tirto.id - Tahun 1998 diwarnai sejumlah aksi di jalan raya. Sejak awal Maret, jalanan dipenuhi mahasiswa dan elemen pro-demokrasi yang menuntut pemerintah untuk segera melakukan reformasi akibat merebaknya korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) yang membuat negara terseret pada krisis moneter.
Dari hari ke hari tuntutan kian mengeras: Soeharto harus turun dari singgasana yang sudah dikuasainya selama 30 tahun lebih.
Salah satu aksi yang akan diingat oleh sejarah berlangsung pada 12 Mei 1998, tepat hari ini 22 tahun lalu. Pada tanggal tersebut, mahasiswa Universitas Trisakti memulai aksinya di dalam kampus di kawasan Grogol, Jakarta Barat. Sementara di luar, aparat keamanan yang terdiri dari anggota polisi dan tentara, terlihat berjaga-jaga.
Massa aksi meramaikan kampus sejak pukul 10.30. Dalam siaran pers Senat Mahasiswa Universitas Trisakti (SMUT) dan catatan Kompas edisi 13 Mei 1998, cukup banyak civitas academica yang terlibat, mulai dari mahasiswa, dosen, pejabat fakultas dan universitas, serta karyawan yang berjumlah sekitar 6000 orang.
Selepas tengah hari, massa aksi berencana menuju gedung MPR/DPR. Dalam koordinasi yang masih tertata, mereka mulai bergerak ke pintu gerbang yang mengarah ke Jl. Jenderal S. Parman dengan penjagaan satgas internal.
Namun saat tiba di depan pintu masuk kantor walikota Jakarta Barat, massa diadang oleh dua lapis barikade aparat yang membawa tameng dan pentungan. Lalu dilakukan negosiasi antara beberapa wakil mahasiswa (SMUT) dengan pimpinan komando aparat (Dandim & Wakapolres Jakarta Barat). Anggota aksi lain mencoba bergerak maju, dan elemen masyarakat sipil lain mulai bergabung.
Mahasiswa kecewa sebab aparat tetap melarang long march dengan alasan mengganggu lalu lintas. Di saat yang sama datang tambahan aparat Pengendalian Massa (Dal-Mas) sejumlah 4 truk dan aparat dari Kodam Jaya serta dari satuan kepolisian. Mahasiswa tetap melanjutkan orasi di jalan yang disertai dengan aksi membagikan bunga mawar kepada aparat, meneriakkan yel-yel, dan bernyanyi. Hujan deras yang turun tak menyurutkan semangat massa aksi untuk bertahan di lokasi.
Mendekati pukul 17.00, negosiasi tercapai yakni mahasiswa dan aparat akan sama-sama mundur. Awalnya massa menolak, tapi kemudian menurut setelah dibujuk oleh seorang Dekan Fakultas Ekonomi dan Fakultas Hukum serta ketua SMUT. Massa pun perlahan bergerak mundur.
Saat sedang mundur teratur, tiba-tiba muncul seseorang bernama Mashud, mengaku sebagai alumni, berteriak mengeluarkan kata-kata kotor ke arah massa. Massa sontak ingin mengamankannya karena ia dikira intel yang hendak mengeruhkan suasana. Namun, Mashud kemudian lari ke arah aparat sehingga muncul ketegangan antara aparat dan mahasiswa.
Ketegangan lain muncul sebab di antara barisan aparat ada yang meledek dan mentertawakan serta mengucapkan kata-kata kotor. Sejumlah mahasiswa yang sedang mundur pun berbalik ke lokasi dan tiga lainnya yang ingin menyerang aparat bisa diredam oleh satgas mahasiswa Trisakti.
Tanpa diketahui pemicunya, aparat keamanan tiba-tiba menyerang mahasiswa dengan tembakan dan gas air mata. Rombongan mahasiswa pun panik dan berlarian menuju kampus. Penembakan semakin membabi buta dan melibatkan sejumlah penembak jitu. Peluru karet maupun peluru tajam berhamburan. Aparat tanpa senjata api memukuli mahasiswa dengan pentungan atau memakai tangan kosong, disertai tendangan, injakan, dan melemparkan mahasiswa ke sungai.
Kekejaman tersebut dilakukan merata baik kepada mahasiswa maupun mahasiswi. Bahkan ada mahasiswi yang mendapat pelecehan seksual dari aparat. Mereka memegang-megang bagian tubuh vital sejumlah mahasiswi, termasuk Ketua SMUT yang berada di antara aparat dan massa aksi, dan akhirnya tertembak dua peluru karet di bagian pinggang sebelah kanan.
“Hal ini merupakan tindakan-tindakan brutal dan immoral yang dilakukan oleh pihak aparat keamanan dalam mengamankan aksi keprihatinan mahasiswa,” demikian dalam siaran pers SMUT.
Pada pukul 18.40 datang pasukan bermotor yang memakai perlengkapan rompi bertuliskan URC (Unit Reaksi Cepat) yang mengejar mahasiswa sampai ke pintu gerbang kampus, dan sebagian lainnya naik ke jembatan layang Grogol. Sejumlah mahasiswa yang tertangkap aparat dianiaya dan dibiarkan tergeletak begitu saja di tengah jalan. SMUT mencatat ada momen menyedihkan yang dialami seorang mahasiswi yang sudah berjongkok minta ampun tapi tak digubris oleh aparat dan terus dipukuli.
Aksi ala koboi itu dilakukan dengan melepaskan tembakan yang terarah ke depan gerbang Trisakti, sedangkan aparat yang berada di atas jembatan layang mengarahkan tembakannya ke arah mahasiswa yang berlarian ke dan di dalam kampus. Aparat lain yang berada di bawah menyerbu dan merapat ke pintu gerbang dan membuat formasi siap menembak dua baris (jongkok dan berdiri), lalu menembak ke arah mahasiswa yang ada di dalam kampus.
Tembakan-tembakan yang terarah itu mengakibatkan jatuhnya korban, baik luka ringan, luka berat, maupun meninggal dunia. Yang meninggal dunia seketika di dalam kampus sebanyak tiga orang, dan satu orang lagi meninggal di rumah sakit, serta beberapa lainnya dalam kondisi kritis. Sementara korban luka-luka dan jatuh akibat tembakan kurang lebih 15 orang. Mereka yang luka segera dilarikan ke rumah sakit terdekat, salah satunya yang menerima banyak pasien adalah RS Sumber Waras.
Satu jam usai kejadian horor itu kampus Trisakti masih tegang sampai tengah malam, demikian dilaporkan Kompas pada Rabu, 13 Mei 1998. Juga ditambahkan oleh pihak SMUT, mahasiswa di dalam kampus masih ketakutan karena sejumlah aparat yang berpakaian gelap masih berada di sekitar pelataran parkir utama dan beberapa penembak jitu di gedung yang masih dibangun. Dalam rasa takut, mahasiswa bersembunyi di musala, ruang organisasi mahasiswa, dan tempat lain dengan cara memadamkan lampu.
Mendekati pukul 21.00 keadaan mulai kondusif. Mahasiwa mulai keluar ruangan dan dalam waktu yang bersamaan terjadi dialog antara Dekan Fakultas Ekonomi dengan Kol.Pol. Arthur Damanik untuk mengoordinasikan pemulangan para mahasiswa. Dengan raut muka tegang, marah, takut, bercampur sedih dan trauma, mahasiswa berangsur-angsur pulang meninggalkan kampus berlima-lima sesuai koordinasi Damanik dan timnya.
Tragedi Trisakti menelan nyawa empat orang yang namanya abadi hingga kini, yakni Elang Mulia Lesmana (Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan Jurusan Arsitektur), Hafidhin Royan (Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan Jurusan Teknik Sipil), Hery Hartanto (Fakultas Teknologi Industri), dan Hendriawan Sie (Fakultas Ekonomi).
Keadilan masih diperjuangkan sampai detik ini oleh para orang tua korban dan elemen sipil lain yang peduli. Korban tak hanya jatuh pada peristiwa berdarah tersebut, namun juga Tragedi Semanggi I dan II. Tiap Kamis, keluarga korban dan para simpatisan yang peduli dengan penegakan HAM mengenakan baju hitam tanda duka dan menggelar aksi diam di depan Istana Merdeka sejak 18 Januari 2007. Mereka menuntut agar otak pembunuhan yang masih berkeliaran di luar sana untuk segera diadili.
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan yang saat itu dijabat oleh Wiranto, pada Oktober 2016 mengatakan bahwa kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat di Indonesia, termasuk kasus Tragedi Trisakti, akan diselesaikan secara non yudisial yakni melalui musyawarah.
"Penanganan yudisial itu, kan, beda dengan non yudisial. Kalau yudisial itu win (menang) and lose (kalah) ada yang menang dan kalah di pengadilan. Tapi kalau non yudisial itu win-win (saling menguntungkan) karena diselesaikan melalui musyawarah dan mufakat," kata Wiranto di Jakarta, Rabu (5//10/2016).
Padahal kekejaman aparat pada tragedi berdarah di Trisakti dan di tempat lain bagi Koordinator Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) dan elemen masyarakat sipil lain harus diselesaikan lewat pengadilan HAM demi tegaknya asas keadilan di Indonesia. Bukan musyawarah atau mufakat.
Setahun setelah kejadian, proses hukum memang berjalan dan menyeret enam terdakwa yang masing-masing dihukum 2 sampai 10 bulan. Tiga tahun berselang, sembilan terdakwa kasus penembakan mahasiswa Trisakti di adili di Pengadilan Militer dan dijatuhi hukuman 3 sampai 6 tahun penjara. Namun, mengutip pernyataan Komnas HAM yang masih diingat sampai kini, para terdakwa yang diadili di pengadilan militer adalah pelaku lapangan, sementara pelaku utamanya belum diadili.
==========
Artikel ini pertama kali ditayangkan pada 12 Mei 2017 dengan judul "Mengenang Kembali Tragedi Trisakti". Kami melakukan penyuntingan ulang dan menerbitkannya kembali untuk rubrik Mozaik.
Editor: Zen RS & Irfan Teguh