tirto.id - Sejak menjadi juara Piala Dunia 1966, timnas Inggris selalu gagal di turnamen besar. Setiap kali turnamen besar digelar, kalau tidak nonton dari rumah, Inggris biasanya hanya menjadi pelengkap. Jika tidak beruntung, mereka bahkan hanya menjadi bahan olok-olokkan para penggemar sepak bola di dunia. Karenanya kegagalan demi kegagalan yang dialami timnas Inggris tidak pernah dijadikan sebagai pengalaman, tetapi seringkali justru dirayakan.
Pada bab 16 bukuberjudul Soccernomics, Simon Kuper menjelaskan secara menarik mengapa Inggris selalu kalah dan negara lain yang menjadi pemenangnya. Menurutnya, setiap kali Inggris berlaga di Piala Dunia, negara tempat berdirinya menara Big Ben itu mempunyai delapan tahapan kegagalan yang dikonsumsi secara berulang-ulang:
(1) Sebelum Piala Dunia digelar, Inggris yakin akan menjadi juara; (2) selama turnamen, Inggris akan bertemu dengan musuhnya selama masa perang; (3) Inggris akan mengeluh bahwa keberuntungan tidak berpihak kepada mereka; (4) Inggris juga akan mengeluh bahwa lawan-lawannya menggunakan cara licik untuk mengalahkan mereka; (5) Inggris akhirnya gagal saat turnamen masih jauh dari selesai -- Piala Dunia 1990 adalah satu-satunya pengecualian; (6) satu hari setelah kegagalan, kehidupan orang-orang Inggris kembali normal; (7) Inggris menemukan kambing hitam dari kegagalan mereka; dan terakhir, (8) Inggris yakin bahwa mereka bisa memenangi Piala Dunia edisi selanjutnya.
Menariknya, analisis Simon Kuper yang sebelumnya hampir selalu tepat tersebut ternyata menjauh dari timnas Inggris di Piala Dunia 2018, bahkan sejak tahap pertamanya.
Menyoal itu, para penggemar Inggris sepertinya sadar bahwa mereka sudah berulangkali salah jalan. karenanya, saat Inggris dipastikan lolos ke Piala Dunia 2018 pada 5 Oktober 2017 lalu, daripada kembali berharap secara sia-sia, mereka justru memilih untuk menghujat timnya.
Saat itu, menang 1-0 atas Slovenia, Inggris tampil super buruk. Penggemar Inggris dibuat bosan. Paul Hayward, penulis The Telegraph yang pernah menjadi ghostwriter biografi Alex Ferguson, mewakili perasaan para penggemar Inggris. Dalam salah satu tulisannya di Telegraph ia mengatakan bahwa "ada kesalahan serius yang sedang terjadi di dalam diri timnas Inggris". Puncaknya, sebelum berangkat ke Piala Dunia 2018, para penggemar Inggris pun tak berharap banyak pada timnya.
Perubahan Krusial Inggris
Dari situ, peruntungan Inggris di Piala Dunia 2018 justru berubah. Saat Jerman dan Argentina -- dua mantan lawan perang Inggris yang pernah membuat mereka meradang di Piala Dunia -- pulang lebih awal, Inggris justru berhasil lolos ke babak perempat-final Piala Dunia 2018. Caranya pun kelewat ajaib: mereka berhasil mengalahkan Kolombia melalui drama adu penalti di babak 16 besar.
Sebelumnya, seperti membayar pajak dan kematian, kalah adu penalti adalah sebuah kepastian bagi timnas Inggris. Setidaknya sejarah memberi bukti: pada Piala Dunia 1990, 1998, dan 2006, Inggris gagal meraih gelar karena kalah beradu algojo dengan lawan dari titik 12 meter.
Selain karena ekspektasi rendah dari pendukungnya dan kemenangan adu penalti yang sebelumnya langka, peruntungan Inggris di Piala Dunia 2018 ternyata juga didukung faktor lain yang juga tak biasa: di bawah asuhan Gareth Southgate, Inggris bermain dengan formasi tiga bek yang cukup unik. Dalam perkembangan taktik sepakbola sejauh ini, formasi tiga bek Inggris itu bahkan tidak mempunyai padanan.Menurut Michael Cox, dalam salah satu analisisnya di ESPN, formasi tiga bek Inggris bukanlah formasi tiga bek konvensional. Bermain dengan formasi 3-3-2-2, tiga pemain belakang Inggris dihuni oleh ball-palying defender. Duet wing-back Inggris bisa memainkan berbagai macam peran: mereka bisa menjadi bek keempat dan kelima, menjadi pemain tengah keempat dan kelima, dan bisa menjadi penyerang ketiga dan keempat. Daripada dihuni oleh kreator serangan, gelandang serang Inggris justru diisi oleh dua orang pemain yang pintar membuka dan mencari ruang. Di depan, tidak hanya menjadi penuntas serangan, dua penyerang Inggris juga bisa berperan sebagai pengalih perhatian.
Pendekatan unik Inggris tersebut memang membantu Inggris melaju jauh di Piala Dunia 2018. Namun pendekatan taktik tersebut bukannya tanpa kelemahan. Menurut Cox, kunci dari pendekatan taktik Inggris tersebut adalah pergerakan dari dua gelandang serangnya, yang biasanya dihuni Jesse Lingard dan Dele Alli, yang bergerak di belakang Harry Kane dan Raheem Sterling.
Saat pergerakan kedua pemain tersebut dibatasi, Inggris bisa mati kutu. Terlebih, Soutgate sejauh ini belum memperlihatkan Inggris mempunyai rencana cadangan. Dan Swedia, lawan Inggris di babak perempat-final, bisa memanfaatkan kelemahan taktik unik Inggris tersebut.
Pelajaran dari Tunisia dan Kolombia
Saat Inggris bertanding melawan Tunisia, Inggris langsung tancap gas sejak awal pertandingan. Pada menit ke-11 Inggris sudah unggul terlebih dahulu. Dan saat pertandingan memasuki turun minum, sementara Tunisia hanya mampu melakukan 4 kali percobaan tembakan ke gawang, Inggris sudah melakukan 12 kali percobaan tembakan ke arah gawang.
Kunci dari determinasi Inggris di babak pertama tersebut terjadi karena pergerakan yang dilakukan Delle Ali dan Jesse Lingard. Saat itu, mereka rajin bergerak ke lini depan, membuat Inggris tampak seperti bermain dengan empat penyerang. Karena dua full-back Tunisia terlalu sibuk mengurusi dua wing-back Inggris dan mereka hanya memainkan satu gelandang bertahan, dua bek tengah Tunisia kesulitan untuk menghadapi pergerakan kedua pemain itu.
Pada babak kedua, Nabil Maaloul, pelatih Tunisia, kemudian mengganti formasi timnya dari 4-1-4-1 menjadi 5-3-2. Dengan formasi itu, mereka juga bertahan lebih dalam. Tujuannya jelas: Tunisia ingin membatasi pergerakan Lingard dan Ali dengan menambahkan pemain di belakang dan di depan garis garis pertahanan. Meski kecolongan di menit-menit akhir, pendekatan itu dapat dikatakan berhasil. Inggris kesulitan mengirimkan umpan ke daerah sepertiga akhir. Mereka hanya melakukan 6 kali percobaan tembakan ke arah gawang di sepanjang babak kedua yang sebagian besar terjadi berkat bola-bola mati.
Apa yang dilakukan Tunisia di babak kedua tersebut kemudian ditiru oleh Kolombia pada babak 16 besar. Bermain dengan formasi 4-4-2 berlian pada babak pertama, Kolombia memang berhasil membatasi pergerakan ke depan yang biasanya dilakukan Alli dan Lingard. Namun, karena Kolombia bermain menyempit di lini tengah, Alli dan Lingard masih bisa bergerak ke samping untuk membantu Trippier dan Young, duet wing-back Inggris. Kedua wing-back Inggris tersebut kemudian begitu hidup dan beberapa kali mengancam gawang Kolombia.
Secara cerdik, Pekerman lalu mengubah pendekatannya pada babak kedua. Mantan pelatih Argentina tersebut mengganti formasi timnya menjadi 3-4-3. Dengan formasi itu, dua penyerang sayap Kolombia bisa membantu dua wing-back-nya saat Alli dan Lingard bergerak melebar. Saat mereka maju ke depan, kedua wing-back Kolombia juga membatu tiga bek tengah mereka. Hasilnya, terutama setelah Inggris mampu mencetak gol melalui penalti, Kolombia justru terlihat lebih berbahaya daripada anak asuh Gareth Southgate tersebut.
Menanti Adopsi dan Adaptasi ala Swedia
Pendekatan yang dilakukan Tunisia dan Kolombia di babak kedua tersebut sepertinya juga akan dilakukan Swedia untuk membuat Inggris tak berkembang di babak perempat-final. Swedia sejauh ini memang tidak pernah bermain dengan formasi tiga bek, tetapi formasi 4-4-2 yang mereka terapkan juga sangat mendukung untuk membatasi pergerakan Alli dan Lingard.
Dengan bertahan secara mendalam dengan jarak antar lini yang rapat, seperti yang mereka terapkan saat mengalahkan Meksiko dan Denmark, Ali dan Lingard akan kesulitan untuk muncul dari lini kedua. Saat mereka bergerak ke samping pun, Emil Forsberg dan Victor Claesson, dua gelandang tengah terluar Swedia, juga bisa menyulitkan mereka. Terlebih, selain bagus dalam bertahan, dua pemain tersebut bukan pemain sayap murni yang tak keberatan saat bermain merapat dengan pemain tengah.
Meski begitu, Swedia sebaiknya tidak hanya fokus dengan Lingard dan Alli. Mereka harus ingat bahwa Inggris berhasil lolos ke babak perempat-final juga karena kemampuan mereka dalam memanfaatkan bola-bola mati. Sejauh ini, dari 9 gol yang sudah mereka cetak di Piala Dunia sejauh ini, 7 gol Inggris berawal dari bola-bola mati (3 penalti, 3 tendangan sudut, dan 1 tendangan bebas). Bagaimana pun, pelanggaran-pelanggaran di daerah berbahaya harus dihindari oleh pemain-pemain Swedia.
Dengan gaya bertahannya, Swedia memang berpeluang besar merepotkan Inggris. Namun, Inggris sedang dalam momentum yang bagus untuk melaju ke semifinal, pencapaian yang terakhir mereka raih di Piala Dunia 1990 lalu.
Itu artinya, setelah Inggris berhasil membuat empat tahapan awal analisis Simon Kuper menguap begitu saja, mereka juga siap untuk menghapus empat tahapan sisa, yang sebelumnya terlihat seperti teman karib yang tidak menyenangkan.
Editor: Zen RS