tirto.id - Tatkala bumi terbentuk sekitar 4,6 miliar tahun lalu, kehidupan belum ada di sana. Satu miliar tahun kemudian, secuil kehidupan sederhana berupa algae tiba-tiba menyeruak. Lalu perlahan-lahan segala bentuk kehidupan, termasuk manusia modern, akhirnya memenuhi 'titik biru pucat' seluas 510,1 juta kilometer persegi ini.
Tidak ada yang tahu pasti bagaimana kehidupan tiba-tiba muncul di bumi. Namun, sebagaimana dikisahkan Carl Zimmer dalam Life's Edge: The Search for What It Means to be Alive (2021), manusia menciptakan 'penjelasan' guna memenuhi hasrat keingintahuan tentang asal-usul kehidupan.
Oleh para teolog, kehidupan dijelaskan muncul atas anugerah Tuhan yang melalui kuasanya menciptakan berbagai makhluk hidup secara berpasang-pasangan. Khusus untuk penciptaan manusia, primata paling cerdas sekaligus paling picik yang ada di bumi, penjelasan lain mengemuka. Tuhan, klaim kalangan teolog, meniupkan roh (jiwa, spirit, soul) kepada manusia guna membedakannya dengan makhluk lain.
Komposisi khusus yang menurut orang-orang Yahudi dalam Kitab Pengkhotbah (Ecclesiastes) ini diberikan ketika seorang anak manusia berada dalam rahim ibunya. Atau, menurut Suku Beng yang tinggal di Pantai Gading, roh menyusup ke tubuh manusia karena tempat tinggalnya--dunia lain yang bernama Wrugbe--diokupasi orang-orang mati.
Tentu tak semua sepakat dengan penjelasan teologis tentang asal-usul kehidupan. Erwin Schrodinger, ilmuwan yang dijuluki Bapak Mekanika Kuantum sekaligus peraih Nobel bidang fisika, dalam bukunya berjudul What is Life? The Physycal Aspect of the Living Cell (1967), menyebutkan kunci utama munculnya kehidupan adalah periodic crystal--molekul dalam tataran filosofis yang kemudian menggiring penemuan DNA atau Deoxyribonucleic acid yang melakukan mekanisme hereditas. Ini adalah suatu mekanisme pewarisan ciri-ciri fenotipe (karakter) dari induk kepada keturunannya, tetapi secara tidak ketat atau tidak teratur.
Ketidakteraturan ini, seperti yang dipaparkan Carl Sagan dalam Cosmos (1980), "merupakan buah dari ketidaksempurnaan lingkungan" di mana nenek moyang dari segala hal yang disebut 'hidup' tinggal. Ketidaksempurnaan ini disampaikan/diwariskan guna menggiring terjadinya evolusi hingga akhirnya keberagaman makhluk hidup muncul di muka bumi. Sebuah penjelasan yang identik dengan yang disampaikan Charles Darwin lebih dari seratus tahun sebelumnya.
Dalam On the Origin of Species (1859), Darwin menyebut bahwa makhluk hidup di muka bumi mula-mula tercipta dari "satu atau beberapa bentuk kehidupan (sederhana)" yang berhasil melakukan evolusi karena faktor seleksi alam. Karena tidak ingin dipersekusi kalangan teolog seperti yang dialami Nicolaus Copernicus dan Galileo Galilei, dalam bukunya Darwin menyatakan bahwa "satu atau beberapa bentuk kehidupan (sederhana)" tersebut diciptakan oleh 'The Creator' alias 'Sang Pencipta'. Padahal menurutnya "satu atau beberapa bentuk kehidupan (sederhana)" yang memulai evolusi tersebut tercipta atas "proses kimiawi dari material-material bumi purba."
Penjelasan ini diamini banyak kalangan ilmuwan hari ini, termasuk Nick Lane melalui studinya berjudul "The Energetics of Genome Complexity" (Nature Vol. 467 2010). Menurut Lane, makhluk hidup yang beraneka ragam di bumi hari ini mula-mula tercipta karena satu organisme sederhana berhasil melakukan evolusi, yang tercipta dari amino acid (asam amino) gara-gara proses kimiawi dari elemen dasar bumi.
Dan salah satu elemen dalam proses kimiawi yang melahirkan asam amino adalah mineral lempung (clay mineral). Elemen yang terkandung dalam tanah liat--bahan baku yang diyakini kalangan teolog sebagai pembentuk Adam dan Hawa.
Tanah Liat
"Semua makhluk hidup yang ada di bumi terbentuk dari senyawa organik yang serupa," tulis Leslie E. Orgel dalam artikelnya berjudul "The Origin of Life on the Earth" (Scientific American Edisi Oktober 1994).
Senyawa organik yang serupa itu adalah amino acid (asam amino), senyawa yang mengikat dua hingga lima puluh amino (-NH2) dan alkanoat (–COOH) dalam satu rantai (polypeptides) kesatuan guna membentuk protein. Melalui senyawa organik ini, organisme sederhana yang menjadi eyangnya segala makhluk hidup tercipta. Dan perlahan, dari kesederhanaannya, organisme tersebut menciptakan nucleid acid (asam nukleat) dalam dirinya. Awalnya, asam nukleat itu berbentuk RNA (Ribonucleic acid). Namun, karena seleksi alam akhirnya menggiring kelahiran organisme yang lebih kompleks, DNA (Deoxyribonucleic acid) pun terbentuk.
Kedua nukloetida ini (RNA dan DNA) bekerja selayaknya binari pada komputer yang bertugas menyimpan informasi penulisan urutan asam amino untuk keturunannya. Jika "01100001" pada binari menghasilkan "a" (kecil) di layar komputer, misalnya, maka kode "CUU" yang termuat dalam RNA memerintah organisme untuk menambah leusina (salah satu asam amino yang berperan dalam pembentukan otot) pada dirinya.
Perlahan-lahan, selayaknya DOS yang bertransformasi menjadi Windows, urutan asam amino pada organisme kian berkembang. Nick Lane dalam studinya berjudul "The Energetics of Genome Complexity" (Nature Vol. 467 2010), menyebut bahwa usai hadir dalam bentuk sederhana melalui nukloetida, terbentuk dua kelompok organisme, yakni prokaryotes dan eukaryotes. Dan karena eukaryotes ditenagai DNA yang lebih kompleks dari RNA, kelompok ini akhirnya berkembang jauh lebih besar karena dapat memanfaatkan energi lebih baik. Hingga akhirnya tercipta makhluk yang tersusun atas 3 miliar pasangan DNA bernama manusia.
Diyakini banyak ilmuwan, seperti Alexander L. Oparin dan J. B. S Haldane yang melakukan penelitian tentang asal-usul kehidupan pada dekade 1930-an, asam amino terbentuk dari reaksi kimiawi yang terjadi pada 'prebiotic soup (sup purba)', suatu kondisi hipotesis Bumi antara 4 hingga 3,7 miliar tahun yang lalu. Kala itu, menurut perkiraan, bumi mengandung sedikit oksigen, tetapi kaya hidrogen.
Selain itu, bumi juga diduga kaya senyawa-senyawa lain yang dapat melepas atom hidrogen pada zat lain, semisal gas metan dan amonia. Akhirnya, suatu hari di bumi yang sepi itu, unsur-unsur tersebut saling berinteraksi, yang terjadi atas bantuan sinar matahari, petir, dan juga air, hingga menghasilkan asam amino. Hipotesis yang diamini oleh Harold C. Urey dan Stanley L. Miller dari University of Chicago yang berhasil menciptakan asam amino selepas mencampur-baurkan metan, amonia, air, dan hidrogen dengan petir berupa aliran listrik.
Sebagaimana dipaparkan Cyril Ponnamperuma dalam studinya berjudul "Clay and the Origin of Life", clay mineral (mineral lempung) adalah suatu elemen yang terkandung dalam tanah liat, diyakini terlibat dalam proses penciptaan asam amino atas reaksi kimiawi yang terjadi pada sup purba tersebut. Ini terjadi karena tak lama usai suhu bumi kian bersahabat dan air mengemuka, terakumulasi tanah liat yang mengandung mineral lempung di permukaan bumi. Diduga, mineral lempung ini mengandung mikromolekul yang memiliki sifat mengadsorbsi (menyerap) senyawa lain.
Sementara itu, sebagaimana dipaparkan Greenwood Hansma, fisikawan asal University of California at Santa Barbara, dalam studinya berjudul "Did Biology Emerge from Biotite in Micaceous Clay?" (Preprints 2020), mikromolekul yang dikandung mineral lempung adalah biotit, suatu mikromolekul yang memiliki sifat yang dapat menahan air dalam dirinya. Biotit juga terbukti memiliki konsentrasi ion kalium yang tinggai, ion yang juga ditemukan pada setiap makhluk hidup.
Atas sifat-sifatnya tersebut, mineral lempung diyakini bertugas sebagai katalis, yakni mempercepat reaksi kimiawi penciptaan asam amino.
Gerald F. Joyce, ahli kimia dan biologi molekul The Scripps Research Institute, dalam studinya berjudul "Prospects for Understanding the Origin of the RNA World" (The RNA World 1993), menyebut bahwa mineral lempung tak hanya berperan sebagai katalis reaksi kimiawi penciptaan asam amino, tetapi juga berperan sebagai katalias biopolimer (pengikatan rantan atom/karbon) pembentukan nukloetida, entah RNA ataupun DNA, pada organisme.
Saat melakukan penelitian mengembangkan RNA dengan memanfaatkan mineral lempung sebagai katalis, Joyce berhasil memanjangkan rantai RNA lebih panjang dari 40 mer (unit ukuran urutan biologis). Bagi Joyce, dengan RNA kian memanjang, keanekaragaman hayati dapat tercipta.
Akhirnya, tanah liat sukses mendamaikan kaum teolog dan ilmuwan tentang perdebatan penciptaan makhluk hidup.
Editor: Irfan Teguh