Menuju konten utama

Tolak Poin Revisi UU KPK, Saut: Kita Sedang Perang Pikiran

Pimpinan KPK menyoalkan urgensi revisi UU KPK padahal korupsi masih dianggap extraordinary crime. Namun, DPR tidak kunjung mengajak berbicara soal revisi UU KPK.

Tolak Poin Revisi UU KPK, Saut: Kita Sedang Perang Pikiran
Wakil Ketua KPK Saut Situmorang memberikan tanggapan soal putusan Mahkamah Agung yang membebaskan terdakwa kasus korupsi Surat Keterangan Lunas (SKL) Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) Syafruddin Arsyad Temenggung di gedung KPK, Jakarta, Selasa (9/7/2019). ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay/wsj.

tirto.id - Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyatakan penolakannya terhadap rencana revisi undang-undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Wakil Ketua KPK Saut Situmorang bahkan menilai situasi sudah masuk dalam ranah perang pikiran.

"Sekarang kita sedang perang pikiran ini. Mari kita perang pikiran," kata Saut di Gedung Merah Putih KPK, Kuningan, Jakarta Selatan pada Kamis (12/9/2019).

Perang pikiran yang dimaksud Saut ialah soal urgensi revisi undang-undang KPK yang ditengarai banyak mengandung pasal yang melemahkan komisi anti-rasuah.

Saut berpendapat, korupsi saat ini masih menjadi kejahatan luar biasa sehingga revisi undang-undang KPK tidak diperlukan. Ia justru mempertanyakan alasan revisi aturan itu yang terhitung mendadak dan terburu-buru.

"Bukan perang fisik ya. Rasio. Siapa yang benar sekarang ini di negara ini? Siapa yang berpikir logis sekarang di negara ini? Itu perlu kita evaluasi," kata Saut.

Untuk itu, Saut menambahkan, KPK sudah siap dengan berbagai data dan referensi untuk mendukung sikap mereka menolak rencana revisi UU KPK oleh DPR.

Di tempat yang sama, Wakil Ketua KPK Laode M. Syarif mengeluh DPR tidak kunjung mengirim surat resmi soal revisi undang-undang KPK. Informasi yang diterima KPK sejauh ini hanya dari berita di media. Bagi pria yang juga akadamisi di Universitas Hasanuddin ini janggal karena KPK selalu mendapat undangan untuk membahas bila mengacu pada rencana revisi UU KPK sebelumnya.

"Negara ini bukan negara tertutup. Negara ini adalah negara demokrasi, negara ini adalah menjunjung tinggi transparansi, oleh karena itu kita harus meminta kpd DPR dan pemerintah untuk mentransparankan semuanya," ujar Laode.

Presiden Joko Widodo resmi mengirim surat presiden (surpres) kepada DPR RI untuk melanjutkan pembahasan revisi UU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Menteri Sekretaris Negara, Pratikno mengatakan, surpres ini dikirim Rabu (11/9/2019). Pemerintah, kata dia, telah merevisi draf daftar isian masalah (DIM) RUU KPK yang diterima dari DPR RI.

"Surpres RUU KPK sudah diteken presiden dan sudah dikirim ke DPR ini tadi. Intinya bahwa nanti bapak presiden jelaskan detail seperti apa," kata Pratikno, Rabu (11/9/2019).

Revisi DIM, kata Pratikno, agar tidak mengganggu independensi KPK. Namun, ia tak menjelaskan lebih lanjut mengenai DIM versi pemerintah. Ia hanya beralasan, Jokowi berkomitmen menjadikan KPK independen dalam pemberantasan korupsi, sehingga punya kelebihan dibanding lembaga lainnya.

"Sepenuhnya presiden akan jelaskan lebih detail. Proses saya kira sudah diterima DPR," kata dia.

Surpres Jokowi nomor R-42/Pres/09/2019 yang menyetujui revisi UU KPK beredar di kalangan wartawan ditandatangani di Jakarta, yang isinya sebagai berikut:

"Merujuk surat ketua DPR RI nomor LG/14818/DPR RI/IX/2019 tanggal 6 September 2019 hal penyampaian Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dengan ini kami sampaikan bahwa kami menugaskan Menteri Hukum dan Hak Asasi manusia serta Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi untuk mewakili kami dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang tersebut."

Baca juga artikel terkait REVISI UU KPK atau tulisan lainnya dari Mohammad Bernie

tirto.id - Hukum
Reporter: Mohammad Bernie
Penulis: Mohammad Bernie
Editor: Andrian Pratama Taher