tirto.id - Pemerintah Indonesia menargetkan seluruh penduduk menjadi peserta BPJS kesehatan pada 2019. Namun, regulasi dalam kepesertaan layanan BPJS kesehatan dinilai memberatkan.
Berdasarkan kajian yang dilakukan lembaga advokasi hukum dan HAM Lokataru, pemerintah dinilai abai dalam pengaturan kepesertaan bagi Penerima Bantuan Iuran (PBI) dan BPJS mandiri.
“Permasalahan pertama ialah, bagaimana menentukan seseorang bisa menerima PBI maupun non-PBI. Dalam hal ini pemerintah menggunakan data BPS yang kebanyakan juga tidak relevan,” ujar peneliti Lokataru Atnike Sigiro di Kedai Tjikini, Jakarta Pusat, Kamis (27/9/2018).
Selain itu juga, Lokataru menilai ada banyak kelompok masyarakat yang seharusnya mendapat layanan PBI BPJS ternyata tidak dapat, sedangkan yang seharusnya tidak dapat malah dapat.
BPJS juga belum mengatur regulasi tentang aturan bagi beberapa kelompok khusus yang terabaikan seperti anak baru lahir, penyandang disabilitas, dan korban kekerasan. Hak anak dalam kandungan belum diakui BPJS, padahal hak anak seharusnya melekat pada hak ibu atau orang tuanya.
“Kalau di asuransi swasta itu ada namanya maternity premi dimana hak anak sudah melekat pada ibunya,” jelas Atnike. Menurutnya bahkan di PBI BPJS lebih beruntung daripada non PBI karena anak sudah melekat haknya ke ibunya.
Studi lebih lanjut tentang kebutuhan disabilitas terkait BPJS juga belum ada dibuat. Terutama tentang kapan seorang disabilitas berhak ikut PBI atau non PBI seperti mandiri.
BPJS kemudian harus bekerja sama dengan aparat penegak hukum terkait korban kekerasan. Korban sebaiknya dapat diberi pelayanan visum secara gratis dan memperoleh perlakuan hukum yang adil.
Permasalahan kedua ialah ketiadaan jaminan dan insentif bagi BPJS mandiri atau non PBI. Peserta mandiri tiap bulan diwajibkan membayar iuran BPJS, ketika menunggak maka BPJS akan memblokir layanannya sehingga ia tidak bisa mendapatkan jaminan layanan. Ketika ia hendak gunakan layanan lagi maka harus membayar denda INA CBGs senilai 2,5 persen.
BPJS sepatutnya menjamin hak peserta dan keluarganya untuk mendapatkan jaminan kesehatan, yakni bagi peserta mandiri tetap bisa menjalani pelayanan kesehatan. Cara mengatasinya ialah dengan menjajaki potensi pemasukan dari sektor lain seperti pemerintah daerah, swasta, dan perusahaan negara.
Kepesertaan yang berbasis kartu keluarga juga jadi kerumitan tersendiri. Ini terjadi jika ada perubahan dalam KK baik itu kematian, perceraian, atau kelahiran. Setiap kepala keluarga wajib membayar iuran satu anggota keluarganya, jika tidak maka semua akan terkena dampak.
“Contohnya jika ada anak meninggal, jika tidak segera diperbaharui datanya, maka orang tua harus tetap membayar iuran si anak yang sudah meninggal. Jika tidak maka semua anggota keluarga tidak dapat mendapatkan layanan,” jelas Atnike.
Layanan berbasis KK itu juga menyulitkan bagi perempuan. Terutama yang jadi korban KDRT atau yang ditinggalkan begitu saja oleh suaminya sehingga ia tidak ter-cover oleh program BPJS. “Ini yang harus jadi concern pemerintah selanjutnya,” tambahnya.
Menurut Atnike, regulasi-regulasi di atas penting untuk dipertimbangkan dan ditata ulang demi terwujudnya cita-cita Indonesia. Cita-cita agar seluruh masyarakat diamankan oleh BPJS.
Penulis: Rizky Ramadhan
Editor: Maya Saputri