Menuju konten utama
Edukasi Kesehatan

Tanggapan UGM Soal Obat Sirop yang Diduga Picu Gagal Ginjal Akut

Tanggapa UGM soal penggunaan obat sirop yang diduga memicu kasus gagal ginjal akut pada anak-anak.

Tanggapan UGM Soal Obat Sirop yang Diduga Picu Gagal Ginjal Akut
Ilustrasi Obat Batuk Sirup. FOTO/iStockphoto

tirto.id - Kasus gagal ginjal akut pada anak-anak di Indonesia terus meningkat dalam tiga bulan terakhir.

Per kemarin tercatat, ada sebanyak 245 anak di Indonesia menderita gagal ginjal akut. Dari jumlah tersebut, 141 anak di antaranya meninggal dunia akibat penyakit gagal ginjal.

Kementerian Kesehatan RI juga telah mengambil berbagai kebijakan terkait temuan kasus gangguan ginjal akut atipikal (Atypical Progressive Acute Kidney Injury) pada anak-anak.

Di antaranya melarang seluruh apotek agar tidak menjual segala obat dalam bentuk sirop pada masyarakat untuk sementara waktu. Serta mengimbau tenaga kesehatan di fasilitas pelayanan kesehatan agar tidak memberikan resep obat dalam sediaan sirop atau cair hingga pengumuman resmi berikutnya.

Pelarangan ini menyusul adanya laporan pasien anak dengan gangguan gagal ginjal akut terdeteksi terpapar tiga zat kimia berbahaya yakni ethylene glycol (EG), diethylene glycol (DEG), dan ethylene glycol butyl ether (EGBE).

Menanggapi hal ini, Pakar Farmakologi dan Farmasi Klinik UGM, Prof. Zullies Ikawati menegaskan, penyebab gagal ginjal akut pada anak yang terjadi di tanah air masih menjadi sebuah misteri.

Menurutnya, belum bisa dipastikan ada tidaknya keterkaitan antara gagal ginjal akut dengan konsumsi obat berbentuk sirop, terutama yang mengandung parasetamol.

“Ini masih jadi misteri. Kejadian gagal ginjal akut kok baru ada belakangan ini, padahal penggunaan sirop obat parasetamol sudah cukup lama dan aman digunakan,” katanya melalui keterangan tertulis yang diterima Tirto, Senin (24/10/2022).

Sebelumnya, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) menyebutkan, ada lima obat sirop yang dinyatakan mengandung cemaran EG dan DEG di atas batas aman.

Meski demikian, kata Zullies, hingga saat ini semua masih dalam proses penyelidikan untuk memastikan hubungan antara gagal ginjal akut dengan senyawa tersebut dalam kandungan obat.

Zullies memaparkan, bahwa EG dan DEG merupakan satu cemaran yang bisa dijumpai pada bahan baku pelarut pada obat sirop.

Pada obat parasetamol dan banyak obat lainnya yang sukar larut air diperlukan bahan tambahan untuk kelarutan, biasanya di Indonesia digunakan propilen glikol atau gliserin. Bahan baku propilen glikol atau gliserin ini dimungkinan mengandung cemaran zat tersebut.

“Sebenarnya ini wajar, selama masih dalam ambang batas maka tidak berisiko efek toksik termasuk gagal ginjal akut,” jelas Guru Besar Fakultas Farmasi UGM ini.

Lebih lanjut, Zullies menjelaskan ada berbagai faktor penyebab gagal ginjal akut. Misalnya, adanya infeksi tertentu seperti leptospirosis yang salah satunya bisa menyerang ginjal.

Selain itu, infeksi bakteri E. coli juga dapat menyebabkan gagal ginjal akut. Kajian sementara dari Kemenkes menyebutkan bahwa penapisan terhadap virus dan bakteri telah dilakukan dan belum terbukti kuat sebagai penyebab gagal ginjal akut.

Karenanya, Zullies mengimbau masyarakat untuk tetap tenang dan tidak panik.

Untuk saat ini, masyarakat disarankan sementara waktu mengikuti saran dari lembaga resmi pemerintah seperti Kemenkes, BPOM, asosiasi dokter dan lainnya untuk menghindari konsumsi obat bentuk sirop hingga diperoleh hasil yang lebih pasti.

Apabila anak-anak mengalami sakit demam, batuk, maupun pilek sebaiknya mengonsumsi obat parasetamol dalam bentuk puyer, kapsul, tablet, suppositoria atau bentuk lainnya.

Sementara untuk mengurangi rasa pahit dari obat, sebaiknya bisa menambahkan pemanis yang aman bagi anak, dan jangan lupa juga untuk berkonsultasi dengan dokter atau apoteker terkait efek penggunaan obat sirop yang dikonsumsi.

“Untuk parasetamol yang sifatnya mengurangi gejala, mungkin penggunaan sirop lebih berisiko ketimbang manfaatnya saat ini, di mana sedang diteliti kemungkinan adanya cemaran bahan yang bisa membahayakan. Untuk itu bisa dicoba dalam bentuk puyer atau bentuk lainnya,” paparnya.

Zullies menyebutkan, imbauan untuk tidak menggunakan obat dalam bentuk sirop untuk semua pengobatan menjadi keputusan yang sangat dilematis.

Sebab, imbuhnya, obat dalam bentuk sirop banyak digunakan untuk anak-anak yang belum bisa menelan obat berbentuk tablet atau kapsul.

Selain itu, penghentian penggunaan obat sirop ini juga akan berdampak bagi anak-anak penderita penyakit kronis yang harus minum obat rutin berbentuk sirop, di mana dalam penggunaannya selama ini tidak menimbulkan efek samping membahayakan.

Misalnya, anak dengan epilepsi yang harus minum obat rutin, maka ketika obatnya dihentikan atau diubah bentuknya bisa saja menjadikan kejangnya tidak terkontrol.

Mestinya, ujar Zullies, kebijakan ini diatur dengan bijaksana dengan tetap mempertimbangkan risiko dan manfaatnya.

"Memang saat ini risiko terjadinya gagal ginjal akut sepertinya dianggap lebih besar dengan penggunaan sirop sehingga disarankan penghentiannya, tetapi harusnya tidak digebyah uyah (disamaratakan) ya,” pungkas Zullies.

Baca juga artikel terkait OBAT SIRUP

tirto.id - Pendidikan
Sumber: Siaran Pers
Penulis: Dhita Koesno
Editor: Dhita Koesno