tirto.id - “Saat itu, kalau mau cari pekerjaan di Jakarta gampang sekali, asalkan mau kerja saja. Namun, untuk memperoleh rumah, betapa susahnya,” kenang Thomas Sebayang, mantan wartawan yang pensiun tahun 1998.
Dikutip dari artikel berjudul “Menyusuri Sejarah Perumnas, Semuanya Berbahagia Dapat Rumah Murah” dalam portal BeritaRayaOnline (20/09/2017), warga Perumnas Depok I ini melanjutkan kisah perjuangannya memperoleh tempat tinggal semasa muda.
Pada era 1980-an itu, Thomas sering meliput di lingkungan Departemen Pekerjaan Umum (PU) untuk menulis berita-berita tentang perumahan, terutama terkait program yang sedang digalakkan Perum Pembangunan Perumahan Nasional (Perumnas) kala itu.
Hingga suatu kali, berita yang ditulis Thomas dibaca oleh Menteri Negara Perumahan Rakyat (Menpera) Cosmas Batubara. Berkah baginya karena terbuka peluang untuk bisa memiliki rumah sendiri yang layak huni dan bisa diangsur dengan cicilan yang terjangkau.
Dan, di Perumnas Depok I itulah Thomas dan keluarganya menetap dengan tenang dari masa demi masa.
Riwayat Rumah untuk Rakyat
Perumnas Depok I yang ditinggali Thomas merupakan proyek pertama Perum Perumnas sejak resmi didirikan pada 18 Juli 1974. Selain Depok I atau yang dulu bernama Depok Jaya, dibangun pula permukiman serupa di Depok Utara, sebelum dilanjutkan dengan pembangunan Perumnas Depok II dan Depok Timur (Tabloid Reformata, Juli 2007, hlm. 25).
Presiden Soeharto sendiri yang meresmikan perumahan itu pada 12 Agustus 1976. Pak Harto memilih menumpang kereta api listrik (KRL) dari Jakarta menuju Depok kendati jaraknya tidak terlalu jauh. Presiden rupanya sekaligus akan meresmikan beroperasinya KRL jurusan Depok-Bogor pada hari yang sama.
Sebenarnya, ide menyediakan rumah layak dan murah untuk rakyat bukan terlahir di era Orde Baru, kendati memang masif digalakkan selama rezim Soeharto itu. Gagasan ini resmi tercetus dalam Kongres Perumahan Rakyat Sehat pada 25-30 Agustus 1950 yang sekaligus menjadi tonggak sejarah pengadaan rumah rakyat di Indonesia (Prisma, Masalah 8-12, 1994: 48)
Dipaparkan oleh Vivek Neelakantan dalam buku Science, Public Health and Nation-Building in Soekarno-Era Indonesia (2017), tujuan awal kongres itu adalah membahas tentang eksplorasi sekaligus peremajaan bagi rumah-rumah warga yang kurang mampu (hlm. 14).
Dalam perjalanan kongres yang digelar di Bandung itu, lantas tercetus gagasan, mengapa pemerintah tidak memfasilitasi pembangunan rumah sederhana untuk rakyat? Dari sinilah usulan membangun rumah-rumah rakyat untuk pertamakalinya menjadi bahasan resmi.
Pemerintah RI di bawah pimpinan Presiden Sukarno yang belum lama berdiri sebagai negara berdaulat penuh dan masih direcoki dengan sejumlah gerakan separatis di berbagai daerah segera bergerak, menyusun rencana untuk menyediakan perumahan bagi rakyat.
Tanggal 20 Maret 1951, dibentuklah Badan Pembantu Perumahan Rakyat sebagai tindak lanjut atas pembahasan dalam kongres itu. Ini merupakan badan penasihat untuk yang bertugas memberikan saran dan masukan kepada presiden atau institusi pemerintahan terkait mengenai rencana pembangunan rumah untuk rakyat (Siswono Yudohusodo, Rumah untuk Seluruh Rakyat, 1991: 111).
Setahun berselang, proyek perumahan nasional pertama dalam sejarah kemerdekaan RI dimulai, dengan diresmikannya Jawatan Perumahan Rakyat yang bernaung di bawah Kementerian Pekerjaan Umum dan Tenaga, serta Yayasan Kas Pembangunan (YKP), tanggal 25 April 1952.
Pada perkembangannya, seperti dikutip dari buku Setengah Abad Perumahan Rakyat (1995) terbitan Kantor Menpera, YKP membangun 12.460 unit rumah di 12 kota hingga tahun 1961 (hlm. 139). Namun, lantaran ini adalah proyek massal dengan dana yang amat besar, ditambah situasi perekonomian negara yang tidak terlalu baik, membuat YKP mengalami kesulitan keuangan.
Akibatnya, proyek pengadaan rumah rakyat tersebut tersendat. Gonjang-ganjing politik selepas terjadinya peristiwa Gerakan 30 September 1965 semakin membuat program ini terabaikan, hingga pergantian kekuasaan dari Orde Lama ke Orde Baru.
Abdi Negara Paling Dimudahkan
Penyediaan perumahan nasional menjadi salah satu target sasaran dalam Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) II ala Presiden Soeharto yakni periode 1974-1979. Sebelumnya, pada Repelita I (1969-1974), pemenuhan kebutuhan dasar dan infratruktur dengan penekanan di sektor pertanian menjadi fokus utama.
Maka, dalam konteks ini, awal Repelita II dimulai dengan dibentuknya Badan Kebijaksanaan Perumahan Nasional (BKPN). Pemerintah kemudian menunjuk Bank Tabungan Negara (BTN) sebagai mitra untuk memfasilitasi KPR atau Kredit Pemilikan Rumah.
Dan, sebagai tindak-lanjut atas program perumahan dan permukiman Orde Baru ini, diresmikan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) berbentuk Perusahaan Umum (Perum) yakni Perumnas pada 18 Juli 1974.
Misi yang diusung dari gagasan awal program ini sebetulnya adalah menyediakan rumah yang layak, sehat, dan terjangkau bagi masyarakat miskin, seperti yang tercetus dalam Kongres Perumahan Rakyat Sehat pada era Sukarno. Namun, di rezim Orde Baru, peruntukan rumah murah justru cenderung lekat dengan kalangan abdi negara, baik sipil maupun militer.
Thomas Sebayang barangkali bisa masuk pengecualian. Ia dan beberapa orang jurnalis lainnya memang memperoleh rumah di lingkungan yang sama, namun itu didapat karena “campur tangan” Menpera saat itu, Cosmas Batubara.
Lagipula, Thomas dan rekan-rekan sejawatnya termasuk anggota Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) yang merupakan organisasi resmi yang diakui pemerintah Orde Baru. Masih banyak rakyat dari kalangan lain yang juga belum memiliki rumah sendiri, namun tidak mampu berbuat apa-apa karena berbagai kendala, terutama masalah keuangan.
Ada beberapa jenis dan tipe rumah yang disediakan Perum Perumnas pada awal berdirinya itu, dari yang terkecil yakni tipe 15, kemudian tipe 21, tipe 36, tipe 45, hingga tipe 70 dan 72 yang tentu saja didirikan di atas lahan lebih luas. Saat itu cukup populer istilah RS (Rumah Sederhana) dan RSS (Rumah Sangat Sederhana).
Uang muka untuk mendapatkan rumah dari Perumnas cukup terjangkau pada masa itu. Thomas, yang memperoleh rumah tipe 45 dengan luas tanah 102 meter persegi, membayar uang muka Rp45.000. Angsuran per bulannya Rp16.410 untuk masa kredit selama 20 tahun.
Program rumah rakyat dari Perumnas ini sangat diminati. Ratusan orang rela mengantri sejak pagi untuk bisa mewujudkan mimpi memiliki rumah sendiri dengan harga yang relatif terjangkau.
Dalam buku 30 Tahun Orde Baru Membangun (1995) yang ditulis oleh Widodo S.H. dan kawan-kawan, disebutkan bahwa dalam tahun terakhir Repelita II saja, yakni 1978/1979, setidaknya lebih dari 536.000 unit rumah yang berhasil disediakan (hlm. 362).
Memang, masyarakat umum juga bisa mendapatkan rumah subsidi Perumnas ini. Namun, tentu saja persyaratannya agak lebih rumit ketimbang PNS atau anggota militer, baik tentara maupun polisi.
Tentu saja bukan tanpa alasan pemerintahan Orde Baru kala itu menerapkan kemudahan bagi abdi negara untuk mendapatkan rumah murah. Politik juga bermain di sini. Seperti diketahui, pada rezim itu, PNS dan kalangan tentara serta polisi diarahkan untuk memperkuat posisi Golkar dan Soeharto dalam setiap kali Pemilihan Umum (Pemilu).
Rumah subsidi dan fasilitas KPR yang menurut peraturan seharusnya diperuntukkan bagi mereka yang berpenghasilan rendah dan belum mempunyai rumah pada akhirnya justru menjadi salah sasaran.
Rakyat kebanyakan cenderung sulit dipercaya oleh pihak bank ketimbang PNS dan tentara atau polisi. Akibatnya, orang miskin yang seharusnya difasilitasi oleh negara agar memiliki tempat tinggal yang layak justru semakin terpuruk. Mereka dianggap sulit membayar uang muka, apalagi rutin mengangsur cicilan.
Di sisi lain, pihak bank, apalagi pengembang, seolah tidak mempedulikan apakah pembelinya termasuk orang yang berhak atau bukan (Jaka E. Cahyono & Sudaryatmo, Rumahku Istanaku, 2003: 179). Yang terpenting, mereka bisa menjual rumah dengan cepat dan meraup untung, tidak peduli dari kalangan mana pembelinya.
PNS dan kalangan militer –kendati tidak semuanya bergaji besar, namun tetap saja punya penghasilan tetap– serta golongan abdi negara lainnya, bahkan keluarga pejabat, bisa memiliki rumah murah subsidi negara dengan relatif mudah, berbanding terbalik dengan masyarakat miskin yang kian merasa kebutuhan papan sebagai hal yang makin sulit dicapai.
Situasi salah sasaran seperti ini terus berlangsung hingga melemahnya daya beli masyarakat setelah krisis moneter tahun 1997 dan 1998 serta labilnya situasi negara pada tahun-tahun awal era reformasi.
Sampai saat ini, rumah-rumah subsidi yang dikelola Perum Perumnas memang masih menyediakan kemudahan yang lebih bagi golongan abdi negara -dengan alasan yang sama- kendati kalangan masyarakat umum lain juga bisa mendapatkannya.
Namun, kepentingan politiknya barangkali kali ini tidak serupa. Kini, abdi negara sekalipun bisa saja tidak sepaham dengan rezim yang berkuasa, berbeda dengan masa Soeharto yang memang mewajibkan dukungan dari mereka yang bernaung di bawah ketiak pemerintah.
Editor: Ivan Aulia Ahsan