tirto.id - Pada 1929, penulis asal Hungaria bernama Frigyes Karinthy menulis esai berjudul "Chain-Links" yang di dalamnya menyebut bahwa Bumi menyusut.
"Penyusutan Bumi terjadi karena denyut nadi komunikasi fisik dan verbal yang kian cepat. Setiap orang di Bumi, atas kehendak saya atau siapapun, sekarang dapat mengetahui pikiran atau apa yang sedang saya lakukan hanya dalam tempo beberapa menit," tulisnya.
Meskipun menyinggung perkembangan komunikasi sebagai biang penyusutan Bumi, Karinthy tak berbicara soal telegram atau teknologi komunikasi apapun yang tengah berkembang saat itu. Dalam esainya, ia mengajukan konsep bertajuk "six degree" sebagai pangkal utama menyusutnya Bumi.
Menurut konsep ini, Bumi yang kala itu diisi 1,5 miliar jiwa, setiap orang hanya butuh lima pengantar atau pihak ketiga untuk terhubung dengan siapapun, di manapun. Hal ini ditanggapi sosiolog asal Amerika Serikat bernama Stanley Milgram pada 1967 yang menganggap hipotesis Karinthy benar.
Memanfaatkan komputer dalam upaya menghubungkan sosok acak asal Nebraska dengan sosok acak lainnya asal Boston dalam kerangka penelitian berjudul "small world problem", Milgram menyebut bahwa setiap orang di dunia rata-rata hanya butuh 5,2 penengah untuk terhubung dengan siapapun di seluruh dunia.
Pada 1993, konsep yang diajukan Karinthy diadaptasi menjadi film fiksi berjudul Six Degrees of Separation.
Empat tahun kemudian, dalam upaya mengindeks seluruh hubungan sosial manusia di satu tempat secara digital, Andrew Weinreich pengacara cum pengusaha asal Amerika Serikat menggunakan konsep tersebut untuk menciptakan media sosial pertama di dunia bernama Sixdegrees.
Karena mensyaratkan surel untuk membuka akun, Sixdegrees tak berkembang sebab hanya secuil masyarakat kala itu yang telah memiliki surel. Tujuh tahun setelah Sixdegress lahir dan hanya untuk tumbang, Mark Zuckerberg melanjutkan tongkat estafet dengan Facebook.
Memanfaatkan konsep itu untuk membangun algoritma bernama social graph yang melekat dalam Facebook, media sosial ini dengan cepat menggurita. Kemudian menjadi salah satu alat utama masyarakat dunia untuk menjaga hubungan sosial mereka.
Hal ini mendorong kemunculan media sosial lain, terutama WhatApp dan Instagram, juga Twitter, Snapchat, dan YouTube. Deretan nama media sosial terpopuler di dunia ini menurut Joanne E. Gray, peneliti media pada Queensland University of Technology, mengkhawatirkan karena semuanya berasal dari Amerika Serikat.
Dalam studinya berjudul "The Geopolitics of 'Platform'" (Internet and Society, Vol. 10 2021), Gray menyebut bahwa terpusatnya media sosial di Amerika Serikat berbahaya. Sebab media sosial adalah "information gatekeeper", menyusun apa yang kita baca dan kita mengizinkan mereka untuk mengontrol apa yang kita baca demi kepentingan mereka.
Media sosial juga merupakan tempat ide, gagasan, dan nilai-nilai keekonomian bertautan. Karena pelbagai media sosial terpopuler berada di Amerika Serikat, maka negara ini dapat dianggap sebagai pemiliknya lewat sederet aturan/hukum yang dimiliki yang dapat dipaksakan digunakan pada pelbagai media sosial.
Kepemilikan ini, tegas Gray, "membuat Amerika Serikat dapat mengekstraksi nilai ekonomi, menentukan norma dan ideologi yang boleh atau tidak boleh, dan memanfaatkannya untuk kepentingan politik luar negeri."
Hal ini, menurut Gray, sangat tidak demokratis dan anti persaingan dalam dunia media sosial.
"Tak aneh, kala TikTok muncul dan kemudian populer, Amerika Serikat berang," imbuhnya.
Ya, mereka marah karena TikTok bukan perusahaan asal Amerika Serikat, melainkan aplikasi buatan China yang lokasinya tak terjamah seperangkat aturan milik Paman Sam.
Ketakutan Amerika Serikat
Berangnya Amerika Serikat terhadap TikTok yang menggoyang kekuasaan sebagai "information gatekeeper" tak muncul begitu saja.
Jika Facebook dan media sosial lainnya bekerja memanfaatkan konsep six degree yang diterjemahkan melalui algoritma social graph, yang mengharuskan penggunanya menekan tombol "follow", maka TikTok berbeda.
Aplikasi ini tak terlalu peduli dengan koneksi sosial, melainkan hanya berpaku pada kesenangan pengguna yang diterjemahkan dengan pembentukan algoritma baru media sosial, yakni interest graph.
Agar interest graph bekerja sesuai harapan, TikTok menjaring data penggunanya dalam variabel yang lebih besar dan lebih banyak. Sebagai contoh, pada detik saat pengguna menggeser layar hp ke atas (swipe-up) pada sebuah video pendek yang direkomendasikan TikTok.
Jika swipe-up dilakukan cepat, TikTok akan merekomendasikan video dengan tema lain. Sebaliknya, jika swipe-up dilakukan perlahan, maka TikTok akan menyajikan video dengan tema serupa untuk membentuk "tema kesenangan pengguna", lalu coba diberikan kepada pengguna lain. Praktik ini dianggap tidak pantas oleh Amerika Serikat.
Dalam pernyataan yang diberikan Robert O'Brien selaku Penasihat Keamanan AS pada Pemerintahan Presiden Donal Trump tanggal dalam acara yang diselenggarakan Arizona Commerce Authority tanggal 24 Juni 2020, Amerika Serikat khawatir data pengguna bervariabel besar yang dijaring TikTok jatuh ke tangan Pemerintah China.
"Ketika Partai Komunis China tidak dapat membeli data Anda, ia mencurinya [...] Bagaimana Partai Komunis China akan menggunakan data ini? Dengan cara yang sama ia menggunakan data di dalam perbatasan China: untuk menargetkan, menyanjung, membujuk, memengaruhi, memaksa, bahkan memeras individu untuk mengatakan dan melakukan hal-hal yang melayani kepentingan partai," terangnya.
Tak berselang lama, benih yang ditanam O'Brien menggurita. Amerika Serikat benar-benar ingin memblokir TikTok. Bahkan kala kekuasaan telah berganti, dari Trump ke Joe Biden. Yang terbaru, pada awal tahun ini, Pemerintahan Presiden Joe Biden tengah mencoba meloloskan aturan yang ditujukan khusus untuk memblokir TikTok dan perusahaan China serupa lainnya.
Padahal dalam asesmen yang dilakukan CIA pada 2020, meski CIA tak menyanggah kemungkinan Pemerintah China dapat mendulang data warga Amerika Serikat melalui TikTok, tidak ada bukti Xi Jinping mengekstrak data dari aplikasi ini.
Merujuk hasil penelitian Palomba Donzelli dalam "Misinformation on Vaccination" (2018), M. Burdon dalam "Digital Data Collection and Information Privacy Law" (2020), dan P. Maayan dalam "Accountability in Algorithmic Copyright Enforcement" (2016), disebutkan bahwa semua media sosial di seluruh dunia menjaring data pengguna dalam jumlah keterlaluan dan sukar diketahui bagaimana privasi ditegakkan oleh pelbagai media sosial itu.
Artinya, jika Amerika Serikat menggunakan alasan privasi untuk mencengkeram TikTok, maka seharusnya semua media sosial diblokir.
Dalam memahami sikap Amerika Serikat terhadap TikTok, memang alasan privasi bukan yang utama. Merujuk penuturan Yudhijit Bhattacharjee dalam "A New Kind of Spy" (The New Yorker, April 2014), ketakutan adalah jawabannya.
AS takut China dapat mengejar atau bahkan lebih unggul kehebatannya di bidang teknologi. Terlebih, apabila proses kejar-mengejar di bidang teknologi ini dilakukan China dengan mencuri teknologi-teknologi milik AS.
Mereka khawatir jika langkah China seperti Uni Soviet yang berhasil membangun bom atom setelah Klaus Fuch, salah satu ilmuwan yang bekerja dalam Proyek Manhattan, ditangkap dan dijadikan mata-mata oleh Kremlin.
Langkah Aktif China
Bagi AS, ketakutan terhadap China, khususnya tentang mencuri pengetahuan, begitu nyata. Sejak 1940-an, Partai Komunis China diketahui mulai mengumpulkan informasi strategis dari luar negeri.
Institut Informasi Ilmiah dan Teknis yang didirikan pada 1958 memperoleh ribuan dokumen asing dan menerjemahkannya ke dalam bahasa China. Pejabat dan akademisi menghadiri konferensi di Eropa dan AS guna membuat catatan pada diskusi panel, mengobrol dengan peserta lain, menguping, dan kadang-kadang mencuri laporan yang tidak dipublikasikan.
Pada pertengahan 1960-an, Pemerintah China memiliki akses ke sebelas ribu jurnal asing, lima juta paten asing, dan beberapa ratus ribu laporan penelitian, termasuk prosiding konferensi dan disertasi.
Pada Maret 1986, China mendirikan Program Riset dan Pengembangan Teknologi Tinggi Nasional. Program ini mengidentifikasi tujuh bidang sasaran untuk pengembangan, yakni ruang angkasa, bioteknologi, teknologi laser, teknologi informasi, otomasi, energi, dan bahan bakar baru.
Pemerintah China mensponsori penelitian di bidang tersebut dan mendirikan perusahaan milik negara untuk mengembangkan atau mengimpor teknologi yang relevan. Jika memungkinkan, perusahaan-perusahaan ini memperoleh produk baru dengan berkolaborasi dengan perusahaan Barat dan membeli kekayaan intelektual yang mereka inginkan.
Ketika tidak ada satu pun dari metode itu yang memungkinkan, pemerintah melakukan spionase. Kementerian Keamanan Negara dan dinas intelijen militer melatih mata-mata dan mengirim mereka ke AS dan Eropa.
Mereka juga merekrut ilmuwan, insinyur, dan profesional kelahiran China lainnya yang kebetulan tinggal di luar negeri, terutama yang memiliki izin keamanan atau akses ke rahasia dagang.
Dalam merespons langkah China , pada 1996 Pemerintahan Bill Clinton meloloskan aturan bertajuk Economic Espionage Act, lalu diteruskan dengan China Initiative di bawah kendali Trump pada 2018.
Ratusan peneliti dan pekerja teknologi kelahiran China yang bekerja di pelbagai instansi/perusahaan AS, lewat aturan main tersebut, ditangkap. Salah satunya adalah Greg Chung alias Dongfan Chung, kontraktor Boeing di bidang teknik yang bekerja membantu penciptaan Pesawat Ulang Alik NASA yang ketahuan menyimpan dokumen-dokumen penting soal teknologi luar angkasa dan memberikannya pada Pemerintah China.
Ketakutan dan fakta di lapangan tentang banyaknya keturunan China yang menggondol kekayaan teknologi AS membuat Paman Sam akhirnya tak segan mencoba memblokir TikTok. Namun sejauh ini, belum ada bukti akurat soal ketakutan ini dieksploitasi Pemerintah China via TikTok.
Editor: Irfan Teguh Pribadi