tirto.id - Kompolnas menilai pembentukan Densus Antikorupsi atau lebih sering disebut Densus Tipikor penting sebagai langkah Polri merestrukturisasi diri dalam memberantas korupsi. Komisioner Kompolnas Andrea Poeloengan menjelaskan, pembentukan Densus perlu didukung untuk membantu pemberantasan korupsi karena penguatan baru dari satuan Tipikor yang ada.
"Jadi sekali lagi perlu ditegaskan bahwa Densus Anti Korupsi bukan lembaga baru. Existing Tipikor jumlah personel 2.994 tapi belum tersentralisasi. Penambahan personel menjadi 3.506 adalah untuk penguatan fungsi pencegahan, pengawasan internal dan pengendalian serta bantuan teknis: surveillance, digital forensic dan asset tracing," kata Andrea dalam keterangan tertulis kepada Tirto, Senin (23/10/2017).
Pertama, pembentukan Densus sudah dilakukan berdasarkan analisa posisi dalam konteks lingkungan organisasi Polri dalam pemberantasan dan pencegahan korupsi.
Kedua, struktur kewenangan dan koordinasi Densus Anti Korupsi bersifat sentralistis dari tingkat pusat sampai dengan tingkat wilayah di 33 Provinsi Indonesia. Pembagian struktur densus ini nantinya horisontal bersifat fungsional sesuai dengan tugas utama yang dibutuhkan untuk melakukan upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi.
"Dengan struktur Densus Anti Korupsi (Densus AK) yang tersentralisasi ini, penanggungjawab dan perumusan kebijakan serta strategi bidang pemberantasan korupsi berada dalam satu jalur sehingga diharapkan, rumusan kebijakan dan strategi lebih terfokus dan terkoordinasi," kata Andrea.
Selain manfaat lebih terfokus dan terintegrasi, program pemberantasan korupsi pun menjadi mudah untuk dilaksanakan. Polri menjadi lebih dinamis dan responsif dalam rangka menghadapi perubahan ancaman lingkungan strategis dalam rangka mengamankan tujuan dan kebijakan nasional.
Selain itu, pengendalian dan pengawasan lebih mudah, terukur dan kerjasama dalam dan luar negeri dengan aparat penegak hukum dan stakeholder pemberantasan tindak pidana korupsi menjadi lebih fokus dan terkoordinasi.
Menurut Andrea, keberadaan Densus akan menghilangkan peran satuan tipikor di tiap daerah. Namun, hingga pembentukan penuh, satuan daerah akan tetap berjalan, tetapi pelaporan ke Densus Antikorupsi.
"Densus Anti Korupsi (Densus AK) ini sentralisasi, jadi Satker di tingkat Polda dan Polres akan secara bertahap 'dilikuidasi' dan ‘dimerger’, sehingga menepis sangkaan akan terjadi tumpang tindih antar Satker dalam tubuh Polri pada pelaksanaannya," kata Andrea.
Andrea menegaskan, pembentukan Densus Antikorupsi diikuti dengan penguatan dan penambahan kemampuan baru seperti fungsi pencegahan, fungsi pengawasan serta, fungsi bantuan teknis. Kehadiran struktur ini dinilai mampu menciptakan satuan pemberantasan korupsi yang beroperasi secara objektif dan mampu menghadapi upaya intervensi dari pelaku atau pihak terkait dengan tindak pidana korupsi.
Kepolisian pun juga mengajak Kejaksaan Agung dalam pembentukan Densus Antikorupsi. Mereka ingin menerapkan sistem quasi-one roof, yakni secara fisik berkantor dalam satu gedung, tetapi tetap bekerja dengan kewenangan masing-masing. Model ini akan mirip seperti kantor Samsat, yakni terdiri atas Polri, Samsat, Dispenda, dan Jasa Raharja. Penanganan perkara menjadi lebih efektif.
"Jika dalam pelaksanaannya masalah muncul pada penanganan kasus-kasus yang high profile atau menyangkut Politically Exposed Person (PEP), maka masih ada KPK untuk menjadi ‘wasit’ melalui kewenangan Koordinasi dan Supervisi (Korsup) nya," kata Andrea.
Andrea yakin, pembentukan densus antikorupsi akan ada joint investigation dengan KPK dalam penanganan kasus korupsi; penyusunan program pencegahan dan sosialisasi bersama, serta program penanganan perkara online antara KPK-Polri-Kejaksaan. Andrea menambahkan, pembentukan Densus harus diikuti penguatan pengawasan internal dan eksternal dalam kinerja Densus Antikorupsi.
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Maya Saputri