Menuju konten utama

Roger Waters, Palestina, dan Lirik Antiperang dalam Lagu Pink Floyd

Roger Waters sudah jadi aktivis antiperang sejak remaja. Membawa semangat antiperang ke beberapa lagu Pink Floyd.

Roger Waters, Palestina, dan Lirik Antiperang dalam Lagu Pink Floyd
Musisi Inggris Roger Waters, yang merupakan salah satu anggota pendiri band 'Pink Floyd', berpose untuk foto-foto dengan latar babi tiup dan Pembangkit Listrik Battersea untuk mempromosikan partisipasinya dalam protes "bebas Assange" yang berlangsung pada hari Sabtu, di London, Jumat, 21 Februari 2020. AP/Matt Dunham

tirto.id - Suatu kali pada 2006, George Roger Waters dapat undangan untuk tampil di ibu kota Israel Tel Aviv. Orang-orang Palestina dari gerakan boikot akademis dan budaya Israel meminta Roger untuk mempertimbangkan kembali undangan itu. Mereka juga meminta Roger berkunjung ke wilayah Palestina yang diduduki Israel sebelum memutuskan untuk berangkat atau tidak.

Roger setuju. Di bawah perlindungan PBB, Roger pun mendatangi Kota Yerusalem dan Betlehem. Di salah satu sudut kota suci tiga agama itu, Roger mendapati suatu lanskap yang sangat mengganggunya: tembok tinggi dan panjang.

Roger melihat serdadu-serdadu muda Israel menjaga tembok itu. Roger jadi tak nyaman karena mendapat perlakuan kasar dari para serdadu muda itu. Dan lagi, tembok itu berkelindan dengan penderitaan orang-orang Palestina karena pendudukan Israel. Roger jadi gelisah memikirkan hal itu.

“Jika saya yang cuma orang asing, pelancong pun, diperlakukan seperti itu, bayangkan bagaimana jadinya bagi orang Palestina, bagi kelas bawah,” tulis Roger dalam esainya untuk The Guardian.

Terdorong oleh rasa solider, Roger menulis pesan di tembok itu: “Kami tidak butuh kendali pikiran”.

Jauh sebelum momen itu, pada 1979, Pink Floyd—band rock tempat Roger pernah bergabung—merilis album The Wall. Another Brick in the Wall Part II, salah satu lagu di album itu, sempat dilarang oleh Pemerintah Afrika Selatan pada 1980. Pasalnya, lagu ciptaan Roger itu dinyanyikan oleh anak-anak kulit hitam Afrika Selatan untuk menuntut haknya atas pendidikan dan kesetaraan.

Pada 2005, bocah-bocah Palestina menyanyikannya dalam sebuah festival untuk memprotes pembangunan tembok Israel di Tepi Barat. Bocah-bocah itu mengubah sebaris lirik lagu itu agar sesuai dengan tuntutannya. Mereka menyanyi, “We don't need no occupation! We don't need no racist wall!

Pada akhirnya Roger memutuskan untuk membatalkan konsernya di Tel Aviv. Roger menyadari kehadirannya di Tel Aviv secara tidak langsung berarti membenarkan pendudukan Israel atas Palestina. Dia pun memindahkan panggung konsernya ke Neve Shalom—daerah pertanian yang dikenal sebagai tempat warga Kristen, Islam, dan Yahudi hidup berdampingan dalam damai.

Semula, Roger tak pasang ekspektasi tinggi konsernya itu akan dipadati penonton. Tapi, konser itu dikabarkan dihadiri 60 ribu orang.

“Itu sangat mengharukan bagi kami. Di akhir konser, saya menyeru para pemuda yang berkumpul di sana untuk menuntut pemerintah mereka berdamai dengan Palestina dan menghormati hak-hak sipil orang Palestina yang tinggal di Israel,” tulis Roger.

Roger dan Tembok

Yang terjadi pada tahun-tahun setelah itu ternyata jauh dari harapan Roger. Pada akhir 2008, Israel melancarkan serangan terhadap Gaza. Lalu, pada pertengahan 2010, Israel memblokade segala bantuan kemanusiaan untuk warga Palestina. Tentara Israel bahkan dilaporkan menembaki kapal Mavi Marmara yang membawa bantuan kemanusiaan ke Palestina.

Tindakan Israel yang membuat rakyat Palestina sengsara itu menggerakkan Roger masuk studio. Dia lantas membuat versi baru dari lagu gospel We Shall Overcome. Versi orisinal lagu itu sering pula dipakai untuk menyurakan protes. Sebelum Roger, penyanyi folk Joan Baez pernah pula meluncurkan versinya atas lagu itu pada 1963.

Bukan sekali itu saja Roger menjadi “pembenci tembok”. Sebelumnya, pada 1990, Roger mengadakan The Wall Concert di Berlin. Konser itu digelar tak berapa lama setelah runtuhnya Tembok Berlin dan reunifikasi Jerman. Sebagaimana tajuk konsernya, Roger membawakan seluruh lagu dari album The Wall.

Pada 2017, Roger dikabarkan berniat menggelar konser serupa itu di perbatasan Amerika Serikat dan Meksiko. Konser itu hendak memprotes wacana pembangunan tembok untuk membatasi masuknya imigran yang dilontarkan oleh Donald Trump.

“Harus ada protes terhadap kebijakan sayap kanan macam itu. Musik adalah media yang sah untuk mengekspresikan protes dan musisi memiliki hak mutlak, bahkan kewajiban, untuk memprotes,” kata Roger sebagaimana dikutip laman NME.

Trump pun bukan kali itu saja jadi sasaran protes Roger. Ketika Trump masih jadi calon Presiden Amerika Serikat mewakili Partai Republik, dalam sebuah konser Roger di Meksiko pada akhir 2016, gambar Trump dimunculkan saat lagu Pigs (Three Different Ones) dimainkan.

Antiperang Sejak Bocah

Roger Waters yang lahir di Inggris pada 6 September 1943 adalah seorang musisi idealis dengan ego besar. Dalam band legendaris Pink Floyd, dia memetik bass, menyanyi, memainkan alat musik lain, dan juga menulis lagu. Bagi gitaris Pink Floyd David Gilmour, Roger adalah kawan yang cukup menyebalkan.

Puncak ego Roger di Pink Floyd terlihat dalam The Final Cut (1983). Itu adalah album terakhir Roger bersama Pink Floyd. Untuk ukuran band sebesar Pink Floyd, album ini tidak begitu sukses dan angka penjualannya pun rendah.

Semua lagu dalam album itu ditulis dan dinyanyikan oleh Roger. Ego besar Roger dalam proses pembuatan album ini membuat jengkel David Gilmour. Mereka berdua berseteru dan Roger pun memilih berkarier solo setelah itu.

Infografik Roger Waters

Infografik Roger Waters. tirto.id/Quita

Terlepas dari konflik itu, Roger memaksudkan The Final Cut sebagai penghormatan untuk Letnan Eric Fletcher Waters. Dia tak lain adalah ayah kandung Roger. Sang ayah adalah anggota Royal Fuselier, resimen infanteri Angkatan Darat Kerajaan Inggris. Letnan Eric gugur dalam sebuah pertempuran di Anzio 39 tahun sebelumnya, kala Perang Dunia II berkecamuk.

Salah satu lagu dalam album itu berjudul The Fletcher Memorial Home. Liriknya menyebut banyak nama pemimpin negara adidaya, mulai dari Ronald Reagan, Brezhnev, Margaret Tatcher, bahkan senator antikomunis Joseph McCarthy.. Tentu bukan untuk disanjung, melainkan disindir habis-habisan. Simaklah sebait lirik usai nama-nama besar era Perang Dingin itu disebut.

Did they expect us to treat them with any respect?

They can polish their medals and sharpen their

Smiles, and amuse themselves playing games for awhile.

Boom boom, bang bang, lie down you're dead.

Roger dibesarkan dalam keluarga penganut komunisme. Sebelum dikirim ke medan perang, ayahnya adalah seorang guru. Begitu pula ibunya, Mary Whyte Waters.

Sang ibu cukup mempengaruhi pemikiran Roger cilik. Sedari kecil, Roger sudah diperlihatkan dengan kampanye antiperang. Ibunya kala itu bergiat dalam gerakan persahabatan dengan Tiongkok.

Di masa remaja, Roger sudah jadi aktivis. Dia tergabung dalam Campaign for Nuclear Disarmament (CND) yang dibentuk pada 1958.

“Roger menjadi ketua bagian remaja dari CND di Cambridge. Bersama Judy (pacarnya), dia ambil bagian dalam pawai anggota CND dari Aldermaston ke London,” tulis Nick Mason dalam Inside Out: A Personal History of Pink Floyd (2011, hlm. 18-19).

Aktivisme dan semangat antiperang itu pun dibawa Roger ke Pink Floyd. Banyak lagu band itu yang kemudian dilambari lirik-lirik antiperang. Dan hingga kini pun, Roger ternyata masih jadi aktivis yang vokal.

Baca juga artikel terkait ROGER WATERS atau tulisan lainnya dari Petrik Matanasi

tirto.id - Musik
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Fadrik Aziz Firdausi

Artikel Terkait