Menuju konten utama

TK Melati, Wujud Komitmen Gerwani Memberantas Buta Huruf

Gerwani punya komitmen besar pada pemberantasan buta huruf. Mengorganisasi ribuan TK Melati untuk mendidik anak-anak sebelum masuk jenjang Sekolah Rakyat.

TK Melati, Wujud Komitmen Gerwani Memberantas Buta Huruf
Gerwani menunjukkan dukungan mereka untuk masuknya Papua sebagai bagian dari Republik Indonesia. FOTO/Istimewa

tirto.id - Dalam perspektif Orde Baru, Gerakan Wanita Indonesia alias Gerwani dicitrakan sebagai organisasi yang bengis. Anggota-anggotanya disebut memiliki andil dalam pembunuhan para jenderal Angkatan Darat pada dini hari 1 Oktober 1965. Tengoklah misalnya dalam film "Penumpasan Pengkhianatan G30S PKI".

Film produksi PPFN yang rilis pada 1984 itu menggambarkan sekelompok anggota Gerwani melakukan aksi pencungkilan mata dan menyileti para jenderal di sebuah rumah di Lubang Buaya. Adegan mengerikan itulah yang kemudian membentuk persepsi negatif di benak banyak orang yang menontonnya.

Ratna Mustika Sari dalam Gerwani, Stigmatisasi, dan Orde Baru (2007, hlm. 86) memaparkan, para eks anggota Gerwani menjadi korban stigmatisasi selama Soeharto berkuasa. Rezim Orde Baru melakukan stigmatisasi terstruktur terhadap Gerwani melalui pembentukan opini dan tindakan state apparatus-nya.

Demonisasi terstruktur itu pada akhirnya berhasil mengaburkan wajah organisasi Gerwani yang sesungguhnya. Yang terjadi kemudian adalah anggapan pukul rata bahwa PKI dan ormas-ormasnya adalah manusia durjana. Padahal, sebelum huru-hara G30S 1965, Gerwani punya kontribusi besar bagi masyarakat Indonesia.

Gerwani punya komitmen besar terhadap pemberantasan buta huruf. Gerwani terlibat secara sukarela untuk kampanye melek aksara yang diorganisasi oleh pemerintah. Para anggota Gerwani yang terdidik ini dikirim ke desa-desa untuk mengajar di kelas-kelas dasar baca-tulis untuk anak-anak dan orang dewasa.

Banyak orang tak tahu, Gerwani juga punya program Taman Kanak-kanak Melati. Gerwani memandang program TK Melati sebagai tanggung jawab organisasi dalam membela hak anak-anak.

Membumikan TK Melati

John Roosa dalam pengantar buku Mengajarkan Modernitas, PKI sebagai Sebuah Lembaga Pendidikan (Ruth T. McVey, 2016, hlm. 6) menyebut, TK Melati itu berdiri di setiap cabang organisasi.

DPP Gerwani mengorganisasi pendiriannya dengan melibatkan pengurus DPD tingkat provinsi hingga level cabang. Pengurus cabang ditugaskan untuk menyelenggarakan TK Melati di wilayahnya. Sementara itu, prosedur birokrasi terkait pendirian TK akan diurus oleh DPP bersama DPD.

Pengorganisasian TK Melati ini terekam dalam Inventaris Arsip Komando Operasi Tertinggi (KOTI) 1963-1967 (ANRI, “Pengarahan DPP Gerwani mengenai pengorganisiran Taman Kanak-kanak Melati”, nomor arsip: 704).

Sebagai penyelenggara TK Melati, setiap Cabang Gerwani diinstruksikan untuk membangun relasi yang baik dengan guru dan orang tua murid. Untuk itu, DPP Gerwani memberi arahan agar pengurus TK mengadakan pertemuan dan laporan perkembangan murid secara periodik. Pengurus juga diinstruksikan menjalin relasi dengan sekolah rakyat dan instansi di luar organisasi.

Dalam hal operasional, DPP Gerwani dan DPD juga berbagai peran. DPP berkewajiban menentukan dasar pendidikan anak, sementara DPD mengurus pemenuhan logistik guru-guru di daerah.

Pembentukan TK Melati ini diusahakan bisa meluas sampai ke desa-desa. Mengingat perbedaaan infrastruktur antara desa dan kota, maka penyelenggaraan TK harus disesuaikan dengan keadaan setempat dan kemampuan yang ada.

Jika di desa sukar untuk mendapatkan gedung atau perumahan yang cukup lebar, penyelenggara boleh menyiasatinya dengan menggunakan halaman pekarangan yang bersih di bawah pohon rindang.

Begitu pula dengan alat mengajar. Murid-murid TK melati tidak diharuskan memiliki kertas yang harganya mahal untuk ukuran saat itu. Mereka boleh menggunakan media tulis dari apa pun yang terjangkau, meski hanya berupa daun pisang, daun kelapa, atau papan tanah liat.

Mengusahakan Murid dan Guru

Hal paling mendasar yang disoroti Gerwani dalam pendirian TK Melati adalah mengusahakan murid. Maklum, saat itu, banyak orang tua masih ragu menyekolahkan anaknya. Kemungkinan sebabnya adalah sosialisasi yang kurang masif.

D Surabaya, misalnya, sangat sedikit sekali orang tua yang mendaftarkan anaknya saat pendaftaran dibuka. Untuk meyakinkan para orang tua ini, pengurus TK melakukan anjangsana atau menggelar pertemuan, membagikan siaran-siaran, dan menjalin relasi dengan organisasi-organisasi di wilayah setempat.

Anggota Gerwani lainnya juga diinstruksikan untuk aktif mencari murid dan melakukan sosialisasi. Terbukti, setelah kegiatan anjangsana dan digelar suatu resepsi pembukaan, jumlah pendaftar bertambah banyak.

Aspek lain yang menjadi sorotan Gerwani adalah mengusahakan guru atau pengasuh. Bagi kota-kota besar, menyediakan guru bukanlah persoalan sulit karena banyaknya lulusan Sekolah Guru TK negeri maupun swasta. Namun, di kota-kota kecil dan terlebih di desa-desa, kondisinya sama sekali berbeda.

Oleh karena itu, TK Melati di kota kecil dan desa akan diasuh oleh lulusan Sekolah Rakyat. Sebelum mengajar, mereka mendapat pembekalan teori dan praktik ilmu mendidik dalam kursus-kursus guru TK.

Kursus guru TK semacam itu dapat membantu kelancaran kegiatan TK Melati. Kursusnya dilaksanakan dalam waktu singkat, sekira tiga atau enam bulan. Setelah mengikuti kursus, mereka diarahkan untuk bertukar pikiran dengan guru senior atau belajar dari TK lain yang sudah berpengalaman. Mereka juga diikutkan dalam kursus-kursus lanjutan.

Penyelenggara TK Melati menekankan kepada seluruh pengasuh untuk menjalin relasi yang baik dengan orang tua murid. Hal ini dilakukan untuk menjamin mutu sekaligus menjaga wibawa Gerwani. Kemudian, penyelenggara juga rutin mengadakan pertemuan guru-guru yang bernaung dibawah pimpinan Cabang Gerwani.

Gerwani juga amat diperhatikan oleh Gerwani adalah soal administrasi. Seluruh TK Melati diatur dalam pola administrasi yang seragam dan rapi. Setiap siswa yang terdaftar memiliki nomor induk dan datanya dicatat lengkap. Penyelenggara juga memiliki buku keuangan, buku absen, buku inventaris, buku pemakaian alat-alat, hingga buku tamu.

Segera terlihat bahwa TK Melati ini lebih serius daripada sekadar program untuk menggaet simpatisan.

Infografik TK Melati

Infografik TK Melati Komitmen Gerwani Memberantas Buta Huruf. tirto.id/Quita

Bergulat dengan Gaji Rendah

Pada kenyataanya, tidak semua guru bersedia mengajar di TK Melati karena tawaran gajinya rendah. Para pengasuh atau guru TK di kota umumnya menerima gaji sekira Rp200 per bulan. Sementara itu, guru TK di desa ada yang menerima hanya Rp15—sekedar sebagai tanda penghargaan saja.

“Keadaan serba kekurangan dan kemampuan membayar uang sekolah dari orang tua murid yang sangat rendah itu memang memerlukan kesadaran bagi para pengasuh atau guru Taman Kanak-kanak kita, bahwa mengajar di TK Melati adalah satu bentuk perjuangan, oleh karenanya harus turut bertanggung jawab dan berusaha untuk kelancarannya, memerlukan pengorbanan tenaga dan pikiran, berarti turut serta mengamalkan dharma bhaktinya guna membela hak anak-anak dan kemajuan bangsa pada umumnya,” tulis DPP Gerwani dalam dokumen “Pengarahan DPP Gerwani mengenai pengorganisiran Taman Kanak-kanak Melati”, (ANRI, nomor arsip: 704).

Meski harus bergulat dengan gaji rendah, penyelenggara dan guru TK Melati amat memerhatikan kebutuhan gizi siswanya. Untuk urusan ini, para pengasuh TK Melati diinstruksikan membangun kerja sama dengan Djawatan Kesehatan (sekarang Dinas Kesehatan) setempat.

Usaha ini ditempuh agar siswa TK Melati mendapat pemeriksaan kesehatan setiap dua minggu atau sebulan sekali, menjaga ketersediaan obat-obatan, dan mendapat jatah pembagian susu dan bubur kacang hijau.

Selain menjadi lembaga pendidikan, TK Melati juga difungsikan sebagai tempat penitipan anak bagi orang tua pekerja. Perkembangan TK Melati juga bisa dibilang cukup pesat. Harian Rakjat (26 Oktober 1961) melaporkan, sekira 605 TK Melati telah berdiri sebelum 1961 berakhir.

Jumlahnya terus meningkat dari tahun ke tahun. Pada 1963, Harian Rakjat (17 Oktober 1963) menyebut bahwa TK Melati telah berkembang jadi 1374 sekolah. Saskia Eleonora Wieringa dalam Penghancuran Gerakan Perempuan di Indonesia (1999, hlm. 415) menyebut, pada 1964—setahun sebelum riwayat Gerwani tamat gara-gara pecahnya G30S 1965, TK Melati telah berkembang hingga 1.500 sekolah.

==========

Faishal Hilmy Maulidaadalah alumnus Program Studi Ilmu Sejarah Universitas Negeri Malang dan menyelesaikan studi magister di Departemen Ilmu Sejarah Universitas Indonesia. Bukunya yang telah terbit adalah Sejarah Pemilu yang Dihilangkan: Pemilihan Umum dalam Kemelut Politik Indonesia Tahun 1950-an (2020).

Baca juga artikel terkait GERWANI atau tulisan lainnya dari Faishal Hilmy Maulida

tirto.id - Pendidikan
Penulis: Faishal Hilmy Maulida
Editor: Fadrik Aziz Firdausi