tirto.id - Entah disadari atau tidak, kereta api kerap menjadi simbol kehidupan. Ia jalan terus. Sesekali berhenti di satu-dua stasiun. Ada tanjakan. Tak jarang melewati jalan berkelok, menurun curam, juga gelap di terowongan. Pelan-pelan menyisi jurang, dan jalan lepas di samping ladang hijau. Dan tentu saja ada pemberhentian terakhir, tempat masing-masing penumpang akan turun.
Rasa-rasanya belum ada lagu tentang personifikasi kehidupan ke dalam kereta sebagus yang ditulis John Mayer dalam “Stop This Train”. Dalam lagu yang terdapat di album Continuum itu, Mayer mengisahkan tentang kereta sebagai personifikasi waktu dan kehidupan.
So scared of getting older
I'm only good at being young
So I play the numbers game
To find a way to say that life has just begun
Waktu yang terus berjalan menghasilkan keniscayaan: orang-orang yang dikasihinya bertambah tua dan akan meninggalkannya. Di lagu itu, Mayer meminta petunjuk pada sang ayah: bagaimana kita memahami hidup, bagaimana manusia bisa menghentikan waktu.
“Help me understand.”
“Turn sixty-eight, you’ll renegotiate. John honestly, we’ll never stop this train.”
Pada akhirnya, Mayer sadar kehidupan akan terus berjalan. Kehidupan dan kematian datang silih berganti. Kepada yang telah pergi, mereka akan tetap hidup dalam kenangan.
Cause now I see, I’ll never stop this train…
PT KAI yang Terus Melaju
Kereta api yang terus maju juga bisa menjadi gambaran tentang PT Kereta Api Indonesia (Persero). Sejak diambil alih para pemuda dan buruh pada 28 September 1945, tepat hari ini 74 tahun lalu, perusahaan yang dulu dikenal sebagai Djawatan Kereta Api (DKA) itu terus bergerak maju. Tak selalu melewati jalan lurus dan tanpa aral, memang.
Ada beberapa momen ketika dunia kereta api Indonesia mengalami masa gelap. Salah satu yang paling pilu adalah Tragedi Bintaro pada 1987. Merujuk jauh ke belakang, di awal sejarah kereta api Indonesia, seperti yang ditulis O.I Nanulaita dalam Ir H. Djuanda: Negarawan, Administrator dan Teknokrat Utama (2001), situasi kereta api memang sudah kacau balau sejak awal mulanya.
“Gerbong rusak, kotor, kursi-kursi robek penuh kutu busuk, kakus hancur dan berbau busuk. Setiap kereta api penuh sesak, penumpang, pedagang-pedagang dengan barang-barangnya, tukang copet, pencoleng dan pengemis memadati gerbong-gerbong sampai lokomotif,” tulis Nanulaita.
Bahkan kondisi itu berjalan puluhan tahun, hingga sebelum era reformasi kereta api yang digerakkan Ignasius Jonan ketika ia menjabat Direktur Utama PT Kereta Api Indonesia (2009-2014). Di tangan Jonan, kereta api pelan tapi pasti menjelma jadi jauh lebih baik dan teratur.
Jonan melakukan perubahan-perubahan radikal, yang tentu saja memicu banyak protes dan perlawanan. Mulai dari pelarangan pedagang asongan masuk kereta api, pembatasan orang yang bisa masuk ke dalam stasiun, juga larangan merokok di dalam kereta. Dari segi infrastruktur, perubahan besar juga terjadi, salah satunya: semua kereta dilengkapi penyejuk udara, bahkan kelas ekonomi sekalipun. Dari segi akses, PT KAI menerapkan sistem boarding pass dan menjual tiket kereta api via online yang membuat hilangnya praktik percaloan yang selama itu seperti mendarah daging.
Tak hanya perubahan fisik, PT KAI terus membenahi tingkat ketepatan waktu kereta. Jika dulu Iwan Fals di lagu “Kereta Tiba Pukul Berapa” meledek kereta selalu terlambat, bahkan dua jam sudah biasa, kini lagu itu terasa tak relevan lagi. Perjalanan kereta api nyaris selalu tepat waktu, apalagi di rel kereta tak ada macet. Di beberapa Daop, ketepatan waktu bahkan mencapai 98-99 persen.
Segala perubahan yang dilakukan Jonan jelas berdampak besar, termasuk terhadap kinerja keuangan PT KAI. Pada 2008, perusahaan yang pernah bernama Perusahaan Negara Kereta Api (1963-1971) ini mengalami kerugian Rp83,5 miliar. Hanya setahun, PT KAI sudah berhasil membukukan laba sebesar Rp154,8 miliar. Pada 2013, setahun sebelum Jonan diangkat menjadi Menteri Perhubungan, PT KAI punya laba sebesar Rp560,7 miliar.
Setelah Jonan digantikan oleh Edi Sukmoro, reformasi tetap berjalan kencang. Jika Jonan mengutamakan penataan kereta api dari segi infrastruktur dan pondasi dasar, maka Edi menajamkan perubahan itu dengan cara meningkatkan sinergi KAI dengan jagat digital.
Selain bisa dibeli dari aplikasi perjalanan seperti Traveloka dan Tiket.com, KAI terus mengembangkan aplikasi KAI Access. Aplikasi yang sudah diunduh lebih dari 5 juta kali ini mempermudah para pelanggan dalam membeli tiket mulai 90 hari sebelum keberangkatan, mengubah jadwal, juga membatalkan perjalanan. Berkat fitur-fitur itu pula para penumpang tak perlu lagi repot-repot datang ke stasiun untuk mengubah jadwal maupun membatalkan perjalanan mereka.
Menariknya lagi, aplikasi ini juga akan memberikan E-Boarding Pass yang akan muncul dua jam sebelum keberangkatan. Dengan fitur ini, penumpang tak lagi perlu mencetak tiket. Cukup tunjukkan boarding pass dari ponsel pada petugas pemeriksa tiket. Fitur ini hanya tersedia eksklusif bagi para pengguna KAI Access.
Tak hanya untuk kereta jarak menengah dan jauh, KAI Access juga memudahkan penumpang untuk membeli tiket kereta api lokal. Bahkan, penumpang kereta api lokal bisa membeli tiket dari H-7 hingga lima menit sebelum keberangkatan. Karena itu pula, fungsi loket di stasiun kini lebih sangkil dan mangkus: hanya melayani pembelian tiket go-show. Selain memudahkan, kebijakan ini juga memberikan kenyamanan lebih bagi penumpang di stasiun.
Selain kemudahan akses, Edi Sukmoro dan para pekerja KAI tak lantas melupakan peningkatan kualitas layanan di stasiun. Sejak April 2019, PT KAI menghadirkan co-working space di sembilan stasiun kereta api besar. Peresmiannya dilakukan Menteri BUMN Rini Soemarno, Edi Sukmoro, dan para petinggi PT KAI di Stasiun Bandung—kota tempat para buruh dan aktivis merebut Djawatan Kereta Api dari tangan Jepang 74 tahun silam.
Co-working space ini pada hakikatnya memahami kebutuhan penumpang KAI yang kebanyakan adalah pekerja milenial yang kerap bepergian dan bekerja remote. Karena itu pula, co-working space yang bisa dipakai secara gratis ini menyediakan koneksi internet dan 16 tempat duduk yang dilengkapi meja. Selain di Bandung, co-working space ini hadir di Jakarta (Gambir, Juanda, BNI City), Cirebon, Semarang Tawang, Yogyakarta, Surabaya Gubeng, dan Jember.
“Jadi cukup menunjukkan boarding pass dengan tanggal keberangkatan atau kedatangan pada hari yang sama. Setiap pengunjung co-working space dapat menggunakan fasilitas ini untuk bekerja, maksimal dua jam dalam setiap kunjungan,” tutur Edi.
Di luar peningkatan di bidang infrastruktur, akses, dan pelayanan, KAI bergerak lebih luas dengan mendukung upaya pelestarian lingkungan. Salah satunya dengan menjalankan angkutan limbah yang melintasi Stasiun Nambo-Kalimas sejak 9 Agustus 2019.
Di tengah laju perkembangan yang makin kencang, KAI juga tidak melupakan masyarakat yang tinggal di pinggir rel kereta api atau di sekitar stasiun. Untuk mereka, KAI menghadirkan Rail Clinic, layanan kesehatan tingkat pertama yang bisa diakses gratis oleh penduduk kurang mampu yang tinggal di sekitar jalur dan stasiun kereta api. Sepanjang 2018, Rail Clinic sudah melayani 21.196 pasien. Selama Januari hingga Agustus 2019, Rail Clinic sudah melayani 15.443 pasien dan jumlah itu akan terus bertambah.
Dengan segala perubahan baik ini, apa yang dikeluhkan di buku Ir H. Djuanda: Negarawan, Administrator dan Teknokrat Utama atau Iwan Fals di “Kereta Tiba Pukul Berapa”, terasa seperti artefak masa lalu yang amat jauh. Dan semoga perubahan dan kemajuan PT KAI akan menjadi seperti laju kereta yang dibilang Mayer: tak bisa dihentikan.
(JEDA)
Penulis: Tim Media Servis