga tahun setelah Hitler bersama partai Nazi berhasil merebut kekuasaan di Jerman. Di satu sisi, ia bermaksud membuat Jerman berjaya, tapi ia juga mulai secara sistematis menganiaya dan mengusir orang-orang Yahudi, termasuk atlet Yahudi.
Bentuk diskriminasi yang dijalankan pun bermacam-macam: dikeluarkan dari klub mereka, dilarang masuk tim nasional, sampai pencabutan kembali gelar yang telah mereka raih. Naas, beberapa atlet juga dibunuh. Alasannya: karena mereka Yahudi.
Dalam suatu wawancara kepada Deutsche Welle (DW), sejarawan Hans Joachim Teichler menyebutkan nama-nama atlet yang terkena dampak diskriminasi. Mereka antara lain Lilli Henoch, Alfred dan Gustav Felix Flatow dan Julius Hirsch.
Hanya beberapa atlet Yahudi yang diizinkan bermain untuk Jerman. Salah satunya atlet anggar Helene Mayer. Dia meraih medali perak pada ajang tersebut. Atas capaiannya tersebut, Meyer dicatat sebagai satu dari sembilan atlet Yahudi berbagai negara yang meraih medali dan satu-satunya atlet Yahudi Jerman yang meraih medali.
Bagi Teichler, diikutsertakannya Meyer hanya sekadar alat Nazi untuk menunjukkan citra "toleransi". Cara itu ditempuh agar negara-negara lain, seperti Amerika Serikat, tidak memboikot ajang olahraga tersebut.
Melihat diskriminasi yang terjadi, bukan berarti di Jerman toleransi benar-benar punah. Menurut Teichler, pada 1914, ada sekitar satu juta pesenam dan setidaknya 100 ribu atlet di Jerman. Pada tahun berikutnya, jumlah bertambah pesat. "Pada 1933, masih ada sejuta pesenam dan enam juta atlet," ujar Teichler.
Menurut Taichler, saat itu agama tidak berperan sebagai pembatas antar atlet dalam klub olahraga.
"Mereka dihormati, memilih di papan tulis dan memberikan emblem dan penghargaan seperti Golden Eagle (termasuk atlet Yahudi)," ujar Taichler.
Penulis: Husein Abdulsalam
Editor: Zen RS