Menuju konten utama

Telur Busuk di Depok Bukti Buruknya Data dan Distribusi Bansos

Telur busuk ditemukan dalam paket bansos di Depok. Ini bukti buruknya pendataan dan distribusi.

Telur Busuk di Depok Bukti Buruknya Data dan Distribusi Bansos
Petugas pos menata logistik bantuan sosial untuk warga yang terdampak perekonomiannya akibat COVID-19 di Kantor Pos, Cibinong, Bogor, Jawa Barat, Jumat (17/4/2020). ANTARA FOTO/Yulius Satria Wijaya/pras.

tirto.id - Usai mendapat instruksi dari Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil, Selasa (29/6/2020), Kepala Kantor Pos Depok Diki Hendrawansah langsung mengerahkan bawahannya untuk menggali lubang satu meter di Balai Rakyat, Kecamatan Sukmajaya. Lubang tersebut dibuat untuk memusnahkan 300 kilogram telur bantuan sosial (bansos) yang busuk akibat terlalu lama disimpan.

Hal serupa pernah terjadi di Desa Padawaras, Kecamatan Cipatujah, Tasikmalaya. Telur busuk itu berasal dari sisa-sisa bansos untuk Indramayu.

Telur bansos yang gagal serap memunculkan kecurigaan bahwa pemerintah daerah tak memiliki data akurat penerima manfaat. Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan Jabar Mohamad Arifin Soedjayana mengakui kelemahan tersebut.

Pada bansos tahap I yang menyasar 1,7 juta rumah tangga sasaran (RTS), ada 4.300 paket yang tidak terserap. Hambatannya mulai dari salah alamat sampai penerima bansos sudah meninggal. 4.000 paket kemudian disalurkan ke pihak membutuhkan lain seperti yayasan yatim piatu dan pesantren. Sisanya, 300 paket--yang terdiri dari sembako dan 300 kilogram telur--dimusnahkan.

“Masalahnya memang di data. Ada Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) dan non-DTKS, yang banyak dobel itu data dari DTKS,” kata Arifin kepada reporter Tirto, Senin (29/6/2020).

1,4 juta dari 1,7 juta RTS datanya berasal dari non-DTKS. 300 ribu RTS sisanya berasal dari data DTKS. Persentase kesalahan RTS yang didapat dari DTKS lebih banyak dibandingkan data dari non-DTKS. “Secara persentase barang retur dari non-DTKS hanya tiga persen, sementara DTKS returnya delapan persen.”

Selain permasalahan data yang tak akurat, penyaluran bansos tahap I juga berjalan sangat lama. Arifin menjelaskan seharusnya penyerapan bansos bisa diterima oleh RTS dalam 15 hari, namun realisasinya dua bulan.

Penyaluran bansos tahap I dimulai pada 15 April. Realisasi lambat karena beberapa pemerintah daerah memilih menunda penyaluran dulu sampai bansos lain dari pemerintah pusat cair karena tak mau ada masyarakat yang dapat, sementara lain lainnya belum. “Enggak semua bantuan serempak. Artinya enggak semua masyarakat dapat meskipun sama-sama susah. Datanya ada yang PKH (Program Keluarga Harapan), ada yang Prakerja. Nah ini bikin gaduh.”

Ia menyadari masalah-masalah semacam ini tidak bisa diselesaikan dalam waktu dekat. Bansos yang gagal terserap pun sulit dihindari. Untuk itu, Arifin mengatakan lembaganya akhirnya memutuskan mengganti telur dengan produk yang lebih tahan lama seperti susu.

“Rencana ganti di bantuan tahap II dengan total bantuan ke 1,4 juta masyarakat yang membutuhkan. Nantinya penyerapan akan ditarget bisa terserap dalam durasi 15 hari. Di dalam paket nanti akan ada beras 10 kilogram, sarden empat kaleng, gula dua kilogram, minyak, susu, tepung, mi instan, dan masker.”

Pengamat Kebijakan Publik Trubus Rahadiansyah tak bisa dengan mudah menerima alasan tersebut. Menurutnya fakta bahwa yang dipilih adalah telur, bukan komoditas lain yang lebih tahan lama, menunjukkan bahwa “sudah ada nominal bantuannya, jumlahnya, dan targetnya.”

“Ada unsur kesengajaan, seolah-olah ada urusan administrasi. Ini kelihatan ada kesengajaan, kemungkinan ada kepentingan yang main di situ,” katanya kepada reporter Tirto. “Kalau enggak sengaja, itu jumlahnya enggak banyak.”

Opsi Uang Tunai

Anggota Komisi II DPRD Jabar Tobias Ginanjar mengakan kasus ini harusnya jadi bahan evaluasi berbagai pihak dalam proses penyaluran bansos. “Ini mencerminkan buruknya perencanaan dari Pemprov Jabar, baik dari data distribusi maupun item barang yang diputuskan untuk diberikan” katanya kepada reporter Tirto.

Penyaluran bansos dalam bentuk fisik, kata dia, selain tidak efisien juga rentan rusak. Untuk itu ia menyarankan agar bansos berikutnya diubah ke bantuan tunai. Cara itu menurutnya lebih sederhana dan efektif.

“Kan kalau uang tunai tidak ada risiko basi atau busuk,” katanya. Masyarakat juga bisa langsung berbelanja barang yang benar-benar dibutuhkan.

Baca juga artikel terkait BANTUAN SOSIAL atau tulisan lainnya dari Selfie Miftahul Jannah

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Selfie Miftahul Jannah
Penulis: Selfie Miftahul Jannah
Editor: Rio Apinino