Menuju konten utama

Tu Youyou Menggali Kitab Medis Kuno Temukan Obat Malaria Baru

Tu Youyou bergabung dengan Proyek 523 bentukan rezim Mao Zedong. Temukan resep kuno qinghao yang lebih efektif dibanding klorokuin.

Tu Youyou Menggali Kitab Medis Kuno Temukan Obat Malaria Baru
Tu Youyou. wikipedia/Bengt Nyman

tirto.id - Hingga awal dekade 1960-an, penanganan standar untuk pasien malaria adalah klorokuin. Namun, pada akhir dekade, parasit Plasmodium menjadi resisten terhadap obat ini. Imbasnya, upaya pemberantasan malaria di seluruh dunia pun terhambat.

Asia Tenggara yang merupakan daerah rentan malaria begitu terpukul karena malaria sedang mewabah. Salah satu negara Asia Tenggara yang kelimpungan dihantam malaria adalah Vietnam. Terlebih, pada saat yang sama, Perang Vietnam sedang berkecamuk.

Pada 1964, lebih banyak tentara Amerika Serikat—sekitar 4-5 kali lipat—yang tewas gara-gara malaria dibanding akibat pertempuran langsung. Pada 1965, dilaporkan sekitar 500 ribu tentara AS mati akibat malaria.

Karenanya, pimpinan militer AS kemudian menetapkan riset obat malaria sebagai salah satu prioritasnya. Penelitian obat itu disebut tak kalah penting dibanding perang itu sendiri. Program riset ini dikoordinasikan oleh Division of Experimental Therapeutics yang berbasis di Walter Reed Army Institute of Research (WRAIR), Washington DC.

“Program ini melibatkan banyak lembaga penelitian dan investasi besar. Namun, hingga 1972, WRAIR gagal menemukan obat antimalaria baru meski telah meneliti lebih dari 214.000 senyawa,” ungkap ahli farmasi Cina peraih Hadiah Nobel 2015 Tu Youyou.

Kondisi tentara Vietnam pun tak kalah mengenaskan dibanding musuhnya. Bagi kedua pihak, malaria adalah ancaman besar yang sulit dijinakkan.

Selama Perang Vietnam berlangsung, Vietnam Utara yang berhaluan sosialis merupakan sekutu dekat Partai Komunis Cina. Pada 1964, Perdana Menteri Vietnam Utara Ho Chi Minh mencoba meminta bantuan Mao Zedong untuk menangani wabah malaria di negerinya.

Mao menyanggupi permohonan Vietnam Utara itu dengan menyatakan, “Memecahkan masalah Anda berarti juga memecahkan masalah kami sendiri.” Pasalnya, Cina pada dasarnya juga menghadapi ancaman malaria yang pelik, terutama di wilayah selatan.

Namun, Mao harus lebih dulu mengatasi kendala minimnya peneliti yang berpengalaman di bidang malaria. Kendala itu sebenarnya adalah buah dari kebijakan Revolusi Kebudayaan yang dicetuskannya sendiri.

Di era Revolusi Kebudayaan, semua penelitian harus dijalankan sesuai dengan panduan revolusi. Rezim Mao lantas menyingkirkan atau bahkan mengeksekusi para ilmuwan yang berpendidikan Barat dan dicap terlalu “kanan”. Gara-gara kebijakan itu, Cina kehilangan banyak ilmuwannya, termasuk para peneliti terbaik di bidang malaria.

Proyek 523

Pada 1967, militer Cina memulai proyek penelitian rahasia untuk menemukan obat antimalaria baru. Proyek 523, demikian ia dinamai seturut tanggal peresmiannya—23 Mei 1967, punya misi untuk mengkoordinasikan penelitian di tujuh provinsi.

Dalam artikelnya yang terbit di laman The Conversation, peneliti dari Emory University Jia-Chen Fu menyebut Proyek 523 punya tiga tujuan utama: mengidentifikasi obat baru untuk memerangi malaria yang resisten terhadap klorokuin, pengembangan langkah-langkah preventif melawan malaria, serta pengembangan produk pengusir nyamuk.

Pada 1969, pimpinan Proyek 523 menghubungi Academy of Traditional Chinese Medicine untuk meminta bantuan. Sesuai dengan bidang kajiannya, lembaga ini diminta untuk mencari potensi obat antimalaria dari khazanah pengobatan tradisional. Saat itulah, Tu Youyou mulai terlibat dalam proyek rahasia itu.

Pimpinan Proyek 523 merekrut Tu untuk mengepalai tim riset dari lembaga tempatnya bekerja. Kala itu, Tu berusia 39 tahun dan menguasai baik ilmu pengobatan modern maupun tradisional.

Tu lahir di Kota Ningbo, Provinsi Zhejiang, pada 30 December 1930. Tu menyelesaikan pendidikan farmakologinya di Beijing Medical College pada 1955. Lalu, pada 1959 hingga 1962, Tu mengambil kuliah dalam ilmu pengobatan tradisional China dan dididik menggunakannya dengan metode pengobatan Barat. Dia bergabung dengan Academy of Traditional Chinese Medicine sejak 1965.

Menemukan Kembali Qinghao

Tu memulai tugas dengan melakukan penelitian lapangan di Pulau Hainan. Kala itu, wilayah paling selatan Cina itu sedang mengalami wabah malaria.

Begitu kembali ke Beijing, Tu mulai mengumpulkan semua informasi mengenai pengobatan tradisional Cina. Dia juga mengunjungi banyak tabib tradisional di seluruh Cina dan mencatat seluruh informasi dari mereka. Dalam tiga bulan, Tu berhasil mengumpulkan lebih dari 2.000 resep obat tradisional yang berbahan dasar tumbuhan, hewan, dan mineral.

Dari 2.000 resep itu, Tu menyortirnya lagi hingga tersisa 640 resep yang punya potensi antimalaria. Berbekal 640 resep itu, tim Tu memperoleh 380 ekstrak dari 200 herba Cina yang kemudian dievaluasi kemanjurannya pada tikus laboratorium.

“Dari 380-an lebih ekstrak yang mereka peroleh, ekstrak qinghao (Artemisia annua L.) tampak menjanjikan, meski tidak konsisten,” tulis Jia-Chen Fu.

Tu dan timnya lantas memfokuskan penelitiannya pada qinghao sejak 1971. Dalam naskah pidato Nobelnya, Tu menyebut qinghao sudah dipakai dalam pengobatan tradisional Cina selama lebih dari dua milenium. Lalu dalam bukunya From Artemisia annua L. to Artemisinins (2017, hlm. Xxxiii), Tu menyebut qinghao pertama kali disebut dalam Wu Shi Er Bing Fang (Resep 52 Penyakit) yang ditemukan di kompleks makam Dinasti Han.

Resep yang tertulis pada selembar kain sutra itu diperkirakan bertarikh 168 SM dan diresepkan untuk mengobati ambeien. Qinghao yang diresepkan untuk demam malaria muncul dalam Ben Cao Gang Mu (Bunga Rampai Materia Medika), salah satu kitab pengobatan herbal klasik paling lengkap dan terkenal di Cina, yang ditulis pada masa Dinasti Ming.

Dalam pengobatan tradisional, ia disebut punya khasiat mendetoksifikasi darah, menghilangkan demam, mencegah kambuhnya demam malaria, hingga mengobati penyakit kuning.

Setelah diekstraksi, qinghao diketahui berhasil menghambat pertumbuhan parasit penyebab malaria hingga 68 persen. Tapi, dalam penelitian tahap selanjutnya, qinghao hanya berhasil mencapai kemampuan menghambat parasit 12-40 persen. Hasil yang tidak konsisten ini sangat membingungkan tim Tu.

Tapi, Tu beruntung karena—sebagaimana qinghaomalaria juga sangat sering disebut dalam kitab-kitab pengobatan tradisional Cina. Misalnya, dalam kitab Resep Pengobatan Umum (Pu Ji Fang)--salah satu kitab resep pengobatan Cina paling lengkap yang ditulis pada masa Dinasti Ming, terdapat empat bab khusus tentang malaria.

Lalu, seperti yang disebut Jia-Chen Fu dalam artikelnya, “Tu dan timnya lalu memeriksa kembali literatur materia medica yang ada dan menguji ulang setiap resep tradisional yang menggunakan qinghao sebagai komposisinya.”

Perhatian Tu kemudian terpaku pada satu resep penyembuh demam periodik—ciri khas malaria—yang ditulis tabib Ge Hong pada abad ke-4 SM.

“Ambil seikat qinghao dan dua sheng [2 x 0,2 liter] air untuk merendamnya, peras untuk mendapatkan sarinya, lalu telan seluruhnya,” demikian Ge Hong menulis dalam kitab pengobatan Resep Darurat Rahasia.

Saat itulah, Tu menyadari cara ekstraksi konvensional dengan memanaskan qinghao di suhu tinggi kemungkinan justru merusak komponen aktif antimalarianya. Karenanya, Tu lantas mengubah tekniknya.

Tu menyiapkan larutan berbasis eter yang memiliki titik didih jauh lebih rendah ketimbang air untuk memperoleh sari qinghao. Akhirnya, pada 4 Oktober 1971, Tu dan timnya berhasil memperoleh ekstrak qinghao yang 100 persen efektif melawan parasit Plasmodium berghei yang menginfeksi tikus laboratorium dan Plasmodium cynomolgi pada monyet.

Infografik Youyou Tu

Infografik Youyou Tu. tirto.id/Rangga

Pengakuan dan Penghargaan

Penemuan itu merupakan terobosan baru untuk melawan malaria yang sudah resisten terhadap obat standar. Sayangnya, pada masa Revolusi Kebudayaan, tidak mungkin melakukan uji coba klinis atas obat baru. Karena itu, Tu dan beberapa sejawatnya memberanikan diri mencoba obat itu pada diri mereka sendiri.

Setelah yakin ekstrak qinghao atau artemisini aman untuk konsumsi manusia, mereka kembali ke Hainan untuk menguji kemanjurannya pada 21 penderita malaria di sana. Hasilnya, para pasien yang terinfeksi, baik oleh Plasmodiam vivax maupun Plasmodium falciparum, langsung menunjukkan tanda kesembuhan.

Sementara itu, para pasien yang diberi obat klorokuin tidak mengalami hal serupa (Tu Youyou dalam “The Discovery of Artemisinin (qinghaosu) and Gifts from Chinese Medicine” yang terbit di Nature Medicine, Vol. 17, No. 10, 2011, hlm. 1217-1218).

Meski begitu, temuan Tu baru dipublikasikan dalam bahasa Inggris pada 1979. Lalu, pada 1981, Tu diundang WHO, Bank Dunia, dan PBB untuk mempresentasikan temuannya pada khalayak internasional. WHO pada akhirnya merekomendasikan pengobatan dengan artemisinin sebagai terapi standar untuk pasien malaria.

Pada 2011, Tu memperoleh Lasker Award yang seringkali dianggap sebagai awalan sebelum memperoleh Hadiah Nobel. Dan memang, Tu diganjar Hadiah Nobel bidang kedokteran pada 2015.

The New York Times menyebut Tu Youyou adalah warga Cina daratan pertama yang memperoleh Hadiah Nobel di bidang kedokteran, perempuan Cina daratan pertama yang memperoleh Hadiah Nobel, serta orang Cina pertama yang memperoleh Lasker Award.

Hebatnya lagi, Tu memperoleh semua penghargaan itu tanpa gelar doktor—karena belum ada pendidikan pascasarjana di Cina di masa Tu muda, tanpa pendidikan di luar negeri, dan tanpa gelar dokter.

Baca juga artikel terkait MALARIA atau tulisan lainnya dari Uswatul Chabibah

tirto.id - Kesehatan
Penulis: Uswatul Chabibah
Editor: Fadrik Aziz Firdausi