tirto.id - Presiden Joko Widodo memastikan Jaksa Agung periode 2019-2024 tidak akan berasal dari kalangan partai politik. Hal itu disampaikan Jokowi saat makan siang bersama pimpinan redaksi media massa di Istana Kepresidenan, Jakarta, Rabu (14/8/2019) kemarin.
Meski begitu, Jokowi tak menyebut apakan pimpinan Korps Adhyaksa bakal berasal dari kalangan jaksa karier atau tidak. Saat ini posisi Jaksa Agung diduduki kader Partai Nasdem, Muhammad Prasetyo.
Langkah Jokowi ini diapresiasi pelbagai pihak. Salah satunya Koordinator bidang Korupsi Politik Indonesia Corruption Watch (ICW), Donal Fariz yang mengatakan Jaksa Agung sebaiknya tak diisi politikus lantaran rentan konflik kepentingan.
Tak hanya Jaksa Agung, Donal menilai pos Menteri Hukum dan HAM serta Menteri Koordinator bidang Politik Hukum dan Keamanan juga sebaiknya tak diisi kader partai politik.
"Karena bukan tidak mungkin, hari ini yang ramai dan gaduh itu di posisi Jaksa Agung kalau diberikan kepada politik. Ketika jaksa agungnya sudah steril dari politik, masalahnya pindah ke Menko Polhukam, atau masalahnya pindah ke Menkumham," kata Donal di kantor ICW, Kalibata, Jakarta Selatan, Kamis (15/8/2019).
Menurut Donal, proses politik dan penegakan hukum ke depan membutuhkan sosok yang mampu menjadi penengah di setiap konflik. Sosok itu juga harus mendapat kepercayaan dari publik.
Ia berpandangan kriteria tersebut tak akan didapat dari kader partai atau yang berafiliasi terhadap partai tertentu.
"Di situ pentingnya orang-orang yang punya akseptabilitas publik secara baik, karena ketika melakukan dorongan penegakan hukum akan diterima sebagai buah penegakan hukum yang normal bukan punya agenda memberangus oposisi atau lawan politik," jelasnya.
Donal mencontohkan beberapa proses legislasi diduga didomplengi kepentingan politik. Ia menyebut soal wacana revisi Undang-undang KPK dan penghapusan Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 yang membuka potensi obral remisi bagi terpidana koruptor dan tindak pidana khusus lainnya.
Disarankan dari Kalangan Independen
Direktur Eksekutif Kode Inisiatif, Veri Junaidi juga mendorong Presiden Joko Widodo agar memilih menteri, khusunya di bidang hukum, dari non-partai. Ia mengatakan hal ini untuk menjaga soliditas kabinet dan loyalitas partai koalisi. Ia menilai kader partai belum tentu loyal terhadap presiden.
"Bisa jadi orang tersebut memang profesional dalam partai politik, tapi soal loyalitas apa dia loyal terhadap presiden," kata Veri di Kalibata, Jakarta Selatan, Kamis (15/8/2019).
Meski begitu, kata Veri, realitas politik saat ini membuat presiden tak bisa menafikan jatah menteri untuk partai. Hal itu diperlukan agar presiden mendapat dukungan dari partai koalisi dan menjaga relasinya dengan legislatif.
Namun, Veri mengingatkan agar di periode terakhirnya, Jokowi bisa bekerja tanpa beban. Veri mengatakan jika Jokowi gegabah dalam memilih menteri justru bakal menyandera dirinya sendiri.
"Kalau loyalitasnya ganda, di satu sisi adalah pembantu presiden, tapi di sisi lain pengemban amanat partai. Ini bisa bentrok," jelasnya
Dalam kesempatan berbeda, Direktur Eksekutif Pusat Studi Demokrasi dan Partai Politik, Dedi Kurnia Syah Putra menyarankan posisi Jaksa Agung, Menkumham dan Menko Polhukam diisi figur independen. Selain itu, figur tersebut mesti memiliki rekam jejak bersih dan integritas yang meyakinkan.
"Setidaknya, terbebas dari beban politik sehingga putusan-putusan yang dihasilkan tidak terintervensi parpol. Bahkan profesional sekalipun, harus benar-benar teruji keberpihakannya pada kebenaran dan kemaslahatan," kata Dedi, Kamis (15/8/2019).
Penulis: Mohammad Bernie
Editor: Gilang Ramadhan