tirto.id - Wakil Ketua Tim Kampanye Nasional (TKN) Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, Habiburokhman menilai mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Anwar Usman, menjadi kambing hitam atas putusan Majelis Kehormatan MK (MKMK) terkait dugaan pelanggaran kode etik.
Hal itu disampaikan Habiburokhman merespons putusan Mahkamah Konstitusi (MK), yang menolak gugatan atas putusan nomor 90/PUU-XXI/2023 tentang penyesuaian syarat usia capres-cawapres. Gugatan atas putusan 90 teregistrasi dengan nomor 141/PUU-XXI/2023.
Habiburokhman mengatakan majelis hakim telah menyatakan dalil pemohon perkara 141 soal putusan 90 mengandung intervensi dari luar tak bisa dibenarkan, meski ada putusan Majelis Kehormatan MK (MKMK) soal dugaan pelanggaran kode etik hakim konstitusi atas perumusan putusan 90.
"[Sehingga] semakin terang dan jelas sebetulnya Bapak Anwar Usman ini korban kambing hitam, ya. Orang yang sengaja dicari kesalahannya sekadar untuk melakukan legitimasi terhadap putusan MKMK," kata Habiburokhman di Media Center TKN, Jakarta Selatan, Kamis (30/11/2023).
Menurut Waketum Partai Gerindra itu, putusan MK itu juga menunjukkan bahwa tidak tepat Anwar Usman diputuskan oleh MKMK melakukan pelanggaran berat.
"Setelah kita cermati, tidak ada yang namanya intervensi tersebut dan memang sebetulnya tidak tepat putusan pelanggaran berat terhadap Pak Anwar Usman, ya," ucap Habiburokhman.
Dia mengatakan dugaan intervensi Anwar Usman itu juga kerap dikaitkan dengan pencalonan Gibran Rakabuming Raka menjadi cawapres di Pilpres 2024. Tak sedikit, kata dia, yang menyatakan pencalonan putra sulung Presiden Jokowi itu, cacat hukum.
"Disebut apa? Diwarnai cacat hukum, diwarnai dengan cacat etika, dan lain sebagainya," tutur Habiburokhman.
Sebelumnya, MK menolak gugatan atas putusan nomor 90/PUU-XXI/2023 tentang penyesuaian syarat usia capres-cawapres. Gugatan atas putusan 90 teregistrasi dengan nomor 141/PUU-XXI/2023.
Penolakan ini dibacakan MK saat menggelar sidang pembacaan putusan di Gedung MK, Jakarta Pusat, Rabu (29/11/2023).
"Dalam pokok permohonan, menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya," kata Ketua MK Suhartoyo, yang kemudian mengetok palu.
Dia mengatakan, hasil putusan nomor 141 itu dirumuskan oleh delapan hakim konstitusi dari total sembilan hakim MK. Anwar Usman selaku hakim MK tak ikut merumuskan putusan nomor 141.
Perkara 141 diajukan oleh mahasiswa Universitas Nahdlatul Ulama (NU) Indonesia bernama Brahma Aryana.
Dalam gugatannya, Brahma mempersoalkan frasa yang tercantum dalam putusan Nomor 90 atau tepatnya dalam Pasal 169 huruf q UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu).
Penulis: Fransiskus Adryanto Pratama
Editor: Bayu Septianto