Menuju konten utama

Tak Cuma Tangkal Polusi, Masker pun Bisa Jadi Alat Gaya-gayaan

Para pengusaha melihat fenomena perubahan iklim dan tren penggunaan masker di Jepang, Tiongkok, dan Korea Selatan. Muncullah masker gaya.

Tak Cuma Tangkal Polusi, Masker pun Bisa Jadi Alat Gaya-gayaan
Ilustrasi pria dan wanita memakai masker. FOTO/iStockphoto

tirto.id - Jumat (28/6/19), indeks kualitas udara Jakarta menempati level 197 AQI (Air Quality Index). Angka tersebut tidak berbeda jauh dibanding dua hari lalu kala level polusi udara Jakarta mencapai angka 240 AQI dan menjadikan kota ini wilayah dengan kualitas udara terburuk di dunia.

Warganet Jakarta pun heboh menyatakan kekhawatiran tentang kualitas udara kota mereka yang semakin memprihatinkan.

Media sosial Twitter dipenuhi unggahan #setorfotopolusi yang memuat berbagai foto lanskap kota yang dipotret dari sejumlah gedung pencakar langit. Gambar terlihat seragam lantaran memperlihatkan pemandangan berkabut akibat polusi.

Unggahan yang beredar media sosial Instagram memperlihatkan foto-foto kota berkabut yang diimbuhi ragam kalimat bernada makian sekaligus ketakutan.

Pembicaraan tentang kualitas udara Jakarta yang konsisten berada dalam kategori “tidak sehat” dan “sangat tidak sehat” kembali merebak sekitar tiga bulan belakangan setelah Greenpeace Indonesia merilis laporan yang menyebut bahwa kualitas udara Jakarta menempati peringkat terburuk di Asia Tenggara.

Salah satu bukti nyata dapat dilihat saat libur lebaran 2019. Ketika sebagian besar warga kota mudik, Jakarta tetap menempati peringkat tertinggi daerah berudara paling tercemar.

Dalam kurun waktu satu bulan, Jakarta setidaknya berada dalam kondisi “udara tidak sehat” selama 22 hari.

“Dampak kesehatan atas pencemaran udara khususnya PM 2.5 mengakibatkan sejumlah penyakit pernapasan serius, mulai dari infeksi saluran pernafasan (ISPA), jantung, paru-paru, resiko kematian dini, hingga kanker paru-paru. Pemerintah baik pusat maupun daerah secara pelan-pelan sedang membunuh warganya sendiri apabila tidak juga serius dalam menangani masalah pencemaran udara dan mengambil langkah yang nyata untuk menutup sumber pencemar udara,” ujar Bondan Andriyanu, juru kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia.

Greenpeace Indonesia berencana menggugat pemerintah dan menuntut para pejabat untuk bertindak merespons perubahan iklim. Ada banyak warganet Jakarta yang dalam Instastory-nya menyatakan akan mengenakan masker untuk mengurangi dampak negatif udara buruk.

Mereka tidak sendirian. Masker adalah aksesori sehari-hari di negara-negara Asia yang pernah atau masih mengalami kondisi udara buruk seperti Tiongkok, Korea Selatan, dan Jepang.

Dilansir dari Quartz, di antara tiga negara tersebut, Jepang memiliki sejarah cukup panjang soal kebiasaan penggunaan masker. Pada awal abad 20, masyarakat Jepang mengenakan masker agar terhindar dari wabah influenza yang menewaskan 40 juta orang di seluruh dunia.

Pada 1923, Jepang dilanda gempa Kanto yang mengakibatkan kualitas udara negara tersebut memburuk selama beberapa bulan. Sekitar satu dekade setelahnya, Jepang kembali dilanda wabah influenza sehingga masker kembali populer.

Kemudian, setelah Perang Dunia II, berbagai proyek pembangunan di Jepang berdampak pada kualitas udara negara tersebut sehingga semakin banyak orang yang bergantung pada masker.

Meski kini ancaman wabah penyakit dan polusi sudah mereda, warga Jepang—terutama kaum muda— memilih tetap menggunakan masker untuk beraktivitas sehari-hari. Japan Today melaporkan bahwa anak muda tetap menggunakan masker bukan hanya agar terhindar dari penyakit tapi juga untuk menghangatkan wajah, menyembunyikan ekspresi, dan menghindari obrolan dengan orang lain.

Produsen masker kesehatan di Jepang seperti Unicharm melansir koleksi masker yang dihiasi berbagai aksesori seperti manik-manik. Perusahaan tersebut juga menciptakan masker yang tidak mudah terkena noda lipstik. Unicharm pun turut memberi masukan soal padu padan masker dengan gaya busana.

Beberapa influencer kecantikan/penata rias selebritas ternama bahkan berbisnis masker. Salah satunya Zawachin, penata rias personel grup AKB48. Ia mengklaim dagangannya bisa memberikan efek tirus pada wajah.

Infografik Tren Penggunaan Masker

Infografik Tren Penggunaan Masker. tirto.id/Sabit

Peluang bisnis masker sebagai fesyen juga sempat muncul di Cina. South China Morning Post mencatat salah satu perusahaan retail daring terbesar di Cina telah menjual ratusan ribu masker yang bisa menangkal partikel PM2.5. kesempatan itu pun diambil oleh tak sedikit penjual masker.

“Dalam festival musim semi tahun ini, kami bisa menjual lebih dari 10.000 masker dalam hitungan minggu,” kata Xiao Lu, pedagang masker.

Produsen masker asal Cina Airpop nampak serius menjalani bisnis masker. Pendiri Airpop Chris Hosmer bekerjasama dengan Hong Kong Polytechnic University untuk mendesain masker yang sesuai dengan bentuk wajah orang Asia. Masker tersebut dibuat dengan berbagai varian bentuk dan warna serta dijual dengan harga $50.

Kini sejumlah pelaku usaha dari dunia barat seperti AS, Selandia Baru, dan Eropa juga menganggap bisnis masker sebagai ranah potensial.

Menurut penelusuran Vox, produk masker Vogmask adalah salah satu yang laris di Asia. Marc Brown, pendiri Vogmask, menyatakan bahwa ide berdagang masker muncul pada 2011. Beberapa tahun belakangan, pendapatan Vogmask meningkat sekitar 10%. Kini perusahaan asal California Utara itu berencana memoles citra produknya sebagai masker kesehatan premium yang tersedia dalam berbagai ragam motif serta warna.

Peneliti tren budaya AS dan Tiongkok Christina Xu menyatakan kepada Vox bahwa lambat laun masker akan setara dengan kacamata hitam, dengan variasi harga dan bentuknya yang bermacam-macam.

Pandangan tersebut muncul setelah Xu mengamati label busana premium setaraf Supreme dan Off White melansir koleksi masker wajah.

Bisnis masker gaya ini juga menarik minat pengusaha menengah di Amerika Serikat. New York Post, misalnya, menuturkan kisah dua wanita asal AS Goldy Rosenfield dan Sara Hakakian yang memutuskan berjualan masker setelah melihat tren perempuan yang mengenakan masker untuk menghindari virus.

“Aku memang takut terkena flu tapi aku nggak mau mengorbankan gaya,” kata Berg, pengguna masker.

Bagi Pendiri Airpop Chris Hosmer, masa depan masker tidak berhenti pada eksplorasi desain. Ia meyakini suatu saat masker kesehatan bisa dilengkapi alat pendeteksi bakteri sehingga mampu bekerja lebih efektif.

Baca juga artikel terkait POLUSI UDARA atau tulisan lainnya dari Joan Aurelia

tirto.id - Gaya hidup
Penulis: Joan Aurelia
Editor: Windu Jusuf