tirto.id - Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperingati Hari Anti-Sunat Perempuan Sedunia pada 6 Februari 2022. WHO bersama lembaga-lembaga lain membuat hari ini untuk mengakhiri praktik sunat perempuan di seluruh dunia.
Sunat perempuan terdiri dari semua prosedur yang melibatkan mengubah atau melukai alat kelamin perempuan untuk alasan non-medis. Tindakan ini diakui secara internasional sebagai pelanggaran hak asasi manusia, kesehatan dan integritas perempuan.
Anak perempuan yang menjalani sunat menghadapi komplikasi jangka pendek seperti sakit parah, syok, pendarahan berlebihan, infeksi, dan kesulitan buang air kecil, serta konsekuensi jangka panjang bagi kesehatan seksual, reproduksi, dan kesehatan mental mereka.
Tema Hari Anti-Sunat Perempuan 2022
Tahun ini, Program Bersama UNFPA-UNICEF tentang Penghapusan Sunat Perempuan mengambil tema "Mempercepat Investasi untuk Mengakhiri Sunat Perempuan." Banyak negara yang mengalami “krisis dalam krisis” akibat pandemi termasuk peningkatan praktik sunat perempuan.
Itulah sebabnya PBB menyerukan kepada komunitas global untuk membayangkan kembali dunia yang memungkinkan anak perempuan dan perempuan memiliki suara, pilihan, dan kendali atas kehidupan mereka sendiri.
Meskipun praktik ini telah ada selama lebih dari seribu tahun, ada alasan mengapa sunat perempuan bisa berakhir dalam satu generasi. PBB berjuang untuk pemberantasan penuh sunat perempuan pada tahun 2030, mengikuti semangat Tujuan Pembangunan Berkelanjutan 5.
Sejak 2008, UNFPA, bersama dengan UNICEF, memimpin program global terbesar untuk mempercepat penghapusan sunat perempuan. Program Bersama saat ini berfokus pada 17 negara di Afrika dan Timur Tengah dan juga mendukung inisiatif regional dan global.
Praktik Sunat Perempuan
Sunat perempuan banyak ditemukan di 30 negara Afrika dan Timur Tengah. Sunat perempuan merupakan masalah universal dan juga dipraktikkan di beberapa negara di Asia dan Amerika Latin. Imigran yang tinggal di Eropa Barat, Amerika Utara, Australia dan Selandia Baru masih terus melakukan praktik ini.
Pada 2021, pandemi COVID-19 telah berdampak negatif dan tidak proporsional terhadap perempuan. Pandemi cukup menganggu perwujudan SDG 5.3 tentang penghapusan semua praktik berbahaya termasuk, sunat perempuan.
United Nations Population Fund (UNFPA) memperkirakan ada 2 juta anak perempuan yang diprediksi akan mengalami sunat pada 2030. Menanggapi hal ini, PBB, melalui program bersama UNFPA-UNICEF, telah melakukan intervensi agar praktik ini dihentikan.
Editor: Iswara N Raditya