Menuju konten utama

Teresa Teng Bintang Pop yang Dicintai Dunia tapi Terlarang di Cina

Rezim Komunis di Cina melarang musik Teresa Teng karena dianggap dekaden dan bermuatan pornografi.

Teresa Teng Bintang Pop yang Dicintai Dunia tapi Terlarang di Cina
Teresa Teng. FOTO/wiki.china.org.cn

tirto.id - Perayaan ulang tahun ke-65 Teresa Teng diperingati dalam Google Doodle hari ini, Senin (29/1/2018). Sosoknya sebagai bintang pop mendunia berkat talenta musik yang berpengaruh hingga seluruh Asia, bahkan di Cina. Namun, meski dicintai warganya, Teng justru tak pernah mengunjungi daratan Cina semasa hidupnya.

Beberapa media terbiasa menyebutkan: "Dimana pun ada orang Tionghoa, Anda bisa mendengar lagu-lagu Teresa Teng." Pengaruh penyanyi asal Taiwan itu sangat kuat di Cina. Ia-lah superstar paling awal yang diketahui orang Tionghoa setelah adanya reformasi dan era keterbukaan. Suaranya yang manis, gaun mewah, dan rambut keriting tampak baru bagi mereka.

Teng menjadi pujaan bagi para tentara dan masyarakat Taiwan. Ia kerap menghibur mereka yang berada garis depan ketika mempertahankan posisi defensif di sepanjang selat yang memisahkan pulau itu dari daratan Cina. Patriotisme dan dukungannya terhadap tentara ini didasarkan pada latar belakang keluarganya.

Teng lahir pada 1953, putri seorang prajurit bawah yang telah meninggalkan daratan Cina setelah revolusi kebudayaan. Pada usia 12 tahun, Teng memenangkan kompetisi menyanyi yang membuka jalannya sebagai penyanyi. Ia membuat album pertamanya di usia 16. Masih berusia remaja, dia sudah berada di jajaran industri hiburan Taiwan.

Namun, Teng tetap bekerja keras hingga dapat melakukan perjalanan ke Inggris dan AS untuk belajar. Dia juga pergi ke Jepang dan Hong Kong untuk mengembangkan kariernya. Gadis pintar itu dengan cepat bisa berbicara banyak bahasa. Dia tidak hanya bisa membawakan lagu-lagu Cina dan Kanton tapi juga lagu-lagu bahasa Inggris, Jepang, dan Indonesia. Ia dengan cepat dicintai dunia.

Senyum khas Teng dan kepribadiannya yang menyenangkan membuatnya menjadi pujaan yang melampaui batas waktu dan wilayah. Namun, pesonanya jauh lebih dari sekedar wajah cantik dan suaranya yang indah. Yang membuat Teng lebih istimewa adalah periode saat dia menjadi populer.

Ketika Revolusi Kebudayaan (1966 – 1976) akan berakhir, hiburan utama orang-orang di daratan Cina adalah mendengarkan radio. Musik Teng datang pada waktu itu dan langsung mencuri banyak hati.

Li Zhen, seorang warga Beijing yang buta sejak kecil, pertama kali mendengar lagu Teng sekitar tahun 1978. Dia sangat tertarik dengan suara Teng hingga meminta keluarganya untuk membeli radio.

"Sebelum Teng, semua hanya lagu revolusioner yang dinyanyikan dengan suara lantang untuk menghibur orang. Saya belum pernah mendengar suara seperti miliknya," kata Li, seperti dikutip Global Times.

Di masa jayanya di tahun 1970-an dan 1980-an, Teng adalah salah satu penyanyi terbesar di Asia. Dia terkenal dengan lagu-lagu rakyatnya dan balada romantisnya, termasuk "The Moon Represents My Heart", "I Only Care About You", dan "Tian Mi Mi".

Sayangnya, tidak butuh waktu lama bagi lagu-lagu Teng untuk dilarang pemerintah. Awal 1980-an adalah waktu yang sangat sulit dalam hal kebebasan budaya. Penampilan Teng untuk militer Kuomintang pada tahun 1981 pun membuat situasi semakin buruk.

Beberapa orang dimasukkan ke dalam penjara karena mendengarkan musik Teng yang dianggap "tidak sehat" dan "borjuis." Karena bernuansa romantis, musik Teng dilarang rezim Komunis karena menurut mereka dekaden dan bermuatan pornografi, demikian dilansir Xinhua.

Teng menerima banyak tawaran konser di Cina, yang selalu ditolaknya. Seperti diwartakan The Independent, pada tahun 1987, ia sempat mengungkapkan bahwa masa saat ia konser di Cina akan menjadi hari ketika Komunisme jatuh.

Meskipun tidak pernah memberi pernyataan politis, Teng sangat terpengaruh oleh pembantaian di Lapangan Tiananmen pada 1989. Saat melakukan konser protes Hong Kong sesudahnya, foto menunjukkan bahwa dia mengenakan pakaian santai dengan ikat kepala putih, berbeda dengan gaun berpayet yang sering dipakainya.

Baca juga artikel terkait GOOGLE DOODLE atau tulisan lainnya dari Yuliana Ratnasari

tirto.id - Humaniora
Reporter: Yuliana Ratnasari
Penulis: Yuliana Ratnasari
Editor: Yuliana Ratnasari