tirto.id - Beberapa waktu lalu seorang Profesor Kehormatan mengaku keheranan dengan ibu-ibu di Indonesia yang disebutnya hanya tahu cara memasak dengan menggoreng. Sang Profesor Kehormatan yang juga Ketua Dewan Pengarah di badan superbody riset dan inovasi itu menyarankan agar para ibu beralih ke metode merebus dan mengukus. Beberapa ada yang mendukung pernyataan Profesor Kehormatan/Ketua Dewan Pengarah sebagai gagasan visioner yang mendukung gaya hidup sehat. Sebagian mengkritisi bahwa pernyataan tersebut tidak memiliki sense of crisis di tengah kesulitan masyarakat mendapat bahan pokok.
Lepas dari silang pendapat itu, mengubah cara masak juga makanan yang dikonsumsi tidak segampang majikan menyuruh anak buah mengerjakan proyek-proyek ajaib dengan mantra sakti "arahan pimpinan". Makanan punya kompleksitas sejak dari pemilihan bahan baku, cara masak, penyajian, juga aturan dan ritus-ritus yang melingkupinya.
Kompleksitas ini, jelas Claude Fischler dalam Food, Self, and Identity (1988) menjadikan makanan tak hanya berfungsi sebagai pemenuhan kebutuhan biologis, tapi juga memiliki elemen budaya. Begitu pula dengan menggoreng dan gorengan yang hadir dalam berbagai aspek. Dari camilan di ruang rapat hingga pos ronda, sampai pelengkap tak terpisahkan dari sebuah momentum-momentum sosial budaya. Salah satunya bulan Ramadan
Ramadan merupakan ritus penting dalam Islam yang kehadirannya dirayakan secara khusus. Salah satunya lewat makanan-makanan yang menyertai momentum tersebut. Selain kurma yang populer sebagai makanan pilihan Nabi Muhammad SAW untuk berbuka, gorengan juga hadir di meja makan keluarga Indonesia sebagai camilan pembatal puasa saat adzan Maghrib tiba.
André Möller dalam Ramadan di Jawa (2005) menuliskan satu jam sebelum adzan Magrib merupakan keadaan kacau di jalanan Jawa, saat semua orang pulang sebelum beduk berbunyi dan banyak dia antaranya berhenti di tengah jalan untuk membeli kolak, kue-kue kecil, dan gorengan.
Meski dikritik sebagai tidak sehat untuk berbuka, toh sulit membantah kepopuleran gorengan. Popularitas gorengan ibarat The Beatles: mudah, ringan, dan renyah. Mudah didapat juga begitu mudah dibuat. Digoreng begitu saja, ditambah tepung dan bumbu penyedap, sepiring gorengan cepat tersaji di meja makan dan secepat itu pula tandas masuk perut yang sudah kosong seharian.
Variannya beragam. Dari protein nabati yang populer seperti tahu, tempe, sampai oncom, atau sedikit naik kelas dengan protein hewani semacam calamari rings. Dari hasil bumi seperti ketela goreng, ubi goreng, dan turunannya seperti comro, misro, timus, hingga cireng. Juga gorengan buah-buahan mulai dari buah yang mudah ditemui di pasar seperti pisang dan nanas hingga buah eksotik semacam cempedak dan sukun.
Pilihan condiment-nya pun merentang. Dari cabe rawit sampai sambal. Di wilayah yang “kultur” gorengannya kuat, sambal untuk gorengan bahkan dibuat khusus dan akhirnya menciptakan sebuah ragam hidangan baru. Di Bogor, sambal untuk gorengan dibuat dari sambal kacang encer dengan gerusan kasar cabai merah dan bubuhan air jeruk limau. Sambal ini jadi kunci jajanan khas Ramadan bernama mie glosor.
Mie goreng dari tepung tapioka berwarna kuning kunyit ini disajikan dengan potongan gorengan, umumnya bakwan, atau bala-bala dalam istilah setempat. Setelahnya mie diguyur dengan sambal kacang sesuai selera. Gorengan dan mie glosor di meja makan orang Bogor saat bulan Ramadan seperti angkot dan macet di Kota Hujan itu: tak terpisahkan.
Berposisi di poros tengah, sebagai kudapan atau lauk pendamping, menjadikan gorengan lihai bermanuver ke sana kemari. Dalam situasi berbuka puasa, posisi gorengan ini kiranya bisa menyuplai cukup tenaga sampai selesai menjalankan salat Isya’ dan Tarawih, meski hal itu tergantung sebijak apa pilihan bacaan salat sang imam.
Gorengan memastikan perut cukup terisi tanpa perlu buru-buru disuplai nasi yang berpotensi membuat lekas kenyang dan mengantuk. Bahkan setelah menuntaskan makan sekalipun, gorengan masih bisa mengisi celah-celah kosong di perut. Barang secomot atau dua comot pisang goreng atau bakwan, bisa lah.
Di luar momentum bulan puasa, sebuah studi yang dilakukan Cut Rachmi dkk. dalam Eating Behaviour of Indonesian Adolescent menyebutkan gorengan menjadi kudapan favorit remaja selain mie instan dan kembang gula. Jenis gorengan favorit yang dicatat dalam studi yang diterbitkan jurnal Public Health Nutrition terbitan Cambridge University Press (2020) tersebut antara lain adalah bakwan, tahu goreng, sampai tipikal makanan cepat aji ala Barat seperti kentang goreng (French fries) yang dikonsumsi tiga sampai enam kali dalam sepekan.
Penelitian kualitiatif yang dilakukan Lauren S. Blum dan kawan-kawan di lima kawasan urban di Jawa mengungkap: meski konsumsi jajanan tradisional oleh remaja menurun dan kalah pamornya dengan makanan modern dalam kemasan, tapi gorengan tetap eksis sebagai camilan. Dalam penelitian berjudul In-Depth Assessment of Snacking Behaviour in Unmarried Adolescent Girls 16-19 Years of Age Living in Urban Centres of Java, Indonesia (2019) ini, Blum mengungkapkan gorengan seperti halnya camilan: memberikan penangkal kebosanan dan kesepian juga sebagai pengiring perilaku rutin seperti belajar atau menonton.
Berlebih-lebihan bukanlah sesuatu yang baik, begitu halnya dengan konsumsi gorengan yang ditengarai jadi penyebab penyakit seperti jantung dan stroke. Namun menyarankan rebus dan kukus seperti meminggirkan kenyataan semakin hari tempe goreng semakin tipis karena kedelai mahal, bakwan makin menciut ukurannya imbas kenaikan harga terigu, dan yang paling penting kerja pemerintah/petugas partai yang tak becus mengurusi hajat hidup warganya. Warga yang hidup dan menghidupi gorengan itu sendiri.
Editor: Nuran Wibisono