tirto.id - Setelah album debut The Piper at the Gates Dawn (1966) yang berwarna brit-rock, Pink Floyd mulai menemukan kegilaan lewat musik-musik psikedelik dan opera ruang angkasa.
Album-album macam A Saucerful of Secrets (1968), Ummagumma (1969), Atom Heart Mother (1970), dan Meddle (1971) menjadi bukti. Komposisi panjang yang didasarkan pada eksplorasi melodi serta riff merupakan senjata utama mereka, yang kemudian menjadi signature musikalitas Pink Floyd di era-era berikutnya. Sikap penolakan terhadap pop itu kemudian dirayakan sebagai momentum bangkitnya rock progresif pada periode 1970an.
Namun, Pink Floyd jengah dengan segala kreasi yang diklaim bernapaskan ruang angkasa tersebut. Roger Water, pentolan Pink Floyd, menyebut bahwa definisi “musik luar angkasa” yang disematkan orang-orang dan media kepada mereka “merupakan lelucon.” Menurutnya, musik Pink Floyd bukan tentang luar angkasa, melainkan soal “relasi manusia dan ruang yang dalam.”
Niat itu lantas dibuktikan pada 1971. Pink Floyd, seperti dicatat Newsweek, begitu bersemangat untuk melepaskan moniker “ruang angkasa” yang melekat pada musik mereka. Waters berpikir bagaimana caranya menciptakan musik yang bisa merepresentasikan ide-ide tentang kehidupan sehari-hari dibanding sekedar penggambaran psikedelik tentang perjalanan antar-bintang, seperti yang dipersepsikan khalayak.
Ditambah lagi, ia masih terganggu oleh nasib kawannya, Syd Barrett, yang ditelan ketergantungan LSD serta gangguan kesehatan mental. Syd sendiri merupakan mantan frontman Pink Floyd yang dikeluarkan dari band pada 1968. Ia melakukan tindakan indisipliner sebagai imbas dari tabiatnya yang suka bereksperimen dengan obat-obatan.
“Syd telah jadi kekuatan kreatif Pink Floyd di masa-masa awal. Dan saat ia mengalah skizofrenia, hal itu merupakan pukulan yang besar,” kata Waters. “Lebih dari itu, rasanya sangat kompleks ketika melihat teman dekat sendiri yang mengenal kehidupanmu selama bertahun-tahun terjerat masalah kemampuan mental.”
Kedua faktor itu kian menebalkan keyakinan Waters—yang berperan jadi pemimpin band definitif—untuk membawa Pink Floyd ke babak selanjutnya. Tak lama kemudian, mereka berkumpul di kediaman sang drumer, Nick Mason, untuk membahas konsep album yang baru.
“Aku ingat waktu itu sedang duduk di dapurnya sembari menjelaskan ide soal album baru,” paparnya seperti ditulis John Harris dalam The Dark Side of the Moon: The Making of the Pink Floyd Masterpiece (2006).
Ide mengenai album baru yang dibawa Waters adalah soal dinamika kehidupan; perjalanan, kematian, uang, hingga kegilaan-kegilaan lainnya. Anggota lain lalu mengembangkannya secara kolektif. Ia berharap bahwa album tersebut mampu menyampaikan sesuatu dengan jelas—tidak abstrak serta mengawang layaknya album-album terdahulu.
Setahun setelahnya, cetak biru materi album baru Pink Floyd jadi dan siap dieksekusi. Mereka menamainya dengan Dark Side of the Moon: A Piece for Assorted Lunatics. Namun, nama itu direvisi lantaran band lain, Medicine Head, menggunakan nama yang sama. Akhirnya, mereka memutuskan untuk menggantinya dengan Eclipse—sebelum akhirnya mereka ubah kembali dengan nama semula.
Proses rekaman dimulai pada Mei 1972 di studio Abbey Road. Pink Floyd menggandeng produser Alan Parsons. Anggota band merasa proses pembuatan album begitu ketat dan serius. Sedangkan Parsons sendiri menyatakan bahwa rekaman berjalan santai.
“Kami bekerja dengan melihat situasi dan kondisi yang terjadi pada hari itu,” ujarnya. “Kalau malam itu ada pertandingan sepakbola, kami akan selesai lebih awal. Jika malam itu ada pertunjukan Monty Phyton, kami juga akan melakukan hal yang sama. Tapi, ketika mereka sudah sangat sering berhenti rekaman hanya untuk menonton Monty Phyton, maka aku harus turun tangan.”
Setelah berbulan-bulan larut dalam proses produksi, album TheDark Side of the Moon akhirnya selesai juga. Nomor-nomor yang termuat dalam album ini antara lain “Money,” Us and Them,” “Time,” sampai “On the Run.” Pada 1 Maret 1973, Dark Side secara resmi dirilis ke pasaran dan memperoleh tanggapan positif dari kritikus, pasar, serta masyarakat.
Tercatat, Dark Side meraih status penjualan platinum lebih dari 15 kali, duduk di tangga lagu Billboard selama 736 minggu, dari 1973-1988, hingga dirayakan puluhan sampai ratusan ribu orang dalam konser-konser yang diadakan.
“Aku pikir ini adalah pertanda yang bagus,” ucap Waters suatu ketika. “Kami pasti punya sesuatu di sini.”
Respons Dinamika Global
Mendengarkan Dark Side of the Moon ibarat sedang melakoni perjalanan yang panjang. Menyusuri rimba kehidupan dengan segala masalahnya yang membuat kita memalingkan muka atau merefleksikan keadaan yang ada—dan mencari jalan keluarnya.
Masing-masing lagu punya keterhubungan satu sama lain. Ada benang merah yang mengikat lagu-lagu tersebut menjadi satu hal yang utuh, kompleks, serta bersenyawa dengan bermacam rupa tafsirannya.
Harapan Waters untuk membuat album yang realis, dekat dengan kondisi sekitar, dan tak mengawang berhasil dibuktikan. Delapan lagu yang termuat dalam Dark Side adalah contoh ketika semua masalah yang ada di dunia ini dirangkum lewat permadani nada serta harmoni yang bertautan begitu indah juga megah.
Phil Rose, pengajar Departemen Ilmu Komunikasi di York University, dalam Roger Waters and Pink Floyd: The Concept Albums (2016) menyatakan lima album yang dirilis Pink Floyd dalam kurun waktu 1972-1983, termasuk di dalamnya Dark Side, merupakan album konsep yang bergerak melampau ekspektasi. Kelimanya adalah album anti-perang, anti-penindasan, dan anti-anti lainnya yang mengesankan.
“Album Dark Side telah membuktikan bahwa album konsep tak semestinya sebatas nampak koheren secara tekstual, tetapi juga mampu membuat pendengar merasa terintegrasi dengan apa yang disajikan di dalamnya. Dark Side adalah album musikal yang punya sensasi. Memaksa pendengar cemas, terkesan, dan berpikir dalam satu waktu mengenai apa yang bergumul dalam dunia. Dengan lirik-lirik yang memukau ditambah komposisi yang dinamis lagi tertata rapi, Dark Side berhasil diterima dan efektif dalam menyampaikan pesan,” tegas Rose.
Secara musikalitas pun Dark Side bisa dibilang begitu mempesona. Album yang disusun dengan banyak komponen, tak cuma dari alat-alat musik utama, tetapi juga melibatkan rekaman audio percakapan, gelak tawa, teriakan tragis, bunyi mesin kasir, dentangan koin, sampai deru mesin sampling yang terdengar seperti serangan pesawat luar angkasa ke bumi.
Masing-masing elemen di atas bisa Anda simak sejak nomor pembuka berjudul “Speak to Me” yang berisikan bunyi mirip detak jantung, suara tangis, hingga obrolan dua orang yang bersautan. Yang ada dalam “On the Run" terdengar lebih sadis lagi: napas ketakutan, langkah lari, serta ledakan pesawat yang menggelegar. Tak ketinggalan, di “Time” ada ketukan jarum jam membuka awal lagu sebelum disambut dengan pukulan perkusi Mason yang eksotis.
Keberadaan elemen-elemen tambahan tersebut kian melengkapi fondasi lagu yang lebih dulu dibuat secara dahsyat oleh Pink Floyd. Ibarat kata, elemen tambahan ini hanya memoles hal yang sudah nampak bagus. Walhasil, yang tersaji kemudian adalah kombinasi maut antara bebunyian minor dengan komposisi yang dikonstruksi sedemikian rupa—melodi panjang, cabikan bas yang ritmis, solo organ yang magis, dan gebukan drum yang sederhana—oleh Pink Floyd.
Dengan landasan musik semacam itu, bisa dibilang Pink Floyd tak kesulitan menyampaikan apa yang disebut Waters sebagai “tekanan kehidupan modern yang mengarah pada kegilaan.” Terlebih, setiap musik mewakili konteks yang hendak disampaikan ke khalayak.
“Kami pikir kami bisa menyampaikan semuanya lewat album ini mengingat kami punya pengalaman tersendiri mengenai tekanan hidup. Tekanan yang menghasilkan kegilaan seperti gila uang, gila waktu, agresi, kekuasaan yang terstruktur, politik, kekerasan, sampai agresi,” kata Waters seperti dikutip Nicholas Schaffner dalam Saucerful of Secrets: The Pink Floyd Odyssey (1991).
Album yang Mengawali Kehancuran
“Kami seharusnya tak kembali ke studio begitu cepat setelah Dark Side selesai dibuat,” ujar Mason kepada Brian Hatt dari Rolling Stone dalam “Pink Floyd: Journey to Dark Side.” “Kami seharusnya melakukan tur lebih dulu.”
Ada nada penyesalan yang keluar dari mulut Mason. Meski sukses besar, Dark Side rupanya mendorong Pink Floyd ke titik terendah dalam karier mereka—selain problemnya dengan Syd—berupa keretakan internal. “Tak seharusnya seperti ini,” atau “Tak semestinya seperti itu,” mungkin menjadi pernyataan yang bergentayangan di pikiran Mason dan juga anggota lainnya seperti David Gilmour maupun Richard Wright.
Namun, semuanya telanjur terjadi. Masalah dalam tubuh Pink Floyd tak bisa diredam dan tinggal menunggu waktu untuk meledak kapan saja. Semua disinyalir berasal dari satu sumber: sikap Roger Waters.
Waters-lah yang menjadi pemimpin definitif Pink Floyd setelah Syd dikeluarkan dari band. Dengan ‘status’ sebagai kepala band, diandaikan bahwa Waters merupakan pihak yang bertanggungjawab atas semua hal terkait Pink Floyd: dari masalah kreatif hingga personal.
Namun, seiring waktu, Waters berubah otoriter. Ia beranggapan Pink Floyd mesti berjalan sesuai kehendaknya. Sikap semacam inilah yang membuat anggota lain merasa tak senang. Mereka menilai seolah-olah yang punya tanggungjawab dan berhak menentukan apa yang bisa atau tidak dilakukan Pink Floyd hanyalah Waters semata.
“Mungkin saja band bisa berlanjut jika semua anggota memutuskan untuk melakukan hal-hal sesuai keinginan Roger,” kata Mason. “Tapi, mungkin saja Roger sudah melampaui band.”
Dari sini, intrik dan konflik antar personel pun bermunculan. Saat pembuatan The Wall, misalnya, Waters bertengkar dengan Wright. Pertengkaran tersebut berujung keluarnya Wright dari Pink Floyd. Gilmour dan Mason yang melihat situasi itu semakin tak bisa mentolerir aksi Waters.
“Ia ingin jadi tokoh sentral,” kata Gilmour. “Itulah yang benar-benar diinginkannya. Menjadi tokoh kunci. Aku merasa, dan begitu pula dengan Nick, bahwa itu bukanlah hal terbaik. Kami merasa, di tengah produktivitas yang ada, Roger harus mundur sedikit, lebih terbuka dengan masukan anggota lain. Bukan malah mendorong kami duduk dan bersandar padanya seolah kami harus dan butuh untuk dijaga.”
Pada 1985, konflik mencapai akumulasi. Waters memutuskan keluar setelah merasa semuanya tak berjalan dalam satu visi. “Cerita yang menyebut bahwa aku keluar karena keinginanku sendiri hanyalah omong kosong,” tegasnya kepada David Fricke dalam “Pink Floyd: The Inside Story.”
Kepergian Waters tak membuat Pink Floyd limbung. Gilmour dan Mason terus melanjutkan kiprah Pink Floyd. Termasuk membuat dua album A Momentary Lapse of Reason (1984) dan The Division Bell (1994) hingga akhirnya pada 1994, Pink Floyd memutuskan berhenti berjalan usai melangsungkan tur.
Editor: Maulida Sri Handayani