Menuju konten utama
18 Juli 1974

Taktik Orde Baru Pikat PNS dan Rakyat Lewat Perumnas

Jelata muntah
resah. Dalam meriah
rumah nan murah.

Taktik Orde Baru Pikat PNS dan Rakyat Lewat Perumnas
Ilustrasi rumah yang dibangun Perumnas. tirto.id/Sabit

tirto.id - “Saat itu, kalau mau cari pekerjaan di Jakarta gampang sekali, asalkan mau kerja saja. Namun, untuk memperoleh rumah, betapa susahnya,” kenang Thomas Sebayang, mantan wartawan yang pensiun tahun 1998.

Dikutip dari artikel berjudul “Menyusuri Sejarah Perumnas, Semuanya Berbahagia Dapat Rumah Murah” dalam portal BeritaRayaOnline (20/09/2017), warga Perumnas Depok I ini melanjutkan kisah perjuangannya memperoleh tempat tinggal semasa muda.

Pada era 1980-an itu, Thomas sering meliput di lingkungan Departemen Pekerjaan Umum (PU) untuk menulis berita-berita tentang perumahan, terutama terkait program yang sedang digalakkan Perum Pembangunan Perumahan Nasional (Perumnas) kala itu.

Hingga suatu kali, berita yang ditulis Thomas dibaca oleh Menteri Negara Perumahan Rakyat (Menpera) Cosmas Batubara. Berkah baginya karena terbuka peluang untuk bisa memiliki rumah sendiri yang layak huni dan bisa diangsur dengan cicilan yang terjangkau.

Dan, di Perumnas Depok I itulah Thomas dan keluarganya menetap dengan tenang dari masa demi masa.

Riwayat Rumah untuk Rakyat

Perumnas Depok I yang ditinggali Thomas merupakan proyek pertama Perum Perumnas sejak resmi didirikan pada 18 Juli 1974. Selain Depok I atau yang dulu bernama Depok Jaya, dibangun pula permukiman serupa di Depok Utara, sebelum dilanjutkan dengan pembangunan Perumnas Depok II dan Depok Timur (Tabloid Reformata, Juli 2007, hlm. 25).

Presiden Soeharto sendiri yang meresmikan perumahan itu pada 12 Agustus 1976. Pak Harto memilih menumpang kereta api listrik (KRL) dari Jakarta menuju Depok kendati jaraknya tidak terlalu jauh. Presiden rupanya sekaligus akan meresmikan beroperasinya KRL jurusan Depok-Bogor pada hari yang sama.

Sebenarnya, ide menyediakan rumah layak dan murah untuk rakyat bukan terlahir di era Orde Baru, kendati memang masif digalakkan selama rezim Soeharto itu. Gagasan ini resmi tercetus dalam Kongres Perumahan Rakyat Sehat pada 25-30 Agustus 1950 yang sekaligus menjadi tonggak sejarah pengadaan rumah rakyat di Indonesia (Prisma, Masalah 8-12, 1994: 48)

Dipaparkan oleh Vivek Neelakantan dalam buku Science, Public Health and Nation-Building in Soekarno-Era Indonesia (2017), tujuan awal kongres itu adalah membahas tentang eksplorasi sekaligus peremajaan bagi rumah-rumah warga yang kurang mampu (hlm. 14).

Dalam perjalanan kongres yang digelar di Bandung itu, lantas tercetus gagasan, mengapa pemerintah tidak memfasilitasi pembangunan rumah sederhana untuk rakyat? Dari sinilah usulan membangun rumah-rumah rakyat untuk pertamakalinya menjadi bahasan resmi.

Pemerintah RI di bawah pimpinan Presiden Sukarno yang belum lama berdiri sebagai negara berdaulat penuh dan masih direcoki dengan sejumlah gerakan separatis di berbagai daerah segera bergerak, menyusun rencana untuk menyediakan perumahan bagi rakyat.

Tanggal 20 Maret 1951, dibentuklah Badan Pembantu Perumahan Rakyat sebagai tindak lanjut atas pembahasan dalam kongres itu. Ini merupakan badan penasihat untuk yang bertugas memberikan saran dan masukan kepada presiden atau institusi pemerintahan terkait mengenai rencana pembangunan rumah untuk rakyat (Siswono Yudohusodo, Rumah untuk Seluruh Rakyat, 1991: 111).

Setahun berselang, proyek perumahan nasional pertama dalam sejarah kemerdekaan RI dimulai, dengan diresmikannya Jawatan Perumahan Rakyat yang bernaung di bawah Kementerian Pekerjaan Umum dan Tenaga, serta Yayasan Kas Pembangunan (YKP), tanggal 25 April 1952.

Pada perkembangannya, seperti dikutip dari buku Setengah Abad Perumahan Rakyat (1995) terbitan Kantor Menpera, YKP membangun 12.460 unit rumah di 12 kota hingga tahun 1961 (hlm. 139). Namun, lantaran ini adalah proyek massal dengan dana yang amat besar, ditambah situasi perekonomian negara yang tidak terlalu baik, membuat YKP mengalami kesulitan keuangan.

Akibatnya, proyek pengadaan rumah rakyat tersebut tersendat. Gonjang-ganjing politik selepas terjadinya peristiwa Gerakan 30 September 1965 semakin membuat program ini terabaikan, hingga pergantian kekuasaan dari Orde Lama ke Orde Baru.

Abdi Negara Paling Dimudahkan

Penyediaan perumahan nasional menjadi salah satu target sasaran dalam Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) II ala Presiden Soeharto yakni periode 1974-1979. Sebelumnya, pada Repelita I (1969-1974), pemenuhan kebutuhan dasar dan infratruktur dengan penekanan di sektor pertanian menjadi fokus utama.

Maka, dalam konteks ini, awal Repelita II dimulai dengan dibentuknya Badan Kebijaksanaan Perumahan Nasional (BKPN). Pemerintah kemudian menunjuk Bank Tabungan Negara (BTN) sebagai mitra untuk memfasilitasi KPR atau Kredit Pemilikan Rumah.

Dan, sebagai tindak-lanjut atas program perumahan dan permukiman Orde Baru ini, diresmikan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) berbentuk Perusahaan Umum (Perum) yakni Perumnas pada 18 Juli 1974.

Misi yang diusung dari gagasan awal program ini sebetulnya adalah menyediakan rumah yang layak, sehat, dan terjangkau bagi masyarakat miskin, seperti yang tercetus dalam Kongres Perumahan Rakyat Sehat pada era Sukarno. Namun, di rezim Orde Baru, peruntukan rumah murah justru cenderung lekat dengan kalangan abdi negara, baik sipil maupun militer.