Menuju konten utama

Trotoar Sarinah Contoh Buruk Sarana Umum untuk Difabel di DKI

Kelompok difabel mengungkapkan tak ada trotoar yang benar-benar ramah bagi mereka di DKI Jakarta.

Trotoar Sarinah Contoh Buruk Sarana Umum untuk Difabel di DKI
Trotoar Sarinah. tirto.id/Adi Briantika

tirto.id - Salah satu sarana dan prasarana Pemerintah Provinsi DKI Jakarta yang sedang disorot publik menjelang Asian Games 2018 adalah trotoar Jalan Sudirman sampai Thamrin. Beberapa waktu Pemprov DKI dikritik karena foto yang viral di jagad maya soal sarana trotoar yang tak ramah difabel.

Foto itu menunjukkan bagaimana guiding block, yang berwarna kuning dan berfungsi sebagai penunjuk arah bagi difabel, terputus oleh tiang lampu lalu lintas. Lokasinya di depan Gedung Sarinah, di seberang gedung Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu).

Guiding block ini bermotif lonjong, yang artinya "boleh jalan". Guiding block lain bermotif bulat, yang berarti "berhenti". Dapat dibayangkan bagaimana tanda boleh jalan itu justru membuat para difabel bisa menabrak tiang lampu lalu lintas.

Tiang "sumber bencana" ini dipasang sejak Selasa (24/7/2018). Namun ketika Tirto ke lokasi Sabtu (28/7/2018) kemarin, tiang sudah dicabut. Yang tertinggal hanya bekas galian berukuran 30 cm x 30 cm dengan kedalaman sekitar 5 cm. Bekas galian ini diberi cone sebagai penanda.

Seorang petugas kebersihan mengatakan pada Kamis (26/7/2018) tiang itu masih terpasang, tapi sehari setelahnya dicopot. Pada Minggu (29/7/2018) pukul 2 dini hari lubang itu sudah ditutupi semen, meski masih diberi pembatas.

Memang Belum Akomodatif

Apa yang terjadi pada trotoar di dekat gedung Sarinah jadi contoh bagaimana tak semua sarana trotoar di Jakarta ramah difabel. Wakil Ketua Persatuan Penyandang Disabilitas Indonesia (PPDI) Amin Siahaan mengatakan "Untuk trotoar saat ini belum ada [yang mampu mengakomodir sepenuhnya kebutuhan difabel]," katanya kepada Tirto, Sabtu (28/6/2018).

Menurutnya, karena pemerintah tidak memastikan perwakilan difabel ikut serta dalam proses perencanaan, pelaksanaan, hingga evaluasi trotoar. Orang dengan fisik sempurna abai dengan persoalan ini.

"Warga disabilitas seharusnya adalah bagian dari tim tersebut [yang ikut perancangan-mengevaluasi]. Selama ini penyandang disabilitas hanya sebagai rekan konsultasi saja," kata Amin.

Hal yang sama diungkapkan Faisal Rusdi, inisiator Jakarta Barriers Free Tourism (JBFT), kelompok yang hendak meningkatkan kesadaran publik tentang hak-hak penyandang disabilitas. Menurut Faisal benda-benda tak penting di trotoar tak hanya merugikan penyandang disabilitas, "tapi pejalan kaki yang lain juga."

Di DKI Jakarta, penggunaan trotoar diatur dalam Perda Kota Jakarta Nomor 8 Tahun 2007. Sebuah artikel yang terbit di Journal of Legal and Policy Studies (PDF) menyebut penegakan peraturan ini "tidak berjalan efektif" dengan mengacu dari banyaknya pedagang kaki lima.

Menurut Faisal, yang juga pengguna kursi roda, pemerintah memang harus mengikutsertakan difabel jika tidak ingin mengulang-ulang kejadian serupa. "Itu kuncinya. Mulai desain awal, implementasi hingga penyelesaian trotoar, perlu melibatkan penyandang disabilitas," katanya.

Penelitian LBH Jakarta yang berjudul “Mereka yang Dihambat” dalam sebuah laporan Pemeringkatan Indeks Aksesibilitas Fasilitas Publik bagi Kelompok Difabel di DKI Jakarta di 2015 mengungkapkan, dari seluruh sampel yang dijadikan obyek penelitian seperti terminal, stasiun, gedung pemerintah, tidak ada satu pun yang aksesibel untuk difabel. Mayoritas objek yang diteliti hanya mendapatkan indeks dengan bobot 0-2,00 atau tidak aksesibel, selebihnya dalam jumlah yang minim hanya mendapat bobot 2.00-3.50 atau kurang aksesibel bagi difabel.

Kepala Seksi Perencanaan Prasarana Jalan dan Utilitas Dinas Bina Marga DKI, Riri Asnita, serta Kepala Bidang Kelengkapan Prasarana Jalan dan Jaringan Utilitas Dinas Bina Marga DKI, Junaedi Nelman sayangnya tidak merespons telepon atau pesan singkat saat akan dimintai tanggapan.

Anies belum berkomentar soal foto yang viral ini. Namun ketika meninjau ke lapangan, pada Minggu (22/7/2018) sebelum adanya foto viral ihwal trotoar Sarinah, ia mengatakan trotoar "sudah tidak belok-belok, sudah mulus, rata, dan lurus jalannya."

Pembangunan trotoar Sudirman-Thamrin pertama kali dirancang Basuki Tjahaja Purnama. Dana pembangunan digelontorkan bukan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) DKI Jakarta, melainkan sisa kompensasi Koefisien Lantai Bangunan (KLB) PT Mitra Panca Persada (MPP). Berdasarkan hasil perhitungan Pemprov DKI, kompensasi yang dipakai untuk merevitalisasi trotoar ini mencapai Rp360 miliar.

Mantan Gubernur DKI Jakarta sebelumnya berencana memulai proyek pada Desember 2017 lalu. Namun, Gubernur DKI Jakarta terpilih Anies Baswedan kemudian merevisi desain tersebut. Dalam rancangan terbaru itu, Anies menambahkan area untuk PKL dan pengendara motor. Desain ini pun menimbulkan polemik di tengah masyarakat.

Desain baru rampung pada awal Maret 2017, dan konstruksi dikerjakan beberapa waktu setelahnya. Di satu sisi, proses konstruksi untuk Asian Games harus selesai pada 31 Juli 2018.

Pengamat tata kota Nirwono Joga mengatakan mepetnya waktu membuat "koordinasi di lapangan jadi kurang optimal dan serba terburu-buru."

Baca juga artikel terkait ASIAN GAMES 2018 atau tulisan lainnya dari Adi Briantika

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Adi Briantika
Penulis: Adi Briantika
Editor: Rio Apinino