tirto.id - Masker tidak hanya bisa digunakan untuk melembapkan wajah, tetapi juga dapat membuat bokong jadi kinclong. Hal itu yang kini jadi tren di kalangan perempuan-perempuan di Los Angeles, Amerika Serikat.
Awal September lalu, New York Times melansir laporan soal perkembangan terbaru dalam ranah kecantikan di negeri tersebut. Jurnalis Arit John mengamati, para perempuan telah memperlakukan kulit bokong seperti mereka memperlakukan kulit wajah--selangkah lebih maju bila dibanding tren kecantikan di Korsel atau negara-negara di Asia yang masih berkutat pada wajah.
Para pemerhati kecantikan mulai mengaplikasikan beberapa produk perawatan kulit seperti scrub, serum, pelembap, minyak, dan juga masker pada pantat demi memastikan kulit tubuh bagian belakang ini bisa jadi sehalus mungkin.
Perhatian para individu terhadap kesehatan kulit bokong dibenarkan direktur perusahaan riset JWT [J. Walter Thompson Intelligence], Emma Chiu. “Orang-orang cenderung memperhatikan setiap bagian tubuh termasuk bagian-bagian intim,” ujarnya kepada New York Times.
Ia pun menyadari bahwa saat ini muncul berbagai perusahaan rintisan di industri kecantikan yang fokus melansir produk perawatan area intim seperti bokong. Beberapa di antaranya ialah Tush, Anesh, dan Bawdy Beauty.
Tiga lini produk perawatan kulit tersebut kini begitu populer AS. Pemilik produk pun turut mengampanyekan bahwa produk perawatan mampu membantu pengguna memiliki bentuk bokong sempurna, kencang, berkilau, sampai memiliki aroma kelapa atau melati.
Barisan label tersebut juga sedang getol-getolnya berinovasi menemukan varian baru lantaran melihat potensi jadi laris di pasaran. Bawdy Beauty, contohnya. Kini tim riset dan pengembangan produk tersebut tengah memformulasikan masker bokong bermaterial CBD: tanaman yang memiliki kandungan yang sama dengan ganja.
Harapannya, masker itu dapat menjaga kondisi otot bokong.
Dipicu Tren Bokong Besar
Larisnya produk perawatan kulit bokong terjadi setelah kisah-kisah miris soal perawatan bokong terjadi di AS.
Sebelum itu, tepatnya sekitar 2015-awal 2019, perawatan bokong yang populer adalah Brazilian Butt Lift [BBL] yang diartikan sebagai prosedur pembesaran bokong. Cara ini pertama kali ditemukan seorang dokter bedah plastik ternama asal Brazil, Ivo Pitanguy, pada medio 90-an, sebelum dipopulerkan oleh Kim Kardashian dalam beberapa tahun terakhir.
Namun demikian, sesungguhnya BBL tidak bisa benar-benar dikategorikan sebagai perawatan bokong karena tidak melibatkan berbagai tindakan merawat kulit. Prosedur BBL nyaris seperti operasi di mana para pasien diharuskan untuk berbaring di klinik sambil ditangani oleh seorang dokter kecantikan.
Hanya saja, pada masa itu publik menganggap tindakan tersebut termasuk merawat karena membuat bokong terlihat lebih bagus [atau besar] ketimbang sebelumnya. Alhasil, para dokter kecantikan lain pun mempelajari dan melakukan tindakan serupa.
BBC mengutip hasil penelitian International Society of Aesthetic and Cosmetic Surgery yang menyebut bahwa pada 2015, 320.000 orang melakukan prosedur BBL. Jumlah tersebut meningkat 30% dari tahun sebelumnya. Hal serupa juga turut diungkapkan asosiasi lain seperti American Society of Plastic Surgeons.
Persoalannya, sejumlah klinik tidak melakukan prosedur BBL dengan tepat. Akibatnya, para pasien mengalami kecelakaan permanen bahkan hingga meninggal.
Dalam tulisannya di The Conversation, Jim Frame, Profesor Estetika Bedah Plastik dari Universitas Anglia Ruskin di Inggris, menyatakan bahwa hal tersebut terjadi karena para dokter abai menginjeksi lemak pada titik yang tepat sehingga mengakibatkan penyumbatan pembuluh darah.
Semua karena Obsesi
Obsesi publik terhadap bentuk bokong besar dipengaruhi oleh para selebritas yang gemar pamer bokong di media sosial. Pionir dari fenomena tersebut adalah Jennifer Lopez.
Sejak tahun 2000, J.Lo, sapaannya, sudah kerap tampil dalam gaun-gaun transparan atau terbuka yang memperlihatkan [lekuk] bokong nan aduhai. Silakan simak gaun hijau yang ia kenakan pada Grammy 2000 sebagai contoh.
Dalam berbagai wawancara, J.Lo selalu bilang bahwa dirinya bangga akan “bokong latina” berukuran besar yang selalu ia rawat itu. Tak heran pada tahun 2015, sebagaimana dilaporkan People, ia mengasuransikan bokongnya hingga $27 juta atau sekitar 370 miliar rupiah.
Kini, 19 tahun berselang, diva kelahiran 24 Juli 1969 tersebut masih penuh percaya diri memamerkan bokong padat nan kencang miliknya dalam video klip maupun konser. Tak sedikit pula artis-artis beken lain yang meniru J.Lo dalam hal bentuk bokong: Klan Kardashian, Nicki Minaj, Cardi B, Beyonce, hingga Bella Hadid.
Obsesi orang-orang di peradaban Barat terhadap bokong besar sejatinya sudah muncul sejak 1810-an. Adalah kalangan para pria bermata keranjang yang memicunya. Kala itu, Sara Baartman, seorang perempuan Hottentot dari tanah Afrika, diboyong ke Inggris untuk dieksploitasi lantaran punya bokong super besar. Ia dijadikan tontonan bagi pria-pria Eropa yang bersedia membayar demi melihat bentuk tubuh perempuan yang lain daripada yang lain.
Perempuan dengan julukan Hottentot Venus itu juga kerap dipaksa menuruti berbagai macam perintah tak manusiawi para pria Eropa tersebut. Salah satunya adalah dimasukkan ke dalam kandang dalam keadaan telanjang bulat yang memicu berbagai reaksi: dari yang kagum hingga mempertanyakan apakah ia manusia atau bukan.
Setelah dari Inggris, Baartman kemudian dibawa berkeliling ke negara Eropa lain seperti Perancis. Selain jadi tontonan yang laris, ia juga dikondisikan sedemikian rupa sebagai "hadiah spesial" dalam pesta privat kaum elit.
Mantan Profesor di University of London, Rachel Holmes, berkata kepada New York Times bahwa Baartman adalah simbol eksploitasi seksual yang terjadi di Eropa.
Sementara di AS, bokong besar juga jadi simbol seksualitas. Dalam studi"Brain, Brow, and Booty: Latina Iconicity in U.S. Popular Culture"(PDF, 2004) disebutkan bahwa selama berabad-abad, bokong perempuan Amerika Latin dan perempuan non-kulit putih dianggap seksi dan eksotis, melambangkan hasrat seks, kesuburan, dan juga jadi bahan fetis.
Isabel Molina Guzman dan Angharad N. Valdiva, penyusun studi tersebut, menilai anggapan tersebut bermula dari persepsi orang Eropa atau Kauskasia yang mengasosiasikan ras kulit putih sebagai ras yang mementingkan intelektualitas, sementara kalangan non-kulit putih dianggap sebagai orang-orang yang fokusnya memenuhi kebutuhan sehari-hari seperti makan dan bereproduksi.
Anggapan ini akhirnya membuat orang Kaukasia menilai kaum non kulit putih dari hal-hal yang terlihat di permukaan seperti bagian tubuh. Dan mereka membangun pemaknaan baru terhadap bagian tubuh yang nampak berbeda dari kaum mereka sendiri—misal bentuk bokong orang non Kaukasia. Dari sana, anggapan seksi itu kemudian muncul.
Di mata Guzman dan Valdiva, pola pikir tersebut membuat orang-orang serta budaya populer di AS terus terkagum-kagum dan menyoroti bokong Jennifer Lopez yang dianggap tidak biasa, besar, seksi, dan berbeda dari ras kulit putih.
Sementara itu, Alena Singleton, penulis Cultural History of The Buttocks menilai anggapan bokong sebagai simbol kesuburan muncul sejak 24.000 tahun sebelum masehi. Buktinya bisa dilihat dari patung-patung perempuan pada masa tersebut yang selalu dibikin besar.
Anggapan lain datang dari antropolog Helen Fisher. Dalam bukunya The Sex Contract: The Evolution of Human Behavior (1982) Fisher berkesimpulan bahwa bokong besar seksi muncul karena para pria merasa bentuk bokong tersebut lebih nyaman dipandang kala sedang berhubungan seks.
Berbagai anggapan di atas akhirnya membuat selebritas papan atas non kulit putih seperti J.Lo memilih untuk menonjolkan bokong mereka. Tentunya nasib mereka tidak lagi seperti Baartman. Bahkan sebaliknya: dipuja sekaligus ditiru.
Dan yang lebih fenomenal, kini kaum awam tak lagi datang ke pusat kebugaran hanya untuk sehat, melainkan juga demi tujuan lain: membentuk bokong jadi bahenol seperti Kylie Jenner.
Editor: Eddward S Kennedy