tirto.id - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada 13 April 2018 mengumumkan temuan tindak pidana korupsi di salah satu proyek infrastruktur. Menariknya, tersangka dugaan tindak pidana korupsi yang ditetapkan oleh KPK kali ini bukan perorangan, melainkan korporasi. Tersangka baru itu adalah BUMN PT Nindya Karya.
“[Kasus dugaan tindak pidana korupsi] Ini menjadi kasus pertama yang melibatkan BUMN sebagai tersangka, sebelumnya ini belum pernah terjadi,” kata Laode M Syarif, Wakil Ketua KPK di Gedung KPK.
Nindya Karya diduga melakukan korupsi terhadap proyek pembangunan dermaga bongkar muat pada Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Sabang senilai Rp793 miliar, dan menyebabkan kerugian negara sebesar Rp313 miliar.
Penetapan tersangka terhadap korporasi memang tidak biasanya. Umumnya, penuntutan dan penjatuhan hukuman tindak pidana ditujukan kepada perorangan atau individu. Jarang sekali, suatu korporasi dituntut sebagai pelaku tindak pidana korupsi.
Berdasarkan penelusuran Tirto, sedikitnya ada lima korporasi yang pernah menjadi tersangka korupsi sampai dengan saat ini. Korporasi pertama yang ditetapkan sebagai tersangka tindak pidana korupsi di Indonesia adalah PT Giri Jaladhi Wana pada 2010-2011. Kejaksaan Negeri Banjarmasin yang menyematkan status tersangka pada korporasi itu.
PT GJW terbukti melakukan korupsi pembangunan dan pengelolaan Pasar Sentra Antasari, Banjarmasin. GWJ diwajibkan untuk membayar denda sebesar Rp1,37 miliar oleh Pengadilan Negeri Banjarmasin.
Sementara korporasi pertama yang ditetapkan sebagai tersangka korupsi oleh KPK adalah PT Duta Graha Indonesia. Perusahaan yang sudah berganti nama menjadi PT Nusa Konstruksi Enjinering ini menjadi tersangka korupsi pengerjaan pembangunan rumah sakit pendidikan khusus penyakit infeksi dan pariwisata Universitas Udayana tahun anggaran 2009-2010.
Aturan Baru Bisa Menghukum Korporasi
Sedikitnya jumlah korporasi yang ditetapkan sebagai tersangka memang tidak terlepas dari Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang hanya mengenal subyek hukum orang perorangan, sehingga menyulitkan beracara di pengadilan ketika membuat dakwaan, tuntutan dan putusan terhadap terdakwa korporasi.
“Fakta menunjukkan banyak pengurus korporasi yang dituntut melakukan korupsi, meski begitu sangat sedikit korporasinya dituntut sebagai pelaku korupsi, seperti skandal kasus Bank Century, kasus Hambalang, dan lain-lain,” ujar Hakim Tinggi di Mahkamah Agung Bettina Yahya dikutip dari laman Universitas Gadjah Mada.
Undang-undang No. 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi atau UU Tipikor juga tidak mengatur secara jelas terkait dengan tata cara penanganan perkara tindak pidana korupsi oleh korporasi.
Selain UU belum jelas, aparat penegak hukum kesulitan membuktikan korporasi melakukan tindak pidana korupsi mengingat batasan antara tanggung jawab pengurus korporasi secara personal dengan pengurus korporasi yang bertindak atas nama dan kepentingan korporasi juga tidak begitu jelas.
Namun di penghujung 2016, penanganan tindak pidana terhadap korporasi mulai terang benderang seiring dengan terbitnya Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) No. 13/2016 tentang Tata Cara Penanganan Tindak Pidana oleh Korporasi.
Dalam PERMA, ada tiga hal yang membuat korporasi dapat dipidana. Pertama, mendapatkan keuntungan dari tindak pidana yang dilakukan atas kepentingan korporasi. Kedua, pembiaran terjadinya tindak pidana. Ketiga, tidak mencegah terjadinya tindak pidana.
“Kini, hukuman pidana bisa dijatuhkan kepada pengurus korporasi atau korporasi itu sendiri. Bentuk pidana pengurus berupa pidana penjara. Sedangkan korporasi, bentuk pidananya berupa pidana denda,” tutur pengacara anggota Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) Andi Fanano Simangunsong kepada Tirto.
Nindya Karya sendiri mendapatkan keuntungan dari korupsi proyek pembangunan dermaga bongkar muat pada kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas Sabang. Menurut KPK, Nindya mendapatkan laba sebesar Rp44,68 miliar.
Meski begitu, keuntungan Nindya dari korupsi proyek infrastruktur tersebut sudah diblokir KPK guna kepentingan penanganan perkara. KPK memindahkan dana tersebut ke rekening penampungan KPK. Pemblokiran rekening ini juga merupakan langkah KPK untuk melakukan asset recovery.
Dampak Keuangan
Lantas bagaimana dampak dari pemblokiran rekening dan kasus korupsi tersebut terhadap aktivitas bisnis Nindya?
Menurut Menteri BUMN Rini Soemarno, temuan KPK terhadap kasus korupsi yang menjerat Nindya Karya tidak akan berdampak apapun terhadap perseroan. Alasannya, kasus korupsi tersebut terjadi pada 2006.
“Ini adalah kasus yang terjadi pada manajemen 2006. Jadi bukan di kita sekarang. Yang sekarang, justru saya angkat topi. Dibandingkan dulu, Nindya Karya minus tidak karuan,” katanya dikutip dari Antara.
Dalam lima tahun terakhir ini, kinerja keuangan Nindya relatif cukup positif. Bahkan, kinerja perseroan terbang tinggi di era kepemimpinan Presiden Joko Widodo. Ini juga tidak terlepas dari program percepatan pembangunan infrastruktur.
Pada 2013, Nindya meraup pendapatan sebesar Rp1,81 triliun, naik 12 persen dari realisasi pendapatan 2012 sebesar Rp1,61 triliun. Dari pendapatan itu, Nindya membukukan laba bersih Rp41,66 miliar, naik 30 persen.
Tahun berikutnya, kinerja Nindya agak melempem. Kala itu, perseroan hanya meraup Rp1,88 triliun, naik 4 persen. Sementara untuk laba bersih, perseroan meraup untung Rp44,99 miliar, naik 8 persen.
Pada 2015, pendapatan Nindya melesat hampir dua kali lipat menjadi Rp3,61 triliun dengan laba bersih sebesar Rp68,62 miliar, atau naik 52 persen. Pada 2016, kinerja Nindya kembali ciamik dengan meraup laba bersih Rp180,05 miliar, tumbuh 162 persen.
Tergerusnya Reputasi
Meski proses bisnis Nindya saat ini tidak terpengaruh, kasus korupsi tentu membuat reputasi perseroan menjadi buruk. Bukan mustahil, tergerusnya reputasi dapat berdampak negatif bagi kinerja Nindya Karya di masa mendatang.
“Meski kasus lama, tapi tidak menutup kemungkinan mempengaruhi keputusan mitra bisnis Nindya, dan berdampak terhadap kinerja perseroan ke depannya,” ujar Telisa Aulia Falianty, akademisi bidang ilmu ekonomi dari Universitas Indonesia kepada Tirto.
Menurut Telisa, korporasi yang menjadi tersangka korupsi menandakan tata kelola dari perusahaan tersebut belum berjalan dengan baik. Dengan tata kelola yang belum baik, bisa jadi para mitra bisnis menjadi enggan untuk memakai jasa perusahaan itu.
Di samping itu, isu korupsi tersebut menambah daftar persoalan yang terjadi di perusahaan-perusahaan BUMN, terutama konstruksi. Seperti diketahui, pemerintah sempat memberhentikan sementara proyek infrastruktur, lantaran banyaknya kecelakaan kerja yang dialami BUMN konstruksi.
Namun konsekuensi yang lebih mengkhawatirkan dari kasus korupsi ini adalah tergerusnya kepercayaan publik terhadap pemerintah, khususnya BUMN. Bagaimanapun, pemerintah seharusnya menjadi garda terdepan untuk mencegah tindak pidana korupsi.
Meski kasus korupsi Nindya terjadi pada 2006, temuan KPK ini bisa menjadi cambuk bagi pemerintah untuk terus mendorong tata kelola atau good corporate governance (GCG) secara berkelanjutan. Selain itu, pemerintah juga harus meyakinkan kembali bahwa borok-borok korupsi di tubuh BUMN sudah tidak ada lagi.
Penulis: Ringkang Gumiwang
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti