Menuju konten utama

Trump Sangsikan Eksistensi NATO, PM Inggris Tetap Optimis

Perdana Menteri Inggris Theresa May tetap optimistis bahwa Presiden Amerika Serikat Donald Trump akan mengakui pentingnya NATO.

Trump Sangsikan Eksistensi NATO, PM Inggris Tetap Optimis
Kanselir Jerman Angela Merkel dan Perdana Menteri Inggris Theresa May melakukan konferensi pers setelah perundingan di Gedung Kanselir di Berlin, Jerman, Rabu (20/7). ANTARA FOTO/Reuters/Stefanie Loos.

tirto.id - Pada Selasa (17/1/2017) atau tiga hari sebelum dilantik sebagai presiden Amerika Serikat yang baru, Donald Trump mengatakan kepada dua surat kabar Eropa bahwa telah lama mengingatkan bahwa NATO "bermasalah" sebagai sebuah organisasi internasional untuk keamanan. Namun, Perdana Menteri Inggris Theresa May tetap optimistis bahwa suatu hari Trump akan mengakui pentingnya NATO.

"Saya juga yakin AS akan mengakui pentingnya kerja sama yang kami jalin di Eropa untuk memastikan pertahanan dan keamanan bersama kami," kata May dalam sebuah wawancara dengan Financial Times, Jumat (20/1/2017) waktu setempat.

Sejumlah petinggi negara di Eropa sempat khawatir dengan pernyataan kontroversial Trump. Menteri Luar Negeri Jerman Frank-Walter Steinmeier, misalnya, menyatakan pernyataan bahwa NATO sudah usang telah membangkitkan kekhawatiran 28 anggota pakta pertahanan itu. Frank-Walter Steinmeier menyebut pernyataan Trump itu bertolak belakang dengan pandangan calon Menteri Pertahanan James Mattis.

"Saya hari ini berbicara tidak hanya dengan para menteri luar negeri Uni Eropa tetapi juga dengan para menteri luar negeri NATO dan bisa melaporkan bahwa tidak ada peredaan ketegangan," kata Steinmeier mengenai isi wawancara Trump dengan Bild dan Times of London.

Sementara itu May dijadwalkan mengunjungi Trump musim semi, menurut Downing Street, meski Financial Times menyebutnya bisa saja mengunjungi Washington secepatnya bulan depan.

Dalam pidato pelantikannya kemarin Trump mengatakan bahwa AS "telah memberikan subsidi kepada tentara negara lain" yang menggarisbawahi sejumlah gesekan di dalam aliansi tersebut, demikan laporan AFP. "Pertama, aliansi itu ketinggalan zaman, karena sudah dirancang dari bertahun-tahun lalu. Kedua, banyak negara tidak membayar apa yang seharusnya mereka bayarkan." katanya, merujuk asal mula Perang Dingin, setelah Perang Dunia II.

Masyarakat Dunia Menolak Pelantikan Trump

Sementara itu gelombang unjuk rasa setelah Donald Trump dilantik tidak hanya terjadi di Amerika Serikat. Sekitar 3.000 orang di Australia dan Selandia Baru bergabung dalam rangkaian demonstrasi global yang digalang kaum wanita di seluruh dunia, untuk menunjukkan ketidaksetujuan mereka terhadap Presiden Amerika Serikat Donald Trump.

Di Sydney, kota terbesar di Australia, sekitar 3.000 orang berkumpul di Hyde Park sebelum berunjuk rasa di depan gedung konsulat AS di kota ini.

"Feminisme adalah kartu Trump saya" dan "Berjuanglah seperti gadis", adalah di antara spanduk yang dibawa para demonstran.

"Kita tidak bergerak sebagai gerakan anti-Trump, kami bergerak demi memprotes ujaran kebencian, retorika penuh kebencian, kebencian terhadap perempuan, kefanatikan, anti orang asing (xenofobia) dan kami ingin mempersembahkan suara bersatu para wanita di seluruh dunia," kata penyelenggara unjuk rasa Mindy Freiband kepada Reuters.

Sebelumnya sekitar 2.000 orang berunjuk rasa damai di empat kota besar di Selandia Baru, kata penyelenggara unjuk rasa di Wellington, Bette Flagler, kepada Reuters, melalui telepon.

Sekitar 673 demonstrasi serupa digelar di seluruh dunia hari ini, belum termasuk demonstrasi di Washington D.C. Total dua juta orang di seluruh dunia mengikuti unjuk rasa ini.

Di belahan dunia lain, ratusan orang mengikuti protes serupa di Asia. Di Tokyo, para ekspat Amerika Serikat berunjuk rasa menggaungkan protes terhadap Trump.

“Era kepresidenan Trump ini membuat darah saya mendidih. Apa yang sudah kita hargai selama ini dapat lenyap. Saatnya kita mulai berpendapat dan melakukan yang terbaik agar nilai-nilai yang sudah diraih oleh Amerika selama ini tidak hilang,” kata guru music Bill Scholer.

Di Manila, pada Jumat kemarin sekitar 200 demonstran dari kelompok Nasionalis Filipina melakukan unjuk rasa di depan Kedutaan Besar AS di Manila, demikian sebagaimana dilansir Antara.

Baca juga artikel terkait DEMO ANTI TRUMP atau tulisan lainnya dari Akhmad Muawal Hasan

tirto.id - Politik
Reporter: Akhmad Muawal Hasan
Penulis: Akhmad Muawal Hasan
Editor: Akhmad Muawal Hasan