tirto.id - Restu Soeharto kepada Freeport pada 7 April 1967 membuat orang-orang berdatangan ke pegunungan Jayawijaya itu. Kontrak karya Freeport dengan Pemerintah RI merestui eksploitasi biji tembaga yang bukan main banyaknya di Gunung Ertsberg, selain emas. Kini kegiatan Freeport terpusat di Gunung Grasberg, dengan logam tambang utama emas.
Demi mendukung kegiatan penambangan, sebuah hunian yang kemudian disebut Tembagapura pun dibangun pada 1972. Kota kecil yang secara administratif hanyalah distrik atau kecamatan ini masuk dalam wilayah Kabupaten Mimika.
Dua dekade setelah Tembagapura dibangun, muncullah "kota" baru di kabupaten yang sama. Distrik yang sama-sama terkait dengan Freeport dinamai Kuala Kencana. Presiden Soeharto meresmikannya pada 5 Desember 1995 dan menjadi kota pertama yang punya saluran air kotor yang terhubung dengan pengolahan limbah.
Menurut data BPS tahun 2010, Distrik Tembagapura memiliki 16.477 penduduk, dengan rincian 13.147 laki-laki dan 3.330 perempuan. Setidaknya, 15.806 orang di antara penduduk itu adalah karyawan PT Freeport Indonesia dan 99,9 persen berjenis kelamin laki-laki. Sementara, Distrik Kuala Kencana berpenduduk 18.734 jiwa, terdiri atas 10.406 laki-laki dan 8.328 perempuan.
Kuala Kencana dan Tembagapura sama-sama sulit dijangkau. Untuk menuju ke sana, butuh waktu 3 jam dengan bis antipeluru atau helikopter dari bandar udara Mozes Kilangan di Timika.
Selain Tembagapura dan Kuala Kencana, ada kota-kota lain yang juga tumbuh karena tambang. Di Sumatera Barat, ada kota Sawahlunto. Kota ini ada setelah ditemukannya batubara oleh Ir. Willem Hendrik de Greve pada 1867 di Sungai Ombilin. Sejak 1870, sudah ada rencana pembangunan fasilitas tambang.
Menurut Andi Asoka dalam Sawahlunto, Dulu, Kini dan Esok: Menyongsong Kota Wisata Tambang yang Berbudaya (2005), kota ini mulai dibangun sejak 1888. Demi memperlancar arus batubara, sebuah jaringan rel kereta api yang menghubungkan Padang dengan Sawahlunto juga dibangun. Freek Colombijn dalam Paco-paco Kota Padang: Sejarah Sebuah Kota Abad 20 (2006) menyebut jaringan kereta api itu dibangun sejak 1889 hingga 1896. Aset-aset perusahaan Belanda yang mengelola batubara Ombilin itu kemudian diambil-alih oleh PT Bukit Asam.
Sejarah kota Tanjung Enim pun tak lepas dari maskapai batubara bernama Lematang Maatschappij sejak 1895 di Sumatera Selatan. Tambang batubara dari daerah ini masih dikeruk hingga sekarang. Batubara dari Tanjung Enim itu dikirim dengan kereta api ke Selat Panjang, Lampung.
Selain Tanjung Enim, di Kalimantan Timur terdapat juga tambang batubara Oost Borneo Maatschappij (OBM) di Loa Kulu. Dahulu, daerah Loa Kulu lebih maju daripada kota Samarinda. Listrik Samarinda bahkan dipasok dari Loa Kulu. Kota Loa Kulu mulai sepi dari pertambangan setelah 1970. Meski saat ini tambang batubara masih merajalela di sekitar bekas daerah operasi OBM. Tambang batubara Loa Kulu itu beroperasi hampir bersamaan dengan di Sawahlunto.
Ratusan kilometer dari Loa Kulu, beberapa kota kecil juga muncul jelang abad ke-20. Sejak adanya sumur minyak Mathilda pada 1897 di Teluk Balikpapan, kota kecil bernama Balikpapan muncul. Selain pemukiman, kota ini ini kemudian punya rel kereta api, kilang minyak, rumah sakit, sekolah, pasar dan pelabuhan.
Puluhan kilometer dari Mathilda, ada sumur Louise yang belakangan melahirkan kota distrik bernama Sanga-sanga. Dibanding Samarinda zaman kolonial, kota ini punya fasilitas kota yang lebih baik. Meski minyak kini sepi di Sanga-sanga, pertambangan batubara sudah mengepung kota kecil ini.
Balikpapan dan Sanga-sanga sebetulnya kalah tua sumurnya ketimbang sumur minyak di Pangkalan Brandan yang sudah ada sejak 1885. Setelah penemuan minyak oleh pengusaha perkebunan tembakau Aeilko J. Zijlker, disertai izin dari Sultan Langkat dan pemerintah kolonial, kota distrik Pangkalan Brandan yang kini termasuk Kabupaten Langkat, Sumatera Utara, ini pun berkembang.
Di masa-masa kolonial, kota-kota tambang yang baru muncul di pergantian abad ke-19 dan 20 itu mengundang para pendatang untuk menjadi pekerja. Daerah yang semula hanya kampung berubah menjadi kota distrik yang lebih ramai. Setidaknya ada Duri di Riau, Cepu di Blora Jawa Tengah, Pendopo di Muara Enim Sumatra Selatan—semuanya ramai karena minyak. Sebagian keturunannya kemudian menjadi penduduk di kota-kota yang baru muncul tersebut.
Dari sekian banyak kota yang muncul dan berkembang setelah pergantian abad ke-19 menuju abad ke-20, Kota Singkawang adalah salah satu kota tambang paling awal di Indonesia. Tambang emas di Monterado yang dikerjakan oleh orang-orang Tionghoa di Kalimantan Barat itu kemudian memunculkan kota Singkawang. Menurut Harry Purwanto dalam Orang Cina Khek Dari Singkawang (2005), sejak 1740 mereka datang dan dipekerjakan di pertambangan emas oleh Sultan Sambas.
Setelah Indonesia merdeka, banyak bekas tambang yang dulu dirintis maskapai tambang Belanda direbut oleh pemerintah Indonesia. Pada 1960an, setelah Soeharto naik pemerintah Indonesia justru memberi mandat untuk menambang pada perusahaan asing. Ada Inco yang belakangan jadi Vale sebagai pengelola tambang nikel di Sarowako, Sulawesi Selatan, 1968. Sarowako yang terletak di tepi danau Matano pun tumbuh jadi kota tambang.
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Maulida Sri Handayani