Menuju konten utama

Tarik Menarik Tarif Jasa Ojek Online, Siapa yang Untung & Buntung?

Perusahaan aplikasi ojek online memposisikan para driver sebagai mitra kerja, bukan karyawan. Di sisi lain, para driver menghendaki perbaikan kesejahteraan.

Tarik Menarik Tarif Jasa Ojek Online, Siapa yang Untung & Buntung?
Ribuan pengemudi ojek online melakukan aksi menuju Istana Negara, Jakarta, Selasa (27/3/2018). tirto.id/ANdrey Gromico

tirto.id - Ahmad Aminuddin, mitra kerja dari perusahaan aplikasi ojek online berkeluh kesah. Driver atau pengemudi transportasi online ini mengaku merasa dirugikan oleh perusahaan mitranya.

Saat kali pertama bergabung dua tahun lalu, pria berumur 36 tahun ini mengaku tarif angkut ojek aplikasi sempat mencapai Rp2.500 per km. Tarif sebesar itu, pendapatannya bisa mencapai Rp500-700 ribu per hari. Namun, kini pendapatan melorot tajam hingga hanya Rp300 ribu per hari. Ini karena tarif angkutan ojek aplikasi atau ojek online dipangkas perusahaan aplikasi hingga Rp1.600 per km.

“Dulu kalau antar penumpang ke Pondok Indah bisa dapat sekitar Rp25 ribu. Sekarang cuma Rp14 ribu doang. Jadi rugi mas, belum hitung bensin sama pulsa. Makanya, banyak yang protes,” katanya kepada Tirto.

Ahmad salah satu pengemudi ojek aplikasi yang ikut berdemo ke Istana Negara baru-baru ini. Menurutnya, ia merasa dieksploitasi oleh perusahaan aplikasi mengingat tarif ditentukan secara sepihak, bukan hasil pembicaraan dengan mitra driver.

Pada 27 Maret 2018, ribuan pengemudi ojek aplikasi dari Gojek, Grab, dan Uber menggelar unjuk rasa di depan Istana Negara. Mereka menuntut pemerintah untuk melakukan intervensi terhadap para perusahaan aplikasi. Mereka minta agar pemerintah mendesak perusahaan aplikasi untuk menaikkan tarif angkut ojek menjadi Rp4.000 per km dari sebelumnya sekitar Rp1.600 per km.

Para pengemudi ojek aplikasi juga meminta pemerintah mendesak perusahaan aplikasi untuk mengurangi jumlah potongan perusahaan terhadap tarif angkut per km yang ditetapkan dari 20 persen menjadi hanya 10 persen. Selain itu, para pengemudi ojek aplikasi juga meminta agar pemerintah segera membuat payung hukum atau regulasi yang jelas mengenai pekerjaan mereka, mulai dari tarif, asuransi dan keselamatan pengemudi.

Pemerintah pun merespons tuntutan para pengemudi ojek aplikasi. Rencananya, pemerintah mengusulkan tarif ojek aplikasi senilai Rp2.000 per km. Usulan itu pun dibahas dengan para perusahaan aplikasi. “Namun Rp2 ribu itu harus bersih, jangan dipotong Rp1.600, karena ini yang menjadi modal untuk secara internal mereka menghitung,” tutur Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi dikutip dari Antara.

Perusahaan aplikasi tampaknya sepakat untuk menaikkan tarif layanan para mitranya. Grab Indonesia misalnya, siap mengikuti arahan dari pemerintah. Mereka setuju untuk menaikkan pendapatan pengemudi.

“Pendapatan itu bukan hanya tentang tarif yah. Tarif itu unsurnya ada tiga, yakni pengemudi, penumpang, dan kami. Jadi, harus diperhatikan itu,” ujar Ridzki Kramadibrata, Managing Director Grab Indonesia, dikutip dari Kompas.

Kasus driver ojek online ini memang unik, pada UU Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, transportasi umum berbasis roda dua atau ojek memang tak diatur. Namun, Indonesia bukan satu-satunya negara yang menghadapi dilema yang sama, persoalan tarif antara mitra pengemudi dengan perusahaan aplikasi terjadi juga di Vietnam.

Ratusan pengemudi ojek aplikasi di Vietnam melakukan unjuk rasa terhadap Grab Vietnam yang berencana menaikkan potongan persentase pendapatan pengemudi untuk setiap kali perjalanan sebesar 23,6 persen dari sebelumya 20 persen.

Di Vietnam, keberadaan taksi online maupun ojek online memang masih belum diatur oleh pemerintah, termasuk juga soal tarif. Kementerian Transportasi Vietnam akan mengatur taksi aplikasi dengan regulasi yang sama seperti taksi tradisional. Pemerintah Vietnam kesulitan untuk mendapatkan solusi yang pas. Ini menunjukkan bisnis berbasis kemitraan seperti ojek atau taksi online masih bermasalah.

Infografik trek trekan tarif ojol

Mempertanyakan Kemitraan

Persoalan tarif memang pelik bagi bisnis ride sharing. Konsep kemitraan yang dikembang perusahaan aplikasi masih banyak bolong-bolong setidaknya dari sudut pandang driver. Konsep kemitraan memang masih jadi pekerjaan rumah dalam UU No 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan. Artinya segala terkait dengan persoalan tarif ojek online tak kaku dalam sebuah aturan yang tegas.

“Menentukan kebijakan harusnya ada rembukannya dulu agar tetap saling menguntungkan. Tapi [perusahaan aplikasi] ini enggak lakukan, padahal kami ini mitranya,” ujar Christiansen F. W Wagey, Ketua Umum Asosiasi Driver Online (ADO) kepada Tirto.

Di sisi lain, posisi ojek di mata hukum juga lemah. Seperti diketahui, regulasi yang mengatur ojek sebagai angkutan umum belum ada. Hal itu dikarenakan ojek tidak diatur dalam Undang-undang No. 22/2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

Alhasil, pemerintah tidak bisa mengeluarkan aturan turunan mengenai ojek apabila UU Lalu Lintas dan Angkutan Jalan belum direvisi. Apabila dipaksa untuk segera membuat regulasi pun, kekuatan hukumnya bakal lemah, dan berpotensi di-judicial review.

Berbeda dengan ojek online, para driver taksi online sudah memiliki regulasi yang jelas, termasuk soal tarif. Hal itu tertuang dalam Peraturan Menteri Perhubungan No. 108/2017 tentang penyelenggaraan angkutan orang dengan kendaraan bermotor umum tidak dalam trayek.

Dalam Permenhub 108/2017, penetapan tarif taksi online dilakukan berdasarkan kesepakatan pengguna jasa dan penyedia jasa transportasi melalui aplikasi teknologi informasi dengan berpedoman pada tarif batas atas dan tarif batas bawah yang ditetapkan oleh Dirjen Perhubungan Darat Kemenhub.

Apabila mengacu pada prinsip perjanjian kemitraan secara business to business, maka tarif seharusnya ditentukan oleh perusahaan aplikasi bersama mitranya, yakni pengemudi ojek online. Artinya tidak perlu ada intervensi pemerintah, apalagi dasar hukum ojek online masih belum jelas. Menarik persoalan tarif ojek online ke pemerintah hanya akan memunculkan masalah baru, keputusannya akan populis dan politis, dan ujung-ujungnya berdampak pada konsumen.

Sebelum semua aturan jadi jelas, siapa dan apa yang menunggangi dan ditunggangi soal tarif aplikasi transportasi akan sangat tergantung negosiasi antara pemilik perusahaan aplikasi dan para mitranya. Nampaknya, para mitra ojek online punya peluang lebih unggul untuk mensukseskan tuntutannya.

Baca juga artikel terkait OJEK ONLINE atau tulisan lainnya dari Ringkang Gumiwang

tirto.id - Bisnis
Reporter: Ringkang Gumiwang
Penulis: Ringkang Gumiwang
Editor: Suhendra