tirto.id - Ilmu psikologi mengenal sebuah kondisi khusus yang disebut ginofobia. Ia ditandai dengan rasa takut berlebihan atau keengganan terhadap perempuan. Meski fobia spesifik ini relatif langka, belum ada catatan statistik resmi yang valid mengenai jumlah orang dengan kondisi ini secara global.
Situs Medical News Today menyebut bahwa penderita ginofobia sangat mungkin mengalami ketakutan yang intens dan tidak rasional terhadap perempuan, bahkan meski hanya memikirkannya saja.
Ketakutan terhadap perempuan bisa menjadi fobia dalam arti klinis ketika orang yang bersangkutan bereaksi berlebihan terhadap situasi tersebut. Seperti fobia lainnya, ginofobia dapat langsung menyebabkan ketakutan atau kecemasan saat memikirkan atau berada di dekat perempuan.
Di Rwanda, seorang pria bernama Callixte Nzamwita memperlihatkan gejala ginofobia dalam kehidupan sehari-harinya. Lantaran benar-benar takut dengan perempuan di sekitarnya, dia sampai rela membangun rumah dengan pagar tembok setinggi hampir 5 meter dan mengasingkan diri di dalamnya selama 55 tahun.
Di dalam rumah itulah, Nzamwita melakukan segala aktivitasnya. Interior rumah itu tak dibagi ruangan per ruangan. Jadi, rumahnya hanya terdiri dari satu ruangan besar yang digunakan untuk tidur, memasak, buang air, hingga mencuci pakaian.
Alkisah, saat baru berusia 16 tahun, Nzamwita mengalami kesulitan bicara dan merasakan ketakutan yang tak bisa dijelaskan gara-gara kehadiran perempuan di sekitarnya. Sejak itu, dia terus tinggal di dalam rumah dan hanya sesekali keluar saat merasa aman.
Segera setelah merasakan kehadiran perempuan atau sekadar mendengar suara perempuan, Nzamwita akan berlari kembali masuk ke dalam rumahnya.
Menurut pengakuan warga di sekitar rumahnya, kondisi yang dialami Nzamwita ini tidak pernah mendapat pemeriksaan medis secara detail. Namun, gejala yang diperlihatkannya benar-benar mengerucut pada kondisi psikologis ginofobia.
Masalahnya, penelitian medis mengenai kondisi ini pun masih sangat terbatas. Akar munculnya gejala ginofobia pada manusia terbilang rumit dan menyangkut banyak aspek, seperti sosial-budaya, latar belakang keluarga, hingga spiritualitas.
Catatan Kuno
Meski ginofobia sangat langka dan masih perlu dipelajari lebih mendalam, bukan berarti ia tak punya sejarah. Salah satu catatan terawal yang ditengarai sebagai ginofobia tercantum dalam legenda pejuang perempuan Amazon dari Yunani dan Romawi. Legenda itu berkisah bahwa para pejuang perempuan Amazon yang gagah berani sanggup melawan pria-pria dan bisa “merampas” maskulinitas mereka.
“Motif pemberontakan suku Amazon adalah ekspresi paling menonjol dari ginofobia laki-laki, atau lebih tepat disebut sebagai rasa takut terhadap perempuan,” kata Eva Keuls dalam The Reign of the Phallus: Sexual Politics in Ancient Athens (1993:3).
Lebih lanjut, Keuls juga menuliskan gambaran masa itu ketika perempuan dianggap sebagai harimau yang dikurung dan bersiap membalas dendam pada kaum laki-laki. Selain itu, manifestasi ginofobia dalam budaya Eropa juga terkait dengan perburuan penyihir di era Abad Kegelapan.
Keuls juga mencatat peran agama Kristen dalam menyuburkan ginofobia yang menurutnya dimulai dari konsep “dosa asal” yang dilakukan Adam dan Hawa.
Dalam beberapa kasus, kemunculan gejala ginofobia dipicu oleh trauma masa lalu atau hubungan dengan lawan jenis yang tidak sehat. Mudah ditebak bahwa sebagian besar penderita ginofobia adalah pria. Namun, gejala-gejalanya juga bisa muncul pada perempuan.
Karena fobia tidak berakar pada pola pikir rasional dan dapat berkembang karena pengalaman tertentu atau paparan rangsangan tertentu, siapa pun berpotensi mengembangkan fobia spesifik dalam keadaan tertentu, termasuk perempuan. Hal itu mungkin terjadi karena trauma masa kecil yang melibatkan perempuan lain.
Para ahli mencoba mengupas ginofobia melalui topik-topik penelitian terkait seperti kekerasan dan pelecehan berbasis gender. Salah satu studi penting dilakukan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Lembaga tersebut menemukan bahwa 1 dari 3 perempuan di dunia pernah mengalami kekerasan fisik atau seksual yang dilakukan oleh pasangan ataupun orang lain selain pasangannya. Keadaan ini pun diduga berkontribusi terhadap keberlanjutan ginofobia.
Menurut The National Health Service (NHS), fobia spesifik seperti ginofobia memang sangat mungkin berkembang sejak usia remaja. Akan tetapi, fobia itu kerap bisa teratasi seiring bertambahnya usia. Oleh karena itu, ketakutan Nzamwita yang berlangsung selama 55 tahun menarik untuk dikaji lebih rinci.
Hidup Nyaman di Pengasingan
Meski kemungkinan untuk mengganggu masyarakat sekitarnya kecil, orang-orang dengan ginofobia cukup menyita perhatian publik. Penelitian psikologis yang dilakukan oleh Havelock Ellis pada akhir abad ke-19 menemukan bahwa ginofobia pernah dianggap sebagai salah satu kekuatan pendorong menuju homoseksualitas.
Dalam kasus Nzamwita, dia sempat diliput oleh media Afrimax. Media tersebut mendatangi Nzamwita di rumahnya dan melakukan wawancara. Ironis, wawancara lantas menguak bahwa Nzamwita sebenarnya juga tak bisa sepenuhnya melakukan kesehariannya tanpa bantuan perempuan. Untuk beberapa hal, Nzamwita tetap butuh pertolongan para perempuan yang tinggal di sekitar rumahnya.
Beberapa kali dalam seminggu, perempuan tetangga Nzamwita melemparkan makanan dan barang-barang kebutuhan hidup lain ke rumahnya. Salah satu narasumber menyebutkan bahwa meski dia kerap membawakan makanan, tak sekalipun Nzamwita mengizinkannya masuk ke batas tembok rumahnya.
Meski begitu, selama lebih dari 5 dekade Nzamwita justru telah mengembangkan metode bertahan hidup yang mandiri. Kemandirian itu juga yang diakuinya sebagai alasan mengapa sejak dulu dia takut pada perempuan.
“Saya pikir hal yang membuat saya takut pada perempuan sebenarnya adalah karena saya miskin,” kata Nzamwita seperti dinarasikan oleh Afrimax.
Sayangnya, diagnosis pribadinya itu belum pernah dianalisa secara klinis. Meski tampak pucat dan tak bergairah, Nzamwita yang telah berusia 71 tahun itu juga mengaku nyaman dengan caranya menjalani hidup. Dia bahkan tak merasa ada yang salah, meski pilihan hidupnya itu sangat unik dan jauh berbeda dengan orang-orang lain.
Penulis: Tyson Tirta
Editor: Fadrik Aziz Firdausi