tirto.id - Usai Proklamasi Kemerdekaan 1945, Pemerintah Indonesia yang baru terbentuk segera dihadapkan pada masalah pelik kembalinya kolonialis Belanda. Revolusi untuk mempertahankan kedaulatan pun berkecamuk selama 1945-1949. Karenanya, pemerintah pun terpaksa menunda proses pembangunan negara.
Namun, setelah revolusi usai pun, proses pembangunan nasional pun tak lantas bisa disegerakan. Dalam wawancaranya dengan jurnalis Cindy Adams, Sukarno mengenang masa sulit ini dan memberikan analogi yang menarik.
“[…] Rumah yang bernama Indonesia sekarang sepenuhnya berada di tangan kami, tetapi rumah itu sudah sangat rusak. Banyak sekali yang bocor. Jendelanya, pintu-pintunya, atap, dan dindingnya rusak,” tutur Sukarno dalam Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia (2014, hlm. 319).
Metafora kebocoran yang disebut Sukarno itu merujuk pada hancurnya sektor-sektor esensial, seperti infrastruktur, ekonomi, pemerintahan, transportasi, hingga kesehatan.
Khusus di sektor kesehatan, tercatat banyak rumah sakit rusak gara-gara perang. Masalah lain yang juga merintangi adalah minimnya jumlah dokter bumiputra di Indonesia. Ini jelas masalah pelik karena kualitas sumber daya manusia juga turut ditentukan oleh kualitas kesehatannya.
Karenanya, pemerintah pun memasukkan kesehatan sebagai salah satu sektor prioritas pembangunan. Pada awal 1950-an, salah satu fokus pembangunan kesehatan ialah eradikasi penyakit endemik khas Indonesia, diantaranya malaria. Penyakit yang menyebar melalui nyamuk dari genus Anopheles itu sudah sejak lampau jadi momok di Indonesia.
Menurut Menteri Kesehatan Johannes Leimena (menjabat 1947-1956) dalam Kesehatan Rakjat di Indonesia: Pandangan dan Planning (1955, hlm. 37), sekira 30 juta penduduk dilaporkan terjangkit malaria setiap tahun dan rata-rata 120 ribu orang di antaranya meninggal dunia. Bagi Leimena, besarnya angka penderita dan kematian itu sangat menganggu proses pembangunan. Maka pemerintah tidak bisa bertindak lain kecuali melakukan pemberantasan masif.
“[…] Dengan pemberantasan yang baik dapat diduga bahwa secara ekonomis negara dapat terhindar dari economic loss berupa puluhan juta rupiah dan juga dapat terhindar dari loss of manpower yang mempunyai kekuatan potensial yang besar setiap tahunnya,” tulis Leimena.
Program dan Tantangan
Leimena lantas mendirikan Lembaga Malaria dan menjalankan kampanye eradikasi yang bertumpu pada tiga cara, yaitu penyemprotan cairan Dichloro Diphenyl Trichloroethane (DDT), pemberian pil kina kepada warga terdampak, dan pengeringan rawa-rawa. Tapi, praktiknya ternyata tak semudah yang dibayangkan karena terhambat oleh kondisi Indonesia yang rudin.
Leimena lantas mengevaluasi realisasi programnya. Dalam perhitungannya, langkah pemberantasan penyakit setidaknya harus matang dalam tiga aspek: keuangan, personalia, dan material. Dalam soal keungan, pelaksana program musti bijak mengatur alokasi anggaran karena kas negara yang terbatas. Perencanaan keuangan harus dibuat seefektif mungkin untuk mencukupi gaji tenaga medis dan relawan, membeli alat-alat medis, dan hal operasional lainnya.
Setelah mempertimbangkan berbagai aspek itu, Leimena memutuskan untuk memperkuat program penyemprotan cairan DDT. Dalam pertimbangannya, cara ini terbilang lebih cepat, hemat, dan bersifat preventif.
Dalam periode 1950-1956, pemerintah melaksanakan program pemberantasan malaria dengan dukungan dana internasional. Salah satu donornya adalah US Foreign Operations Administration.
Kementerian Kesehatan dalam buku Sejarah Kesehatan Nasional Indonesia: Jilid 2 (1980, hlm. 47) mencatat program pertama itu berhasil melindungi sekitar 2,6 juta penduduk dari malaria. Angka infeksi malaria pada bayi pun dilaporkan turun drastis. Namun, hasil itu masih belum memuaskan jika menilik total populasi Indonesia yang saat itu mencapai lebih dari 50 juta jiwa.
Pemerintah jelas harus memperluas dan mempercepat program penyemprotan DDT. Tapi beberapa tantangan juga muncul di saat yang sama. Sejarawan Vivek Neelakantan dalam Memelihara Jiwa Raga Bangsa: Ilmu Pengetahuan, Kesehatan Masyarakat, dan Pembangunan Indonesia di Era Sukarno (2019, hlm. 133-136) menyebut terdapat tiga permasalahan baru yang menghalangi proses pemberantasan malaria dalam periode tersebut.
Pertama, terkait dengan perubahan epidemiologi. Efektifitas cairan DDT untuk membunuh nyamuk Anopheles perlahan terus berkurang. Kasus ini terjadi pada nyamuk Anopheles sundaicus yang banyak menjangkiti masyarakat pesisir Banyumas dan beberapa daerah di Jawa Timur.
Kedua, terjadi penolakan penyemprotan DDT oleh masyarakat. Penolakan ini diduga kuat karena kelalaian petugas saat menyemprot cairan DDT. Pasalnya, penyemprotan yang salah justru berdampak negatif terhadap kesehatan penduduk dan hewan ternak. Di Jawa Timur, misalnya, banyak warga yang mengeluh hewan ternaknya mati karena semprotan DDT. Karena dianggap merugikan secara ekonomi, warga pun menolak tegas penyemprotan DDT.
Ketiga, operasi pemberantasan yang cenderung Jakartasentris. Anggota-anggota Lembaga Malaria melupakan keragaman geografis, epidemiologi, dan demografi Indonesia. Padahal, tidak semua daerah memiliki kondisi yang sama dengan Jakarta, termasuk juga penyelesaiannya.
Meski begitu, ketiga masalah tersebut tidak serta-merta menghentikan program pemberantasan begitu saja. Program pemberantasan malaria justru semakin masif setelah itu. Pada Januari 1959, Pemerintah Indonesia bahkan menjalin kerja sama dengan WHO, USAID (US Agency for International Development), dan ICA (The International Cooperation Administration of the United States of America).
Program kerja sama itu punya target besar: Indonesia bebas malaria pada 1970. Selain itu, ketiga organisasi internasional itu juga memberikan bantuan finansial dan material dengan jumlah yang bervariasi. Berkat bantuan finansial itu, pemerintah kini dapat menggalakkan penggunaan pil kina untuk pengobatan malaria.
Jalan Menuju Kegagalan
Program kerja sama itu menandai babak baru dalam pemberantasan malaria di Indonesia. Empat tahun kemudian, mulai tercatat hasil yang positif. Program penyemprotan DDT terus meluas di daerah padat penduduk—seperti Jawa, Bali, dan Lampung—dan daerah berisiko tinggi terus meluas. Program ini pun berhasil melindungi hingga 65 juta penduduk.
Pemerintah juga mengubah kecenderungannya yang Jakartasentris dengan membentuk Komando Operasi Pembasmian Malaria (KOPEM) pada 1963. Di bawah KOPEM, pengorganisasian pemberantasan malaria dilakukan dengan mengikutsertakan dan memperhatikan situasi khusus tiap daerah. Selain itu, KOPEM juga memetakan persebaran malaria sesuai dengan karakteristik epidemiologi, geografi, dan demografi.
KOPEM juga aktif melakukan tindakan penyemprotan serta pemberian kina jika ada laporan kasus malaria dari penduduk. Hal ini dilakukan sebagai tindakan intervensi untuk menekan jumlah penderita.
Meski begitu, capaian positif itu mulai mandek dan di ambang kegagalan memasuki 1965. Menurut Neelakantan, makin kebalnya nyamuk terhadap cairan DDT dan penolakan masyarakat masih jadi perintang utama. Lain itu, program ini tersendat karena permasalahan ekonomi dalam negeri yang membuat alokasi anggaran program dan gaji personel lapangan tercukur.
Di saat yang bersamaan, Amerika Serikat justru menarik bantuannya. Kala itu, Amerika Serikat kecewa terhadap sikap politik Presiden Sukarno yang cenderung kekiri-kirian. Hubungan diplomatik Indonesia dan Amerika Serikat pun memburuk gara-gara masalah itu. Sebelumnya, ICA telah lebih dulu mengurangi bantuannya karena rumitnya sistem birokrasi Indonesia.
Kerumitan birokrasi tak hanya bikin kecewa ICA, tapi juga menghambat pelaksanaan pemberantasan malaria di daerah. Pasalnya, untuk mendapatkan alat operasional yang dibutuhkan, pelaksana program daerah musti membuat pengajuan berjenjang kepada pejabat provinsi hingga pemerintah pusat. Pun begitu, proses pengajuan dan administrasi yang ruwet ini membutuhkan waktu berbulan-bulan.
Imbasnya, laju program penyemprotan DDT dan distribusi obat menurun drastis, bahkan sama sekali berhenti di beberapa daerah. ICA juga menerima banyak laporan ihwal penyalahgunaan bantuan oleh dokter-dokter yang tidak bertanggungjawab.
Situasi makin runyam lagi usai pecahnya Peristiwa G30S 1965. Kerusuhan politik yang berlarut-larut selama kurun 1965-1976 akhirnya memaksa program pemberantasan malaria berhenti total.
“Kondisi ini kian diperparah ketika terjadi mobilitas penduduk yang terus berlanjut, ke luar Pulau Jawa yang terjangkit malaria maupun ke Pulau Jawa yang sementara sudah bebas malaria. Dampaknya membuat penyebaran penyakit ini tak terelakkan dan membuat penderita malaria meningkat.” tulis Neelakantan (hlm. 145).
Editor: Fadrik Aziz Firdausi