tirto.id - Saksi ahli agama di persidangan ke-15 dugaan penodaan agama dengan terdakwa Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), Ahmad Ishomuddin mengkritik sikap Majelis Ulama Indonesia (MUI) di kasus ini.
Dia menilai keputusan MUI mengeluarkan pendapat dan sikap keagamaan pada 11 Oktober 2016, yang menuduh Ahok menghina al-Quran dan ulama ketika menyinggung surat al-Maidah Ayat 51, jadi pemicu utama membesarnya kasus penodaan agama ini.
“Menjadi pemicu besar, karena kemudian dalam kenyataan saya sering melihat sendiri dengan mata, juga di televisi, juga di koran-koran, karena saya sering ke Jakarta, meski saya tinggal di Lampung, banyak sekali demonstrasi-demonstrasi yang digerakkan oleh GNPF-MUI, yang dasarnya antara lain adalah sikap dan pendapat keagamaan MUI tersebut,” kata Ishomuddin saat bersaksi dalam persidangan di Auditorium Kementrian Pertanian pada Selasa (21/3/2017).
Ishomuddin merupakan saksi ahli agama yang diajukan oleh kuasa hukum Ahok di persidangan ini. Ia adalah dosen Dosen Fakultas Syariah IAIN Raden Intan, Lampung. Selama ini, Ishomuddin juga menjabat Rais Syuriah PBNU.
Dia berpendapat MUI tidak semestinya mengeluarkan keputusan tersebut. Ishomuddin beralasan ada nuansa emosional dalam pengambilan keputusan itu.
“(dalam Islam) Tidak diperkenankan mengambil keputusan disaat dilanda amarah, atau mengambil keputusan secara terburu-buru. Terburu-buru itu berasal dari perbuatan setan,” kata Ishomuddin.
Salah satu Kuasa Hukum Ahok, Humphrey Djemat sempat berupaya memperjelas pendapat Ishomuddin tersebut.
Humphrey bertanya, “Dua hari sebelum satu pendapat dan sikap keagamaan dikeluarkan katakanlah tanggal 9 (Oktober 2016) itu, sudah dikeluarkan teguran dari lembaga sama tapi di daerah, ternyata orang tersebut (Ahok) memang tidak mengulangi perbuatannya, bahkan meminta maaf juga walau apa yang dilakukannya tidak ada maksud menodai agama tersebut. Tapi tanggal 11 (Oktober 2016), dikeluarkan sikap keagamaan (oleh MUI Pusat) yang sifatnya menghukum dengan alasan sifatnya karena desakan atau tekanan, apa dalam Islam bisa dikatakan ini bentuk kezaliman?”
Ishomuddin menjawab, “Itu bentuk ketidakadilan alias kezaliman.”
Dia kemudian juga mengimbuhkan, “Karena tujuan teguran itu untuk melihat sikap apakah seseorang mengalami perubahan atau tidak. Karena itu tidak boleh tergesa-gesa untuk memberikan hukuman yang lebih berat. Apalagi sudah meminta maaf.”
Penulis: Felix Nathaniel
Editor: Addi M Idhom