tirto.id - Presiden AS Donald Trump mempercepat penjualan teknologi nuklir untuk pembangkit listrik ke Arab Saudi.
Keputusan tersebut mendahului keputusan Kongres Amerika Serikat dan dikhawatirkan akan melanggar hukum perlindungan terhadap Transfer Teknologi.
Diwartakan oleh BBC, Presiden Trump bertemu dengan pengembang tenaga nuklir di Gedung Putih Selasa (12/2/2019), berdiskusi tentang rencana pembangunan nuklir di Timur Tengah termasuk Arab Saudi.
Penasihat Gedung Putih, Jared Kushner akan melakukan perjalanan ke Timur Tengah bulan ini untuk mendiskusikan perihal rencana penjualan teknologi nuklir itu. Arab Saudi juga menginginkan teknologi nuklir tersebut.
Rencana perdagangan teknologi nuklir Amerika Serikat dan Arab Saudi tersebut, dikhawatirkan dapat mendorong Arab Saudi menciptakan senjata nuklir di masa depan.
Dalam laporan Aljazeera, para analis pertahanan menyampaikan, transfer teknologi nuklir itu berpotensi memulai perang senjata di Timur Tengah.
Legislator AS juga khawatir akan kepemimpinan Arab Saudi di masa depan di bawah kepemimpinan Mohammed Bin Salman, yang disebut-sebut terlibat dalam kasus kematian jurnalis Jamal Khashoggi saat perang Yaman.
Whistleblowers sejak awal sudah memperingatkan pihak administrasi Trump yang mencoba mempercepat transfer teknologi nuklir AS yang sangat sensitif untuk membangun pembangkit listrik di Arab Saudi.
Laporan USA Today, menyebut bahwa hubungan AS dan Arab Saudi menegang karena pembunuhan kolumnis Washington Post tersebut. Donald Trump bahkan sempat didesak untuk menghentikan perjanjian senjata dengan Arab Saudi.
“Whistleblowers sejak awal memperingatkan adanya konflik kepentingan antar penasihat Gedung Putih yang berimplikasi pada undang-undang federal,” tulis Elijah Cummings, pemimpin komite Demokrat dalam sebuah surat kepada Gedung Putih, Selasa (19/2/2019).
Melansir The Telegraph, laporan yang di rilis oleh Demokrat itu juga menyebutkan sejumlah aksi-aksi tidak wajar perihal proposal untuk membangun puluhan reaktor nuklir di seluruh daerah Kerajaan Arab Saudi.
Proposal kerja sama nuklir tersebut dikenal dengan sebutan, “Marshall Plan for The Middle East” yang dikerjakan oleh mantan Penasihat Keamanan Nasional, Michael Flynn yang dibebas tugaskan pada awal 2017.
Mc Master, Penasihat Keamanan Nasional AS yang saat itu menjabat (pengganti Flynn), berharap bahwa rencana transfer nuklir itu hanya berhenti sampai proposal saja karena ia meragukan keabsahannya, namun ternyata proposal itu masih berlanjut hingga kini.
Editor: Yantina Debora