tirto.id - “Dapatkan diskon hari ini, beli enam, gratis enam...”
“Diskon 70 persen, hanya berlaku hari ini, tukarkan segera SMS ini...”
Jika Anda tinggal atau bekerja di dekat pusat hiburan atau belanja macam mal sangat mungkin akan menerima pesan itu lebih dari satu atau dua dalam sehari. Anehnya, SMS yang sama bisa masuk lagi di hari berikutnya ketika melewati/berada di tempat sama. Apa yang sebenarnya terjadi?
Teknologi memang mengubah banyak hal, termasuk dunia pemasaran. Menjaring sebanyak-banyaknya konsumen masih menjadi mantra andalan. Tapi, fitur-fitur baru yang dilahirkan kecanggihan teknologi, terutama internet, membuat para ahli pemasaran menyadari mantra kedua: “Jangkau konsumen yang tepat, dengan pesan yang tepat, pada waktu yang tepat.”
Setelah teknologi geolocation ditemukan, mantra kedua menjadi lebih mudah dipraktikkan. SMS promosi yang masuk ke ponsel Anda adalah salah satu produk dari teknologi tersebut.
Geolocation mengidentifikasi lokasi geografis sebuah objek, misalnya ponsel, sumber radar, atau terminal komputer, yang tersambung ke internet. Akrabnya manusia zaman ini dengan ponsel mereka jadi salah satu celah yang dikombinasikan para ahli pemasaran untuk memanfaatkan geolocation. Caranya? Dengan melacak keberadaan perangkat yang kita gunakan lewat Radio Frequency Identification (RFID)—semacam gelombang elektromagnetik; WiFi dan alamat Media Access Control (MAC)—kode unik yang dimiliki setiap komputer; kartu SIM; dan, data pengguna, baik yang diinput sendiri maupun yang dikoleksi oleh ponsel pintar Anda.
Penyebaran SMS promosi hanya salah satu cara memanfaatkan teknologi geolocation, yang biasa disebut dengan isitilah Geofenching. Mekanismenya memanfaatkan operator kartu SIM alias provider. Produsen membayar ke operator untuk mengirimkan pesan tertentu secara broadcast kepada siapa saja dalam radius tertentu dari tenant mereka. Kartu SIM yang tertanam di ponsel membuat server milik provider akan otomatis membaca lokasi Anda sehingga dapat langsung mengirim SMS promosi tersebut.
Jumlah pengguna ponsel di Indonesia, menurutStatista, mencapai 173,3 juta pada 2017. Sementara yang menggunakan ponsel pintar sehingga terkoneksi dengan internet berjumlah 103,5 juta orang. Angka ini jelas menggiurkan bagi para produsen untuk menyebarkan promosi mereka lebih cepat dan praktis: langsung dibaca calon konsumen.
Baca juga: Memahami Banyak Hal dengan Big Data
Cara ini bukan satu-satunya yang bisa dimanfaatkan dari geolocation. Produsen tak cuma bisa melempar tawaran produk mereka langsung ke hadapan layar ponsel konsumen, mereka bahkan bisa membaca selera, merekomendasikan produk, bahkan menggiring konsumen kepada toko yang direkomendasikan.
Fortunemencatat kelebihan-kelebihan teknologi ini yang terus dikembangkan para ahli pemasaran. Misalnya, digabung dengan teknologi augmented reality atau lebih dikenal dengan istilah virtual reality (VR), L’Oreal, Sony, dan IMG bisa membuat pameran seni virtual yang bisa langsung dilihat konsumen mereka. Atau ketika digabung dengan teknologi kecerdasan buatan dan algoritma, McDonald bisa mencari lingkungan masyarakat yang masih berbahasa Spanyol di Phoenix, Amerika Serikat, untuk mengirimkan pesan-pesan promosi dalam bahasa Spanyol. Bahkan kelak geolocation bisa membantu para pengiklan untuk memetakan influencer di media sosial guna mempermudah mereka menarik massa tertentu.
Praktik-praktik ini mulai sering terlihat. Namun, teknik geofenching masih yang paling kentara umum dipakai produsen Indonesia. Sejumlah provider bahkan terang-terangan mengiklankan bisnis ini di situs mereka. Misalnya Telkomsel.
Baca: Memasarkan Lewat Selebgram Berpengikut Sedikit Lebih Ampuh
Mengangkangi Hak Privasi
Ketika membeli kartu SIM, pelanggan tak membuat kesepakatan yang mengizinkan nomor tersebut dikirimi pesan-pesan promosi yang dijadikan lahan bisnis meraup keuntungan oleh provider. Wahyudi Djafar, dari Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), menganggap hal ini melangkahi hak privasi konsumen. Nomor yang dibeli konsumen, disimpan provider sebagai data yang kemudian dijadikannya modal untuk mengundang para produsen beriklan.
“Padahal kan, kontrak kita dengan mereka (provider) hanya kontrak tentang komunikasi. Kita tidak menghendaki dapat sms dari berbagai produk dan tenant. Ternyata ada perjanjian itu, antara operator dan pihak swasta lain, untuk mengirimkan iklan ke nomor-nomor kita,” ungkap Wahyudi di Kantor ELSAM, Jakarta, pekan lalu. “Hal itu bisa terjadi karena masih belum ada Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi,” tambahnya.
Konstitusi Indonesia sendiri memang masih longgar dalam hal perlindungan data pribadi. Aturan layanan pengiriman SMS promosi, misalnya. Dalam Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penyelenggaraan Jasa Pesan Premium dan Pengiriman Jasa Pesan Singkat ke Banyak Tujuan (Broadcast), penyebaran SMS promosi itu tidak dilarang. Namun, provider sebagai pihak penyelenggara diwajibkan menyediakan fasilitas menolak pengiriman SMS berikutnya kepada konsumen.
Baca: Celah Masalah Aturan Wajib Registrasi Ulang SIM Card
Padahal dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, seseorang yang merasa nomornya menjadi objek promosi atau dipakai tanpa seizinnya dapat mempermasalahkan hal tersebut. Gugatan yang dituntut bahkan bisa berbentuk kerugian langsung akibat berkurangnya storage perangkat yang dipakai karena jumlah konten SMS yang tidak dikehendaki. Hal itu masih banyak tidak diketahui khalayak.
“Sebenarnya ada yang melindungi, meskipun jalurnya lewat perdata. Tapi hal ini jarang dilaporkan karena masih banyak yang tidak paham. Angka pelaporannya memang bahkan tidak ada,” ungkap Wahyudi.
Menurutnya, masalah lain adalah tumpang tindih aturan perlindungan data pribadi. Hal itu yang membuatnya mendorong pemerintah segera mengeluarkan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi yang jauh lebih komprehensif.
Kebijakan pemerintah yang mewajibkan pemilik kartu SIM untuk meregistrasikan diri dengan validasi Nomor Induk Kependudukan (NIK) dan Nomor Kartu Keluarga, juga bisa jadi celah operator memanfaatkan data pribadi konsumen lebih masif. Pasalnya, secara teknis, SMS validasi itu akan singgah di operator sebelum masuk ke pemerintah, dan membuka celah untuk merekam data-data yang kelak akan disinkronisasikan dengan data pribadi di Direktorat Jenderal Kependudukan dan Catatan Sipil.
Baca: Regitrasi SIM Card dan Tren Dunia Melindungi Data Pribadi
Menkominfo rupanya sudah awas dengan celah ini. Demi melindungi konsumen, RUU Perlindungan Data Pribadi tengah digodok dan akan segera dilempar dalam Program Legislasi Nasional 2018. “Rencananya 2018,” kata Menkominfo Rudiantara, di Hotel Indonesia Kempinski, 25 Oktober kemarin.
Sebelum itu, ada aturan General Data Protection Regulation (GDPR) yang lebih dulu aktif per Mei 2018. Aturan ini punya dampak besar secara global karena mengikat negara yang ingin bekerja sama dengan Uni Eropa. Indonesia juga punya kewajiban melindungi data karena bergabung dengan APEC dan G20.
Dalam GDPR yang diterapkan Uni-Eropa nanti, paradigma yang dipakai untuk melihat data pribadi adalah sebagai hak asasi setiap orang, bukan komoditas yang diperdagangkan. Hal ini yang kelak harus diperhatikan para ahli pemasaran, agar tidak dituntut konsumen yang merasa hak privasinya dipakai sewenang-wenang.
Penulis: Aulia Adam
Editor: Zen RS