tirto.id - Institute for Development of Economics and Finance (Indef) menilai pertumbuhan ekonomi senilai 5,3 persen dalam asumsi makro RAPBN 2020 tidak akan tercapai.
Mereka juga menilai pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2019 yang juga diasumsikan di angka 5,3 persen dalam APBN 2019.
"Pertumbuhan ekonomi gak akan sampai. Tahun ini gak sampai [target juga]. Tahun depan 5,3 persen juga masih berat melihat tantangannya, banyak yang harus kita lakukan," ucap Wakil Direktur Indef, Eko Listiyanto dalam konferensi pers di kantornya, Senin (19/8/2019).
Eko juga menjelaskan rendahnya proyeksi yang ia perhitungkan disebabkan bahwa sebagian besar asumsi makro pemerintah tidak begitu menggambarkan Indonesia bersiap menghadapi krisis global.
Ia juga mencontohkan sejumlah pos asumsi makro seperti SBN, nilai inflasi, dan nilai tukar serta harga minyak mentah tidak jauh berbeda dengan asumsi pada 2019.
Dalam asumsi makro ekonomi RAPBN 2020, pemerintah menetapkan pertumbuhan ekonomi di angka 5,3 persen.
Kemudian, inflasi dipatok 3,1 persen, nilai tukar Rp 14.400 per dolar AS, suku bunga SPN 3 bulan senilai 5,4 persen, harga minyak di kisaran 65 dolar AS per barel.
Lalu, lifting minyak di angka 734 ribu barel per hari, dan lifting gas 1.191 ribu SBM per hari.
"Dalam postur dan asumsi makro tidak menggambarkan dibuat untuk menghadapi krisis global. Misal bunga SBN 5,4 persen ini gak jauh beda dengan asumsi 2019," ucap Eko.
Padahal, kata Eko, perang dagang Amerika-Cina sudah memasuki babak baru yaitu perang mata uang atau currency war.
Belum lagi negara-negara saat ini tengah dirundung perlambatan pertumbuhan ekonomi yang diramalkan IMF terjadi pada 2020.
Meskipun kabarnya, negara berkembang akan tetap tumbuh, Eko ragu Indonesia benar-benar siap menyambut peluang agar masuk ke dalam jajaran negara itu.
"Kita liat dulu mitra dagang kita siapa aja. Kalau seandainya mereka turun ya ekspor kita turun. Jadi pertumbuhan ekonomi kita gak bisa nanjak. Investor pun juga sama," ucap Eko.
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Zakki Amali