tirto.id - Tagar #trashchallenge akhir-akhir ini populer di media sosial. Ia adalah sebuah gerakan membersihkan sampah di lingkungan sekitar. Tantangan ini dilakukan para pengguna media sosial. Di Instagram, misalnya, hingga 15 Maret 2019 pukul 01.45, ada 1.332 foto dengan tagar ini yang berasal dari akun-akun yang tersebar di berbagai belahan bumi. Tagar tersebut juga populer di Twitter.
Meski kampanye ini baru beken di jagat maya belakangan, Aninda Putri (25) mengatakan ia dan beberapa rekannya sering memungut sampah yang bertebaran di sekitarnya. Kegiatan itu memang tidak selalu ia lakukan. Anin biasanya memungut sampah yang dibuang sembarangan, tapi tak jauh dari tempat sampah.
“Risih lihat ada tempat sampah, tapi masih dibuang sembarangan,” ujar Anin.
Begitu juga dengan Resla Aknaita Chak (26) yang selalu memungut sampah tanpa diperintah orang lain. Resla selalu melakukan ini sebelum #trashchallenge mendunia.
Alasan yang ia kemukakan pun sama dengan Anin: tak suka melihat sampah yang tidak dibuang pada tempatnya, padahal lokasi tempat sampah dekat.
Meski begitu, tak semua jenis sampah ia ambil dengan tangan langsung. “Kalau kering, aku ambil langsung pakai tangan. Kalau yang basah dan kotor atau bau, biasanya enggak [diambil],” ungkap Resla.
Jika di sekitar tempatnya tak ditemukan tempat sampah, Resla menceritakan dirinya sering memilih mengantongi sampah itu terlebih dahulu.
Seperti diberitakan Washington Post, tantangan ini telah digulirkan sejak 2015 oleh sebuah perusahaan pencahayaan luar ruangan di Seattle. Namun, beberapa waktu lalu, seorang pemilik akun Facebook bernama Byron Roman berhasil menyita perhatian masyarakat setelah dia membersihkan sebuah area yang penuh dengan sampah di hutan.
Aksi itu ditujukan untuk mendorong remaja. Roman menyadari bahwa internet telah menjadi candu bagi remaja. Remaja menukai tantangan, tagar challenge ini dan itu. Dengan mengunggah gambar di internet, para remaja seakan-akan merasa semua mata melihat tindakannya.
Tak heran jika tantangan tersebut semakin dikenal dan para remaja tidak jijik dengan aktivitas itu.
Perlu Penyelesaian Struktural
Jika para remaja di Indonesia terketuk dengan tantangan ini, tentu mereka akan membantu kampanye kebersihan dan pengelolaan sampah. Di negara kita, hanya sedikit kota yang persentase sampah terangkutnya mencapai 100 persen. Bahkan, menurut Statistik Lingkungan Hidup Indonesia 2018 yang dirilis BPS (PDF), tak sedikit kota yang memiliki persentase sampah terangkut kurang dari 50 persen.
Di Kota Jayapura, misalnya, diperkirakan produksi sampah per hari sebesar 416 m3, tapi di sana hanya 11 persen sampah yang terangkut. Kota lainnya adalah Surabaya yang memiliki perkiraan produksi sampah mencapai 9.896,78 m3 per hari, tetapi hanya 54,84 persen sampah yang terangkut.
Upaya membersihkan lingkungan dari gunungan sampah agar enak dilihat dengan #trashchallenge hanya bisa mendorong sisi kampanye. Untuk mengatasinya, gerakan itu tentu tak cukup. Apalagi, pada 2018, Statista merilis data bahwa saat ini Indonesia merupakan negara dengan jumlah sampah plastik terbanyak kedua di dunia.
Ada langkah struktural yang perlu dilakukan. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) meminta kepada industri untuk menarik kembali sampah plastik yang sudah tidak dipakai. Menurut Direktur Jenderal Pengelolaan Sampah, Limbah, dan Bahan Beracun Berbahaya KLHK Rosa Vivien Ratnawati langkah ini lebih baik ketimbang mengurangi penggunaan plastik.
“Kami segera menyusun roadmap untuk produsen. Jadi, bukan hanya plastik sekali pakai, mereka harus bisa menarik kembali barangnya,” ungkap Vivi.
Untuk menangani sampah plastik, Vivi menjelaskan bahwa pemerintah memaksimalkan peran industri agar bisa mengolah sampah, sehingga tak hanya mandek di Tempat Pembuangan Akhir (TPA).
Utang untuk Mengelola Sampah
Menurut Bank Dunia, tingkat timbulan sampah terus meningkat. Pada 2016 tercatat kota-kota di dunia menghasilkan 2,01 miliar ton limbah padat. Dalam waktu sehari, satu orang rata-rata membuang 0,74 kilogram sampah. Mereka memperkirakan peningkatan populasi dan cepatnya urbanisasi akan menaikkan timbulan hingga 70 persen pada 2050. Artinya, akan ada 3,40 miliar ton sampah.
Masalah sampah ini menjadi perhatian Bank Dunia, khususnya di negara-negara berpenghasilan rendah, di mana 90 persen limbah dibuang ke sembarang tempat. Fenomena ini tentu saja akan menimbulkan masalah kesehatan, keselamatan, dan lingkungan yang serius.
Namun, pengelolaan limbah yang efektif cenderung menguras anggaran kota. Bank Dunia menyediakan utang untuk membangun fasilitas pemilihan dan pengolahan sampah, membangun atau memperbarui tempat pembuangan sampah, dan menyediakan tempat sampah, truk, maupun stasiun transfer.
Bank Dunia juga memasukkan strategi desain pajak dan struktur biaya, serta perencanaan jangka panjang untuk membantu pemerintah meningkatkan pengendalian dan pemulihan biaya limbah.
Tak hanya itu, Bank Dunia juga mendorong negara untuk melibatkan warganya dalam pengelolaan sampah dengan mengurangi limbah, memisahkan sumber, dan menggalakkan program daur ulang yang bisa menjadi alternatif mata pencaharian sebagai pemulung.
Meski demikian, kita juga harus menilik sumber utama dari peningkatan sampah. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dalam situs resminya mengungkapkan bahwa naiknya volume dan kompleksitas dipengaruhi ekonomi modern. PBB bahkan mencatat ada 11,2 miliar ton sampah padat yang bisa dikumpulkan di seluruh dunia, dan peluruhan proporsi organik limbah padat itu menyumbang 5 persen dari emisi gas rumah kaca.
Di negara maju dan negara berkembang, limbah listrik dan elektronik menjadi fokus baru. Tempat pembuangan sampah terbuka dan tidak bersih bisa berkontribusi terhadap penularan infeksi dan penyakit.
Solusi pertama yang ditawarkan PBB adalah meminimalkan limbah. Tapi jika tak bisa dihindari, maka daur ulang limbah menjadi produk harus menjadi solusi selanjutnya. Daur ulang akan menghemat sumber daya.
Guardian pernah memublikasikan artikel yang membahas tentang kota-kota penghasil sampah, salah satunya adalah New York. Kota ini merupakan kota yang paling banyak memakan energi. Setelah New York, ada Mexico City yang menjadi kota terboros kedua di dunia.
Di antara kedua kota tersebut, Mexico City masih menjadi juara untuk masalah limbah. Di Mexico City, mereka pernah menutup tempat pembuangan sampah terbesar pada 2011. Hal ini tentu menimbulkan masalah karena mengakibatkan sampah bertumpuk sembarangan di tempat pembuangan ilegal maupun di jalan. Tak hanya itu, mereka juga menjadi perhatian karena tak memiliki kebijakan komprehensif dalam mengumpulkan, membuang, dan mengolah limbah perkotaan.
Infografik Trash Challenge
Belajar dari AS dan Jepang
Amerika Serikat memiliki lembaga setingkat kementerian bernama Environmental Protection Agency (EPA) yang mengurusi segala bahan limbah berlandaskan Undang-Undang Konservasi dan Pemulihan Sumber Daya Alam (RCRA) 1976. Statista membeberkan adanya peningkatan produksi limbah di Amerika Serikat. Secara keseluruhan, jumlah produksi limbah padat kota di Amerika Serikat pada 1960 berjumlah 88,1 juta ton. Di tahun 2015 jumlah tersebut meningkat menjadi 262,4 juta ton.
Untuk mengatasi permasalahan limbah tersebut, EPA membentuk kebijakan pengelolaan limbah terintegrasi, sehingga memungkinkan kota untuk mengelola limbah padat sesuai dengan kebutuhan masing-masing.
Urutan pengelolaan limbah yang dikelola EPA meliputi: pengurangan limbah, termasuk menggunakan produk yang tidak sekali pakai dan pembuatan kompos di pekarangan rumah; daur ulang produk; pengomposan, termasuk di antaranya pengomposan berbasis komunitas; pembakaran dengan pemulihan energi; dan pembuangan melalui penimbunan. Dua cara terakhir harus melalui praktik penimbunan limbah yang memenuhi standar atau menggunakan teknologi konversi limbah.
Penghasil limbah terbesar ketiga adalah Tokyo. Kota ini memang memiliki penduduk 50 persen lebih banyak dibandingkan Mexico City, tapi mereka memiliki sistem pengelolaan sampah yang jauh lebih baik. Tokyo punya program daur ulang yang tertata dan selalu berupaya menjadi kota tanpa limbah.
Menilik situs resmi Kementerian Lingkungan Hidup Jepang (PDF), mereka menggunakan teknologi untuk mengatur sistem persampahan seperti limbah medis, limbah botol plastik, teknologi daur ulang alat rumah tangga, teknologi pemanfaatan biomassa, dan teknologi pembuangan sampah di TPA yang memungkinkan stabilisasi limbah dalam waktu singkat.
Tak hanya itu, Jepang juga memikirkan teknologi untuk efisiensi pengangkutan sampah. Karena masalah pemanasan global, mereka menggunakan truk sampah tipe polusi rendah, yang digerakkan dengan listrik dan truk hibrida.
Untuk efisiensi pengumpulan dan pengangkutan sampah perkotaan, mereka memperluas area dengan mendirikan stasiun pemindahan sampah sehingga limbah dapat dipindahkan dari truk berukuran kecil atau sedang ke truk berukuran besar.
Editor: Ivan Aulia Ahsan