tirto.id - Tim nasional sepak bola Indonesia U-23 mulai bertanding di SEA Games yang digelar di Hanoi, Vietnam, pada 5 Mei lalu. Dalam pertandingan pertama tersebut tim asuhan Shin Tae-yong yang diperkuat pemain-pemain liga asing seperti Egy Maulana Vikri, Witan Sulaeman, dan Elkan Baggott dibantai 3 gol tanpa balas oleh tuan rumah.
Meski kalah pada laga perdana, banyak orang tetap berharap mereka bisa membawa pulang medali emas yang sudah 31 tahun tidak datang ke Bumi Pertiwi. Indonesia sempat empat kali masuk final SEA Games 1997, 2011, 2013 dan 2019, namun semuanya berakhir dengan kekalahan.
Terakhir kali timnas membawa pulang emas adalah ketika SEA Games Manila 1991. Saat itu timnas dilatih oleh Anatoly Polosin. Pria asal Rusia ini terkenal dengan metode shadow football dan latihan fisik yang menguras tenaga. Dengan cara itu ia bisa menempa skuad Garuda sehingga akhirnya dapat merebut emas.
Polosin juga merupakan nama besar dalam persepakbolaan Rusia dan negara-negara eks-Uni Soviet lain.
Melanglang Buana di Soviet
Anatoly Fyodorovich Polosin lahir di Tashkent, Uni Soviet (sekarang Uzbekistan), pada 30 Agustus 1935. Karier sepak bolanya dimulai di beberapa klub amatir pada 1950-an seperti tim junior Dinamo Moskow dan tim Institut Pendidikan Jasmani Moskow. Di lapangan, ia berposisi sebagai bek.
Pada 1959, Polosin jadi bagian Shakhtar Karaganda di Republik Soviet Kazakhstan, kemudian bergabung dengan Metallurg Temirtau tiga tahun kemudian. Polosin juga pernah memperkuat Metallurg Shymkent dan Semipalatinsk, yang juga bernaung di Soviet Kazakhstan.
Karier Polosin sebagai pemain berakhir pada 1963 atau ketika usianya baru 28.
Pada tahun yang sama Polosin memulai karier kepelatihan dengan menjadi asisten pelatih Metallurg Termitau. Setelah itu ia menjadi pelatih di berbagai klub Soviet. Salah satunya adalah klub yang pernah dibelanya sebagai pemain, Shakhtar Karaganda, pada 1968 sampai 1970.
Beberapa klub lain yang sempat ia latih adalah Karpaty Lviv (Ukraina, 1971-1973), Nistru (Moldova, 1974-1975, 1982-1983, dan 1985), Tselinnik (Kazakhstan, 1976), Kopetdag (Turkmenistan, 1979), Tavriya (Ukraina, 1980-1981, dan 1986), Rostselmash (Rusia, 1984), SKA Rostov (Rusia, 1985), Chernomorets Odessa (Ukraina, 1987), dan Fakel Voronezh (Rusia, 1988-89, asisten pelatih).
Ciri khas Polosin saat melatih adalah gemblengan fisik, bahkan lebih berat dari standar Eropa Timur yang sebenarnya cukup mengedepankan kemampuan fisik. Ia ingin para pemain dapat berada di lapangan selama 90 menit dengan stamina terjaga. Menurutnya dengan itu taktik apa pun bisa diterapkan dengan baik.
Karena metode ini salah satu koran olahraga terkemuka Rusia, Sport Express, menjuluki Polosin sebagai “spesialis sepakbola ekstrem”.
Selama karier kepelatihan di Soviet, Polosin berhasil membawa timnya promosi ke divisi yang lebih tinggi sebanyak enam kali.
Polosin yang dianggap berjasa dalam mengembangkan sepak bola kemudian dianugerahi gelar Master Olahraga Uni Soviet pada 1978 dan pelatih kehormatan Republik Soviet Ukraina dan Moldova.
Memberi Emas di Manila
Di awal 1990-an, PSSI sedang mencari pelatih asing untuk menakhodai timnas di SEA Games 1991. Pelatih Eropa Timur menjadi prioritas karena tim-tim yang berasal dari sana mendapatkan banyak prestasi beberapa tahun sebelumnya. Steaua Bucharest dan Red Star Belgrade, misalnya, menjuarai Piala Champions 1986 dan 1991. Sementara timnas Uni Soviet berhasil menembus final Piala Eropa 1988.
Misi mendapatkan pelatih berkualitas berbanding lurus dengan target maksimal yang hendak dicapai: membawa emas. Sebelumnya timnas berhasil membawa emas di SEA Games 1987 di Jakarta, di bawah asuhan pelatih lokal Bertje Matulapelwa, tapi hanya mendapat perunggu di SEA Games 1989 di Kuala Lumpur, Malaysia.
Pilihan pun jatuh pada Anatoly Polosin. Ini adalah tugas kepelatihan pertamanya di luar Uni Soviet. Polosin membawa asistennya, Vladimir Yurin, dan melengkapi tim pelatih dengan orang lokal, Danurwindo.
Sang spesialis sepak bola ekstrem kembali menggunakan metode kesukaannya ke para pemain, apalagi saat itu ia melihat fisik dan ketahanan mereka sangat kurang. Tapi latihan tidak langsung di lapangan hijau. Para atlet harus mendaki gunung, berlari jarak jauh, dan uji ketahanan fisik di pantai. Polosin juga memperkenalkan teknik shadow football, yaitu para pemain harus berlari seolah sedang mengejar bola.
Tidak semua tahan dengan metodenya yang keras. Beberapa pemain memilih mundur. Jadilah yang berangkat ke Manila adalah skuad muda (hanya ada tiga pemain berusia di atas 23). Beberapa orang yang berangkat di antaranya Widodo Putro, Kas Hartadi, Ferril Hattu, Rocky Putiray, dan Ferril Raymond Hattu.
Tim ini tentu saja diragukan kemampuannya. Mereka dianggap kurang berpengalaman, tak punya waktu latihan yang cukup di lapangan hijau, juga gagal dalam turnamen uji coba di Korea Selatan.
Namun ternyata Indonesia berhasil menjadi juara grup, mengalahkan Malaysia, Vietnam, dan tuan rumah Filipina. Latihan fisik membuat Indonesia bisa bermain dengan ketahanan yang baik dan tetap prima ketika pertandingan harus mencapai perpanjangan waktu. Terbukti, di semifinal, Indonesia mengandaskan Singapura lewat adu penalti.
Di partai final, Indonesia berhasil mengalahkan tim Gajah Putih Thailand melalui adu penalti dengan Sudirman sebagai eksekutor penentu kemenangan. Jutaan pasang mata menahan haru saat Indonesia Raya diputar di Stadion Rizal Memorial.
Saat pulang ke Indonesia, skuad Garuda disambut Presiden Soeharto di Istana Negara.
Kembali ke Rusia
Polosin tetap tinggal di Indonesia setelah kemenangan di SEA Games 1991, namun memilih melatih tim lokal dan menjadi komentator televisi. Sementara posisi pelatih timnas diganti Ivan Toplak asal Yugoslavia. Toplak ditugaskan membawa timnas mempertahankan emas SEA Games di Singapura (1993), namun harus puas dengan peringkat keempat.
Tahun 1994, menjelang Asian Games di Hiroshima, PSSI kembali menunjuk Polosin sebagai pelatih timnas. Targetnya kali ini adalah menjuarai Piala Kemerdekaan 1994 yang merupakan syarat agar dapat ikut Asian Games Hiroshima. Namun, karena Indonesia kalah dari Australia di final, akhirnya Polosin dipecat.
Di tahun yang sama, Polosin menerima tawaran melatih Arsenal Tula yang berkompetisi di Liga Rusia (Soviet telah runtuh dan Rusia menjadi negara mandiri). Ia pun pergi dari Indonesia. Polosin hanya semusim melatih Arsenal Tula dan pindah ke klub Liga Rusia lain, Shinnik Yaroslavl, pada 1995.
Polosin tetap mempertahankan ciri khas meningkatkan kemampuan fisik pemain. Ia sering berlari memimpin anak asuhnya yang baru berusia 20-an.
Namun ia tak lagi muda. Sekarang Polosin telah berusia 60. Tekanan melatih selama lebih dari 30 tahun membuat kesehatannya mulai menurun. Jantungnya mulai bermasalah sehingga ia harus mundur dari kursi pelatih Shinnik Yaroslavl di tengah musim 1997, ketika klub tersebut sedang tampil baik (video wawancara dengan Polosin pada 1997 dapat dilihat pada tautan ini).
Polosin sempat menjalani operasi jantung di Moskow, namun kondisinya menurun dan sempat mengalami koma. Ia akhirnya meninggal pada 11 September 1997.
Semua pertandingan Liga Rusia di pekan itu didedikasikan untuk Polosin. Waktu satu menit dipakai untuk mengheningkan cipta, menghormati sang pelatih.
Andrey Anfinogentov pada 2000 lalu menulis di Sport Express bahwa nama Polosin akan tetap diingat “di Simferopol, di Odessa, di Chisinau, dan mungkin di Jakarta,” tempat-tempat di mana ia pernah melatih dan mencetak prestasi. Tentu tak hanya Jakarta, pencinta sepak bola di seluruh Indonesia tidak akan melupakan jasanya.
Penulis: Jonathan Jordan
Editor: Rio Apinino