tirto.id - Seorang gadis mengendarai mobil bersama ibunya. Sang ibu duduk di bangku kemudi. Ada perdebatan kecil di antara keduanya, dan tiba-tiba saja mobil itu terbalik. Sang ibu tak sadarkan diri.
Si gadis berusia belasan tahun itu mengalami luka cukup parah di kaki. Tetapi ia bisa bangkit dan menolong ibunya.
Sesampainya di rumah sakit, seorang dokter mengecek kondisi kaki si gadis. Sesekali, gadis itu berteriak, seperti orang yang sedang kesakitan. Gregory House, dokter senior dari Departemen Diagnosis memperhatikan dari jauh.
House menangkap ada yang tidak beres. Ia lalu mendekat dan menekan kaki si gadis. Si gadis berteriak, tetapi House menyadari itu hanya pura-pura. Si gadis sebenarnya tak merasakan sakit apa-apa.
Menurut House, ia menderita Congenital Insensitivity to Pain with Anhidrosis atau yang biasa disebut penyakit CIPA. Penyakit itu juga dikenal dengan istilah Hereditary Sensory Neuropathies (HSN). Ia adalah penyakit gangguan dan kemunduran sistem saraf yang membuat penderitanya kehilangan rasa atau sensasi dari luar.
CIPA menyebabkan seseorang kehilangan fungsi saraf sensori dan respons kontrol terhadap suhu dan rasa sakit. Akibatnya, ia tidak bisa merespons dengan cepat ketika tubuhnya terkena rangsangan dari luar.
Cerita tentang House dan pasiennya hanya kisah fiktif di serial televisi Amerika berjudul House. Tetapi, di kehidupan nyata, penyakit itu benar adanya.
Tahun 2004, Ashlyn Blocker berusia lima tahun. Ia tinggal di Georgia, Amerika Serikat bersama kedua orang tuanya. Waktu itu itu, Ashlyn sudah sekolah di sebuah TK. Di sekolah, ia dikenal sebagai anak yang tak punya rasa takut. Ashlyn tak pernah menangis meskipun terjatuh cukup keras di taman bermain. Ia juga akan langsung melahap makanan, meskipun masih panas.
Ashlyn mendapat pengawasan khusus dari guru di sekolahnya. Sang guru, selalu meletakkan sedikit es pada makanan Ashlyn, agar tak terlalu panas untuk dimakan. Di taman bermain, ia juga selalu diawasi.
Ashlyn adalah salah satu dari sedikit sekali orang yang didiagnosis menderita CIPA. “Beberapa orang sempat mengatakan pada saya, bagus dong kalau Ashlyn tidak bisa merasakan sakit, tetapi itu tidak benar,” ujar Tara Blocker, ibu Ashlyn kepada NBC, 13 tahun lalu.
“Keberadaan rasa sakit tentu ada alasannya. Ia membuat tubuh manusia mengetahui sesuatu yang tidak beres dan harus segera diobati. Saya akan melakukan apapun agar ia bisa merasakan sakit,” imbuhnya.
Kini, Ashlyn telah tumbuh menjadi seorang remaja. Tetapi ia tetap tak bisa merasakan sakit. Yang bisa dilakukan Tara adalah memberi pemahaman pada Ashlyn tentang penyakitnya. Sehingga mencegahnya dari melakukan tindakan-tindakan ekstrem seperti mencelupkan tangannya ke air mendidih.
Tahun 2012, saat Ashlyn berusia 13 tahun, ia pernah mencelupkan tangannya ke air mendidih untuk mengambil sendok yang terlepas dari tangannya. Waktu itu, ia berada di dapur sendirian, mengaduk mi ramen dan sendok yang ia pegang masuk ke dalam panci berisi air mendidih. Tanpa pikir panjang, ia mengambil sendok itu.
Lalu ia melihat tangannya melepuh, dan menyiramnya dengan air. Menyadari ada yang tidak benar, Ashlyn memang sang ibu.
“Aku baru saja memasukkan tanganku,” kata Ashlyn santai. Sang ibu langsung panik, lalu mengambil es dan menekannya ke tangan Ashlyn.
Di sekolah, Ashlyn remaja sering mendapat pertanyaan dari teman-temannya, apakah ia seorang manusia super? Bisakah ia merasakan sakit ketika wajahnya ditinju? Bisakah ia berjalan di atas api seperti berjalan di atas rumput?
“Setiap orang di kelasku selalu bertanya dan aku katakan, aku bisa merasakan sentuhan atau tekanan, tetapi tidak bisa merasakan sakit. Rasa sakit! Aku selalu harus menjelaskan itu ke mereka,” ungkap Ashlyn kepada New York Times, tahun 2012.
Penyakit yang tak bisa disembuhkan itu juga membuat Ashlyn tak bisa merasakan suhu, dingin atau panas. Itu membuat tubuhnya tak bisa mengeluarkan keringat. Selain rasa sakit dan perubahan suhu, indera Ashlyn yang lainnya baik-baik saja. Dia bisa merasakan beban tas ransel yang dipakainya ke sekolah, ia bisa merasakan nyamannya pelukan, ia juga bisa mengenali tekstur halus atau kasar.
Menurut Jurnal berjudul Mutations in the TRKA/NGF Receptor Gene in Patients with Congenital Insensitivity to Pain with Anhidrosis, CIPA disebabkan oleh mutasi gen yang mencegah pembentukan sel-sel saraf pengatur transmisi sinyal rasa sakit, panas, dan dingin ke otak. Jurnal itu diterbitkan tahun 1996 oleh Kumamoto University, universitas di Jepang.
Penyakit ini adalah penyakit turunan dan bawaan sejak lahir. Ia tidak bisa disembuhkan. Seperti Ashlyn, penderitanya tetap bisa hidup. Dengan pengawasan ketat dan pemberian pemahaman ketika ia beranjak dewasa.
Penulis: Wan Ulfa Nur Zuhra
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti